Quantcast
Channel: Travel – The Naked Traveler
Viewing all 173 articles
Browse latest View live

Hidup Dangdut!

$
0
0

Tulisan ini bermula di Banda Naira. Suatu malam di kota kecil itu ada acara pesta pernikahan dengan dangdutan. Saya yang doyan ikutan acara-acara penduduk lokal tentu menyambut gembira dan ikutan joget. Tapi salah seorang teman saya yang anak Jakarta ternyata tidak bisa joget dangdut sama sekali! Maka saya pun memberikan kursus kilat kepadanya. Dia yang biasa joget di club dengan trance music ternyata mengalami kesulitan joget lebih slow, padahal dangdut kan cuma maju-mundur doang.

Saya jadi berusaha mengingat kembali, kapan pertama kali saya berjoget dangdut dan pada acara apa. Sebagai seorang yang bisa joget dan pede joget di tempat umum, rasanya saya nggak pake belajar joget dangdut. Rasanya tinggal ngikutin ketukannya aja. Pertama kali saya dangdutan (di depan umum) mungkin pas SD di acara pesta adat yang kadang disempili acara joget dangdut dan saya disempilin duit di jari. Selanjutnya joget di kawinan tetangga, acara kampus, pas KKN, dan sebagainya. Jadi joget dangdut udah kayak alamiah aja gitu. Yah mungkin karena saya ndeso.

Kembali ke Banda, pesta dangdut di kawinan itu dihadiri banyak orang. Pria dan wanita duduk terpisah. Begitu lagu mulai, otomatis mereka joget membentuk satu jejer – pria menghadap wanita. Lagu habis, orang duduk lagi. Begitu seterusnya. Pernah sampai lama duduk karena laptop DJ hang! Hehe! Suasananya kayak dangdutan di kawinan Wakatobi yang pernah saya datangi, hanya di sana lebih tertib; joget lebih beraturan, muka lebih lempeng, maju-mundur bareng di dalam satu jejer. Yang joget hanya ketika pria mengajak wanita, jadi pasti berpasangan.

Di Jakarta, pesta kawin rumahan sering ada pesta dangdut. Mungkin karena dulu saya tinggal di daerah pinggiran. Saat ini pun tinggal di (sebelah) kompleks kuburan Tanah Kusir, dangdutan masih eksis – bahkan dengan cueknya orang joget-joget di kuburan! Bahkan sejak kuburan telah dirombak jadi ruang umum, pesta dangdut semakin merajalela – dengan alasan kampanye politik sampai kawinan. Ya ampyun, saya sampe nggak bisa tidur karena berisik!

Terakhir pesta dangdutan ketika tetangga bikin pesta sunatan anaknya. Panggung dipasang di samping kuburan. Semalaman orkes dangdut dan beberapa penyanyi cewek menghibur warga. Saya jadi jengah karena para penyanyi yang pake baju ketat, belahan dada rendah, dan rok mini itu berjoget vulgar, sementara si anak yang disunat baru berusia 10 tahun bersama teman-teman sebayanya menonton! Gilanya lagi, sebagian bapak-bapak ‘nyawer’ (menyelipkan uang) kepada penyanyi di atas panggung sambil berjoget pake ngelaba ke penyanyinya! Ewww!

Lama-lama botol miras beredar di sekitar saya dan saya ditawari juga. Ih! Saya bertanya kepada pembokat saya, “Ini kapan gue joget dong?” Jawabnya, “Kalo mau joget ya harus naik panggung dan nyawer.” Lha, padahal hanya para pria yang nyawer yang bisa berjoget. Saya dan penonton di bawah hanya bisa cengo nonton – apanya yang menghibur coba? Nggak seru nggak bisa ikutan joget! Belakangan terjadilah adegan klasik: seorang bapak mabuk sedang berjoget mesra dengan penyanyi bahenol, tiba-tiba ada seorang ibu naik panggung dan menjewer si bapak nyuruh pulang! Jiaaah, tercyduk sama istrinya!

