Bolehkah kali ini saya nggak bercerita tentang perjalanan? Soalnya lagi pengin curhat nih!
Jadi gini ceritanya. Tau nggak kalo sekarang industri penerbitan semakin kacrut? Banyak koran dan majalah yang tutup, padahal dulu sangat berjaya di masanya. Contohnya koran Sinar Harapan dan Harian Bola, majalah Kawanku, Hai, dan terakhir Go Girl. Sedih banget kan?
Industri buku juga sama aja. Toko buku satu per satu tutup. Kalau pun tidak tutup, ruangannya diperkecil. Namanya tetap “toko buku” tapi sebagian besar justru jualannya non buku, mulai dari tas, sepatu, sepeda, tenda, sampai selimut! Sebuah toko buku favorit saya di sebuah mal bahkan hanya memberi seperempat tempatnya untuk rak buku, sementara sisanya dijadikan tempat jualan non buku dan kafe! Pejabat jaringan toko buku yang mendominasi Indonesia bahkan berkata, “Soalnya penjualan non buku lebih banyak dan lebih menguntungkan daripada jualan buku!” Ouch!
Dengan ruang jualan buku semakin sempit, padahal jumlah buku tetap bertambah, kebayang kan bagaimana policy yang diberikan toko buku? Masih bagus buku bisa dipajang, kalau nggak laku dalam waktu tertentu (yang periodenya semakin pendek) langsung dikembalikan ke penerbit. Konsep brick and mortar memang sulit. Tak heran banyak toko buku di negara maju pun tutup.
Apakah pembaca Indonesia jadi berganti dari baca buku kertas ke buku digital? Menurut saya sih nggak juga. Buktinya royalti e-book yang saya terima sejak lima tahun yang lalu sampai sekarang masih sama dan sedikit sekali. Berarti memang sangat sedikit orang Indonesia yang membaca e-book. Sayangnya beli ponsel mahal nggak apa-apa, tapi beli buku di ponsel dianggap mahal.
Bila dikaitkan dengan teori supply and demand, dalam hal industri penerbitan supply-nya ada terus tapi demand-nya semakin berkurang. Karena apa? Karena semakin banyak orang yang tidak suka membaca. Sejak era internet, terutama sejak adanya media sosial, timespan manusia zaman sekarang semakin sedikit. Membaca bukan lagi jadi pilihan karena sekarang main ponsel lebih menarik dan dianggap “bermanfaat”. Tak heran berita online sekarang berjudul heboh untuk clickbait, padahal isi kontennya biasa aja. Tulisan perjalanan pun ikut-ikutan jadi “5 tempat yang Instagrammable di Kota X” karena itulah yang disukai pembaca masa kini. Ketidaksukaan membaca juga bisa terlihat dari komen di media sosial yang sering bertanya “kapan acaranya?” padahal sudah ditulis jelas di caption. Membaca caption beberapa kalimat aja susah, apalagi membaca sebuku? #hakdezik
Efeknya bagi saya dan mungkin penulis lain adalah penghasilan dari royalti semakin kecil. Yang penasaran berapa royalti yang didapatkan oleh penulis Indonesia, silakan baca tulisan dari penulis kondang Eka Kurniawan tentang “Mengapa Harga Buku Mahal?” di sini. Penulis mah cuman dapat persentase terkecil dari harga buku, itu pun nggak bisa nambah karena banyak tangan yang harus dibagi. Harga buku kita jadi mahal, apalagi dengan pajak yang berlapis-lapis.
Padahal sebagai travel writer, saya harus selalu traveling untuk mendapatkan bahan. Sedangkan modal traveling adalah dari royalti. Tapi kalau royalti semakin sedikit (karena semakin sedikit orang membeli buku), boro-boro untuk traveling, untuk hidup aja saya berat!
Saya pun berusaha untuk berinovasi dengan menerbitkan buku “69 Cara Traveling Gratis” yang ditujukan untuk mengakuisisi pembaca baru yaitu para milenial. Sambutannya cukup baik, tapi masih kurang – apalagi royalti harus saya bagi dua dengan Yasmin. Ditambah lagi bujet promosi yang biasanya diadakan di beberapa kota dipotong karena saat ini dipercaya lebih ampuh bila promosi dilakukan di media sosial saja.
Terus terang hal ini mematahkan semangat saya. Jadinya saya kepikiran untuk pensiun jadi penulis! Berbagai alternatif cara mengisi pundi-pundi masih saya pikirkan, termasuk kembali jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) dengan keterbatasan cuti atau jadi selebgram dengan jualan segala macam barang endorsan. Aduh, membayangkannya aja saya stres! Di saat saya lagi down-down-nya jadi penulis, eh saya malah dapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk Residensi Penulis 2018 di Peru pada awal September ini! What? Pertanda apakah ini?
Sebelum pergi, saya sedang ngebut menyelesaikan tulisan untuk buku “The Naked Traveler 8”. Namun dengan sedih dan berat hati saya menyatakan bahwa ini akan menjadi buku terakhir dari seri “The Naked Traveler”.
Terima kasih telah menjadi pembaca setia saya!
—
P.S. Bila Anda merasa buku-buku saya (total ada 14 buku sejak 2007) telah mengubah hidup Anda, mohon ditulis sebanyak 500-1000 kata dan dikirim ke resensi.bentangpustaka@gmail.com sebelum 5 September 2018. Tulisan terbaik akan dimasukkan ke dalam buku “The Naked Traveler 8”.