Quantcast
Channel: Travel – The Naked Traveler
Viewing all articles
Browse latest Browse all 170

Kepuasan jalan-jalan sesungguhnya*

$
0
0

Machu Picchu, tempat favorit kaburnya anggota DPR

Saya tertawa miris ketika membaca berita tentang rencana rombongan DPR yang akan studi banding ilmu santet ke Eropa dan menghabiskan anggaran Rp 6,5 milyar. Tidak menyangka saat di Peru saya mendengar kabar bahwa ada beberapa anggota DPR yang akan berkunjung ke Machu Picchu. Siapa yang tidak ingin bertemu wakil rakyat di negara nun jauh ini? Saya pun browsing. Ternyata ada 11 anggota DPR yang ikut sebuah meeting di Quito, Ekuador, 22-27 Maret 2013. Saya pun masuk ke situs acaranya, dan tambah terkejut karena selain 11 anggota DPR masih ditambah lagi 18 orang staf, mulai dari sekretaris sampai interpreter, sehingga menjadikan RI sebagai salah satu negara yang membawa delegasi terbanyak! Wah, berapa biaya yang dihabiskan untuk mengirim 29 orang ini ya? Segitu pentingnya kah? Saya tambah syok ketika tahu bahwa empat orang anggota DPR tersebut melipir ke Machu Picchu di Peru pada tanggal 24-27 Maret 2013! Salah seorang di antaranya adalah anak mantan presiden RI, seorang lagi adalah mantan jurnalis TV terkenal yang dapat banyak penghargaan! Mungkin mereka menggunakan uang pribadi (ehem), tapi mereka pergi pada saat meeting masih berlangsung!

Sudah bukan rahasia lagi bahwa menjadi anggota DPR itu sangat menggiurkan. Siapa yang tidak mau gaji Rp 50 juta/bulan, belum termasuk tunjangan? Bahkan kalau sudah pensiun, masih dapat Rp 2 juta/bulan. Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya vokal terhadap kebijakan pemerintah pun bisa berubah ideologi dengan menjadi anggota DPR. Dan yang paling “disiriki” rakyat adalah seringnya mereka jalan-jalan, eh kunjungan kerja, ke luar negeri. Apalagi fasilitasnya bukan main-main: pesawat kelas bisnis, hotel berbintang, plus uang saku – sehingga anggaran perjalanan dinas membengkak.

Saya jadi bertanya kepada diri sendiri. Bila saya jadi anggota DPR, apakah saya akan terikut arus juga? Apakah saya akan silau dengan kunjungan kerja ke luar negeri? Apakah saya akan membuat anggaran secara efisien dan efektif? Apakah saya akan menolak mati-matian rancangan kunjungan kerja rekan-rekan kerja sendiri? Kalau saya tetap dikirim kunjungan kerja, apakah saya akan menghabiskan semua bujetnya? Apakah saya akan membuat laporan secara transparan tentang kunjungan kerja tersebut?

Sebagai travel writer, kadang saya diundang untuk berkunjung ke suatu tempat. Memang nikmat naik pesawat kelas bisnis, tidur di resor mewah, makan di restoran fine dining, dan ke mana-mana diantar-jemput. But there’s no such thing as a free lunch. Semuanya ditukar dengan harus mengikuti acara yang sangat padat sehingga tidak bisa menikmati fasilitas sama sekali. Kembali ke rumah pun harus menulis tentang kunjungan tersebut dengan nada favorable.

Sama seperti ketika dulu saat saya masih menjadi mbak-mbak kantoran. Boro-boro ke luar kota bisa bersenang-senang, bahkan waktu untuk diri sendiri pun nggak ada. Pulangnya masih bikin laporan panjang, bahkan membuat presentasi yang harus dibagikan ke kolega-kolega lain yang tidak berangkat. Sesenpun uang yang dikeluarkan oleh perusahaan, semua harus bisa dipertanggungjawabkan.

Bedakan ketika jalan-jalan sendiri saat cuti atau liburan. Memang tidak mendapat kemewahan seperti ketika jalan-jalan yang dibayari, tapi saya bebas! Bebas menggunakan waktu, bebas mau melakukan apa saja. Percayalah, kepuasaan itu bukan karena bisa jalan-jalan gratis, tapi kepuasaan sesungguhnya adalah bila kita bisa jalan-jalan dengan menggunakan uang hasil keringat sendiri! Satu lagi, bila kita memang tidak korupsi uang dan waktu, tentu kita akan bebas memasang foto diri lagi mejeng di depan Machu Picchu pada akun Twitter maupun Facebook sendiri.


*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan Mei 2013.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 170

Trending Articles