Saya jadi ingat dangdutan ala Peru di Iquitos. Malam minggu ada panggung di alun-alun kota yang genre musiknya disebut Cumbia. Mirip lah sama dangdut, jadi saya pun gampang aja ngikutinnya pas joget sama ratusan orang lokal. Pemain musik dan penyanyi mayoritas pria yang pake seragam baju jas putih. Gilanya, penyanyinya didampingi para penari latar yang berjoget memakai… bikini! Iya, cuman pake beha dan celana dalam berpayet-payet. Buset! Beberapa kota lainnya di Peru pun sering mengadakan pesta Cumbia gratis, jadi lumayan lah bagi saya ada hiburan dan olah raga dikit. Dua bulan di Peru saya memang sering mendengarkan lagu Cumbia diputar di mana-mana. Orang yang ngikutin juga sama kayak denger dangdut; mata merem-melek, kepala goyang-goyang, bibir digigit, jari jempol terangkat.

Seperti lagu Project Pop yang berjudul “Dangdut is the Music of my Country”, harusnya kita bangga dengan dangdut. Masih banyak dari kita gengsi joget atau bahkan hanya mendengar dangdut karena jaim takut dianggap seleranya kelas bawah. Padahal kalau kita bisa mengelevasi dangdut menjadi musik khas Indonesia, bisa jadi daya tarik bagi dunia luar. Siapa tahu bisa sekelas Salsa atau Tango yang dipelajari banyak orang di seluruh dunia di luar negara asalnya. Oke, itu lebay. Mungkin bisa jadi sekelas Cumbia yang jadi folk dance di negara-negara Amerika Latin, tanpa harus nyawer atau hanya bisa menonton doang.

Hidup dangdut!

Baidewei, lagu dangdut apa favoritmu? Sekarang sih saya lagi seneng denger “Sayang”-nya Via Vallen. 🙂
Sayang, opo kowe krungu jerit e ati ku
Mengharap engkau kembali
Sayang, nganti memutih rambut ku
Ra bakal luntur tresno ku…


Kencan Online di Eropa

$
0
0

Warning: Untuk 17 tahun ke atas

Sebagai jomblo akut, saya disarankan oleh seorang teman cewek untuk menggunakan aplikasi online dating (bahasa Indonesianya “kencan daring”). Saya langsung antipati karena dulu pernah menggunakan dan hasilnya gagal total. Kata teman saya, zaman now itu berbeda. “Orang seumuran kita itu sekarang susah dapet jodoh. Semuanya sibuk, hidup cuman rumah-kantor-rumah, mau keluar malas karena udah capek macet dan sebagainya. Gimana mau ketemu orang baru?” jelasnya. Bukannya isinya cuman cari teman tidur? “Ih, dicoba aja dulu. Buktinya gue berhasil punya pacar. Malah ada beberapa temen gue yang merit gara-gara online dating lho!” tambahnya lagi.

Ya udah sih. Nothing to lose. Saya pun diajarin cara-caranya dan disuruh registrasi. Tentu saya memalsukan nama dan umur, serta pasang foto yang tidak jelas. Malu, bo!

Sampe rumah, saya coba… eh kok cowok-cowoknya bikin ill feel! Bisa-bisanya foto profil bareng anak-istrinya, atau bionya ditulis “ada dech!” (pake ejaan d-e-c-h). Ewww! Dan yang bikin panik, saya ketemu profil familiar: sepupu sendiri, temen yang udah nikah dan saya kenal istrinya, dan mantan bos! Waduh! Saya pun memutuskan untuk menggunakan aplikasi kencan ini pas saya traveling di Eropa selama dua bulan pada 2016.

FYI, aplikasi kencan ini cara kerjanya adalah kita menggeser profil ke kanan bila suka dan menggeser ke kiri bila tidak suka. Kalau match, berarti kedua belah pihak sama-sama geser kanan alias sama-sama suka, baru bisa saling berhubungan via in-app chat. Dalam eksperimen ini saya menggunakan istilah “success rate” yang berarti persentase kesuksesan match dari total yang saya geser kanan.

Pertama saya coba di beberapa kota di Portugal. Wih, cowok-cowok sana emang banyak yang tipe saya. Ganteng-ganteng amat! Success rate: 50%. Begitu match, sebagian besar langsung kirim pesan ke saya di chat. Tapi akhirnya saya tidak menemui satu orang pun, karena ternyata saya malah dapat kencan di kehidupan nyata sama seorang cowok di Porto. Ehm!

Di Prancis saya cuma tinggal di Paris selama 3 malam. Cowok-cowoknya paling kece, tapi zero success rate alias nggak ada satupun laki yang geser kanan ke profil saya. Sialan!

Berbanding terbalik, di Iceland success rate-nya 100%! Semua yang saya geser kanan menggeser kanan juga, artinya semua match! Semua pick up line-nya sopan dan menyenangkan. Semua mengajak kencan. Bahkan ada yang tinggal di luar kota pun bela-belain mau terbang untuk menemui saya! Saya jadi bingung karena begitu banyak yang mengajak kencan, tapi saya takut! Udah sepi, gelap, transportasi umum jarang, ntar kalau dibunuh dan mayat saya nggak ditemukan gimana? Belakangan saya baru tahu bahwa di Iceland memang “kering” soal perjodohan. Karena penduduknya sedikit, kebanyakan mereka saling berhubungan saudara. Bahkan konon mereka punya aplikasi sendiri yang bisa mengetes apakah mereka sedarah!

Sampai di Belanda, saya rajin main aplikasi kencan daring ini. Ternyata di Belanda success rate hanya 25%. Cuma 3 cowok yang mengirim chat: 1 cowok yang dengan jelas langsung mengajak tidur, 1 cowok yang ribet masalah ketemuan di mana, dan 1 cowok lagi yang tetap sopan.

Yang sopan ini bertampang dan bernama Indonesia. Kali aja expat Indonesia yang kerja di Amsterdam, pikir saya. Setelah bolak-balik chat, akhirnya kami akan berkencan dengan makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Wah, ini kencan daring pertama saya! Cowok itu ternyata pemalu dan kikuk. Kami mengobrol dalam bahasa Inggris, tapi begitu sesekali saya ngobrol dalam bahasa Indonesia kok dia terbata-bata. Ternyata… dia orang Suriname! Maka selanjutnya kami pun ngobrol dalam bahasa Jawa ngoko. Hahaha! Anyway, kencan cuman sampai situ aja sih. Abis makan, pulang, dan nggak ada kelanjutannya lagi. The chemistry was not there.

Pindah ke Belgia, saya tinggal di Leuven, sebuah kota kecil yang 80% isinya mahasiswa. Agak malas main aplikasi kencan itu karena isinya dedek-dedek, malasnya lagi kalau ternyata dia kenal sama sepupu saya. Jadilah selama hampir seminggu saya non aktif. Sampai saya berkenalan dengan mahasiswi Indonesia yang juga pengguna aplikasi kencan yang sama. Katanya cowok-cowok di Leuven justru buas-buas! Lha, bukannya dedek-dedek isinya? “Cari yang anak kantoran karena cukup banyak orang yang tinggal di Leuven dan bekerja di Brussels karena Leuven lebih murah biaya hidupnya,” katanya. Maka malam terakhir saya buka aplikasi dan mulai geser-geser kanan. Success rate-nya 25%. Bener aja, semua langsung mengajak tidur, kecuali seorang cowok ganteng dan sopan yang saya lanjutkan.

Karena malam itu nggak ada yang buka di Leuven, si cowok ngajak nongkrong di apartemennya yang berjarak 1 km dari apartemen sepupu saya. Bisa benerrr! Eh tapi males banget malem-malem jalan kaki sendiri! Lalu dia berinisiatif menjemput pake mobilnya. Ya udah lah, saya pasrah aja, penasaran juga akan jadi gimana. Di mobil dia lagi denger siaran pertandingan sepak bola antara klub Leuven vs Porto. Sampai di apartemennya, kami melanjutkan nonton pertandingan di TV. Saya tentu membela Porto karena kipernya Iker Casillas. Si cowok sampe heran dengan pengetahuan saya tentang persepakbolaan dunia. Singkat cerita, Leuven kalah. Dia bete banget dan berkata, “Maaf, gue kesel banget. Nothing personal, but I’d better drop you home”. Lha? That’s it! Saya pulang nggak diapa-apain. Hahaha!

Di Swiss tak banyak yang saya geser kanan karena muka cowok-cowoknya kok pucat dan kurang bergairah. Success rate hanya 5%. Cuman ada 1 cowok yang chat, itu pun pemalas gitu, jadi saya juga cuek aja. Belakangan saya juga baru tahu bahwa cowok Swis memang pasif dan tidak hangat. Pantes nggak match!

Negara terakhir trip Eropa saya adalah Italia, gudangnya cowok ganteng. Gayung bersambut, success rate: 75%! Hampir semuanya pun langsung kirim chat duluan. Sayangnya sebagian chat terpaksa berhenti saat mereka nggak bisa bahasa Inggris! Di utara Italia tidak ada yang saya temui karena saya nemu kencan di kehidupan nyata. Di selatan Italia, tepatnya di Napoli, dalam sejam aja langsung dapet banyak, padahal saya tiba di hotel sekitar jam 11 malam. Oke, ini negara terakhir saya akan menggunakan kencan daring. Apapun yang terjadi, terjadi lah.

Sebagian besar yang chat langsung menuju ke arah “situ” sampai saya jadi ngeri sendiri. Kecuali 1 cowok yang bahasa Inggrisnya lumayan dan bahasanya sopan. Udah kayak iming-iming ala sales, dia bilang, “Gue samperin ya? Kita ngobrol aja dulu, ntar kalo cocok baru lanjut.” Saya iyain aja. Tak lama kemudian dia bilang, “Kamu keluar balkon deh. Mobil saya yang hitam.” Saya nongol keluar dan si cowok itu melambaikan tangan. Udah ganteng, mobilnya mewah pula! Saya pun menemuinya dan kami ngobrol di dalam mobilnya. “Aduh, di pinggir jalan gini nggak boleh parkir lama-lama. Gimana kalau gue parkir di tempat lain, trus kita lanjut ngobrol di kamar hotel lo?”  Eisyeileeh, bisa bener! Kami pun pindah parkir dan berjalan kaki ke hotel saya. Sampai di resepsion, si cowok itu diminta kartu identitas diri. Seketika mukanya bete, ternyata nggak bawa kartu. Dia pun minta maaf dan pulang. Lha? Again!? Saya ngakak nggak berhenti karena lagi-lagi nggak terjadi apa-apa! 🙂

Kesimpulan: Pertama, aplikasi kencan daring ini memang untuk hook up dalam arti seksual, alias “satu malam berdiri”. Nggak ngerti gimana caranya orang bisa dapet jodoh dari aplikasi ini. Dari ‘bawah’ naik ke hati? Kedua, saya bukan selera bule kali sampe dilepeh tiga kali. Nasib ya nasib… balik lagi jadi jomblo akut! Hehehe!

Ada yang berani share pengalaman kencan daring di sini? Tinggalin di comment ya?

Anambas kece banget!

$
0
0

Terus terang nama Anambas baru terdengar di telinga saya pada 2012 saat CNN menyebut Anambas sebagai salah satu dari Asia’s top five tropical island paradises. Saya jadi malu, masa orang bule lebih tahu daripada saya yang (tukang jalan-jalan) orang Indonesia! Anyway, Kepulauan Anambas ada di propinsi Kepulauan Riau yang terletak di tengah laut antara Sumatera dan Kalimantan.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Akhir Januari 2018 baru lah saya berkesempatan pergi karena nebeng teman yang ada urusan bisnis di sana. Rombongan ke Anambas ini lucu banget ceritanya, ntar deh diceritain di tulisan terpisah. Singkat cerita, instead pergi ke ibukota Kabupaten Anambas di Tarempa, kami malah “kabur” ke Letung.

Jadi Kepulauan Anambas itu terdiri dari 256 pulau tapi cuman 26 pulau yang berpenghuni. Tiga pulau terbesarnya adalah Jemaja (pelabuhannya bernama Letung), Siantan (tempat pusat pemerintahan di Tarempa), dan Matak (pusat perusahaan pengeboran minyak asing). Transportasi umum ke Anambas menggunakan feri dari Tanjung Pinang ke Letung atau Tarempa yang memakan waktu 8-10 jam, itu pun hanya ada 3 kali seminggu dan tergantung cuaca. Jangan membayangkan feri besar seperti dari Banten ke Lampung, tapi ini semacam kapal cepat dengan 125 kursi kayak di bus, plus hantaman ombak yang bikin sebagian besar penumpang muntah! Hadeuh!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Sebenarnya di Matak ada bandara tapi pesawatnya charter milik perusahaan minyak. Ada juga pesawat berupa seaplane dari Batam ke Pulau Bawah, tapi hanya diperuntukkan bagi tamu resor mewah yang dimiliki orang asing. Kami memilih turun di Letung karena di Pulau Jemaja lah yang pariwisatanya akan dikembangkan karena telah dibangun bandara untuk pesawat komersial.

Sampai di Jemaja, feri merapat di Pelabuhan Berhala. Dinamai demikian bukan karena penuh dosa, tapi karena terletak di Pulau Berhala. Melihat hamparan laut berwarna turquoise rasanya penderitaan disiksa feri langsung terbalas. Kami naik ojek ke penginapan bernama Miranti di Letung yang terletak di pinggir laut. Dengan harga per kamar per malam Rp 180.000 – Rp 220.000, saya surprise dengan fasilitasnya. Bayangin di tempat terpencil gini kamarnya bagus, ada kamar mandi dalam dengan WC duduk, ada TV layar datar, dan ada AC – bahkan di kamar bawah ada shower air panas segala!

Letung dari Pelabuhan Berhala

Setiap hari kami nongkrong di deck Miranti dengan pemandangan spektakuler dan air laut yang jernih sampai keliatan penyunya berenang. Jalan-jalan di Letung menarik karena rumah-rumah penduduknya berbentuk panggung di atas air. Warung, toko, restoran, pasar ada. Mau dugem juga ada di Juliani Bar & Karaoke. Meski ada botol-botol miras, tapi cuman dipajang doang di bar – minum sih tetep kopi dan teh. Hehehe! Maklum sebagian besar penduduknya Islam dan alkohol dilarang sepulau. Untungnya mereka nggak rese kalau liat saya pake bikini di pantai. #penting

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Perlu diketahui, penduduk Anambas ini sukunya Melayu, jadi mereka berbahasa Melayu gitu kayak di buku-buku jadul dengan pantun-pantun. Mereka ramah dan suka ngobrol. By the way, cowok-cowoknya ganteng-ganteng lho… dengan rahang kuat, hidung bangir, alis mata tebal, dan bodi tinggi. Tradisi khas orang Riau, kalau sore cowok-cowoknya bukannya main sepak bola, tapi main sepak takraw. Aww, seksinya! Soal kuliner terpengaruh Sumatera semacam kuah asam pedas dan kari. Cocok lah di lidah. Bosan makan ikan dan seafood, ayam juga banyak.

Kalau mau keliling pulau, harus sewa motor. Pantai terdekat yang sering jadi tempat berenang dan nongkrong orang lokal ada di Padang Merlang. Pemandangan sepulau serba hijau dan berbukit-bukit dengan jalan kecil berliku-liku. Tiap melewati pantai, saya langsung nyanyi lagu Coldplay: para para paradise… para para paradise! Apalagi pas ke Air Terjun Neraja yang menurut saya salah satu yang paling kece di Indonesia karena bentuknya berundak-undak dan ada kolamnya di tiap undakan, jadi puas berenang! Ke arah timurnya lagi ada Kuala Maras yang lautnya tenang bak danau luas dan dikelilingi perbukitan hijau. Sedangkan untuk sunset, paling kece nonton dari pantai deket bandara – kalau tidak mendung.

Kolam Neraja tingkat dua

Untuk island hopping, kami sewa kapal pompong. Arahnya ke mana hasil tanya-tanya penduduk lokal. Di Barat ada Pulau Ayam, Pulau Ayam Darat, Pantai Nguan. Di Utara ada Pantai Kusik, Pulau Impol Kecil, Pulau Impol Besar. Semuanya kece-kece banget! Airnya jernih, dalamnya pas untuk berenang, tidak berombak, karang dan ikannya banyak, pasirnya putih kayak bedak, latar belakangnya bukit-bukit hijau, dan sepi pi pi! Warna laut bervariasi dari biru muda, turquoise, sampai emerald green. Di pesisir Jemaja bertumpuk batu-batu raksasa, kadang ada air terjun langsung dari gunung ke pantai jadi bisa bilas air tawar abis berenang di laut! Wah, saya sampe mau nangis saking kagumnya sama keindahan Indonesia!

Kecenya!

Menurut saya, Kepulauan Anambas adalah tempat yang paling kece di barat Indonesia. Pantai kece memang banyak di Indonesia timur, tapi terbangnya jauh dari Jakarta. Anambas ini dekat pula dari Singapura dan Malaysia, jadi potensi industri pariwisatanya besar. Denger-denger sebagian pulau sudah dibeli asing dan para konglomerat Indonesia, namun belum dibangun. Dan karena terletak di barat Indonesia, harga-harga masih masuk akal dan supply bahan gampang tersedia. Soal sinyal ponsel, cuman lancar pake provider monopoli itu, tapi internet cuman nyala 2 menit dalam 24 jam, itu pun ngacir baru jam 3 pagi.

Katanya tak lama lagi pesawat komersial akan terbang ke Jemaja dari Tanjung Pinang. Di sini lah dilema melanda. Kita semua tahu bahwa jika akses makin sulit, tempat makin kece. Sementara bila akses makin gampang, tempat lama-lama bisa hancur saking ramenya (karena oknum yang tidak bertanggung jawab) tapi perekonomian lokal kan harus berkembang. Sebelum rasa khawatir saya berkepanjangan, ada baiknya saya bersyukur pernah ke Anambas sebelum populer.

[Adv] 5 Reasons Why You Should Stay in Club Med

$
0
0

Club Med adalah jaringan resor global yang berpusat di Prancis sejak 1950 dan sampai saat ini sudah ada 71 resor di seluruh dunia. Konsep Club Med adalah premium all-inclusive holiday alias liburan yang sudah termasuk semuanya. Uniknya, Club Med punya istilah khusus. Setiap satu resor di Club Med disebut “village”. Kalau di hotel pimpinan tertinggi disebut GM (General Manager), maka di Club Med ia disebut “Chef de Village”. Kita sebagai tamu disebut sebagai GM atau “Gentil Member” (kind guest). Sementara stafnya disebut GO atau “Gentil Organisateur” (kind organizer).

Pertama kali saya tinggal di Club Med Bali pas zaman kuliah dulu, sebelum ada ponsel dan internet. Waktu itu almarhumah ibu sedang ada conference, jadi saya diajak nginep bareng. Ibu kerja, saya main. Pengalaman pertama itu berkesan banget! Sebagai orang yang senang berolah raga dan kompetitif, saya sampe dapet medali lomba antar GM dalam berbagai cabang olah raga. Hehehe! Sampai saat ini saya telah menginap di 3 Club Med, yaitu Club Med Bali, Club Med Kani Maldives (tempat lokasi syuting film “Trinity, The Nekad Traveler”), dan terakhir Club Med Bintan Island. Masing-masing oke banget!

Ini 5 alasan kenapa Anda wajib menginap di Club Med dan yang membedakan Club Med dengan hotel/resor lainnya:

  1. Friendly GOs

Konsep GO ini lah yang cuman ada di Club Med. Para GO kerjanya nemenin tamu main, makan, minum, ngobrol. Sebagian GO ada yang merupakan instruktur cabang olah raga tertentu, atau guru di Mini Club, atau stage performer, dan lain-lain. Dalam satu village, GO berasal dari puluhan negara sehingga bisa berbagai macam bahasa. Mereka orangnya asik-asik banget, cowok-cowoknya juga luthu-luthu. Saya sih seneng jadi selalu punya teman baru, mulai orang lokal sampai orang Rusia, South Afrika, dan Mauritius segala. Bener-bener “desa internasional”! Pulang-pulang jadi sedih karena berasa ninggalin keluarga sendiri.

The multicultural GOs @ Club Med Bintan

  1. All-Inclusive Holidays

Sistem di Club Med ini enaknya adalah all inclusive. Artinya, harga menginap termasuk kamar, makan sepuasnya 3 kali sehari, snack di antaranya, minum apapun termasuk free flow alkohol.  Penggunaan segala macam fasilitas, seperti gym, tennis, squash, bahkan termasuk laundry. Juga termasuk ikutan aktivitas apapun, mulai dari olah raga, permainan, dan menonton pertunjukan. Tenang aja, setiap GM akan diberikan gelang berwarna yang membedakan dewasa dan anak-anak karena urusannya sama pesan alkohol. Harga yang tidak termasuk paling untuk beli baju di butik atau spa, itu pun disediakan kartu khusus jadi nggak perlu bawa dompet dan pegang uang tunai.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

  1. Perfect Location

Lokasinya pasti kece dan eksklusif, di sebuah destinasi liburan yang terkenal bagusnya. Bisa di pantai, atau di pegunungan bersalju. Resornya sendiri pasti luas dan pasti ada tempat menyendiri kok, misalnya di Club Med Bali ada kolam renang khusus dewasa, di Club Med Bintan ada bukit zen yang sepi. Lingkungan sekitarnya pun kece untuk dijelajahi, kayak di Club Med Kani yang sepulau bisa dikelilingi untuk pindah-pindah berenang dan foto-foto.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

  1. Delicious Food & Unlimited Drink

Setiap makan sistemnya adalah prasmanan (buffet). Hebatnya, kualitas makanannya juara kelas! Ini bukan kayak prasmanan pesta kawinan, tapi restoran yang super luas ini terdiri dari konter-konter makanan yang ditata per piring, misalnya aneka salad dan roti, Indonesian food, Indian food, Chinese food, Italian food, Japanese, Korean, healthy food, sampai dessert. Tampilan dan rasanya enak-enak banget! Pokoknya tiap makan pasti bingung milihnya dan nggak bisa diet! Minumannya juga dikasih bir, wine, infuse water, aneka juice, teh, kopi. Eits, belum selesai. Di antara makan besar sampai supper, disediakan snack juga, seperti sandwich, samosa, donat, sate, mie, dan lain-lain. Mau minum segala macam cocktail, mocktail, alkohol juga ada! Puasnya kebangetan!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

  1. Fun Activities

Setiap hari ada jadwal aktivitas yang dibuat per jam. Misalnya pagi hari ada kelas yoga, taichi, power walk, lalu siang-sore ada aquarobic, kelas memanah, belajar trapeze, belajar sailing, lomba voli pantai, snorkeling. Setiap malam pun ada stage performance oleh para GO dan disko bareng. Fitur khas Club Med yang terkenal adalah Mini Club, yaitu aktivitas seharian khusus untuk anak-anak, mulai dari olah raga sampai kesenian, yang dipimpin oleh para GO. Jadi para orang tua selalu punya “me time” sementara anak-anaknya punya kesibukan sendiri. Kalau saya punya anak, pasti saya ajak liburan ke Club Med deh biar nggak rempong! Hehe!

Dare to fly trapeze @ Club Med Bintan?

Meskipun aktivitas padat, tapi tidak harus ikut semua kok. Awalnya saya pikir ngapain 3 malam ngendon di hotel mulu, tapi selalu berakhir dengan tidak ke mana-mana, bahkan merasa selalu kekurangan waktu!

Tips:

  • Bawa pakaian olah raga, seperti baju yoga, sepatu lari, baju renang, yang disesuaikan dengan aktivitas yang ingin Anda ikuti.
  • Saat makan kenakan pakaian karena dilarang pake baju renang di dalam restoran.
  • Kenakan sunscreen karena akan banyak aktivitas luar ruangan.
  • Untuk info lebih lanjut atau mau booking, silakan langsung ke clubmed.co.id

Selamat berlibur!

5 situs diving favorit di Indonesia

$
0
0

Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulau adalah surga bagi pecinta pantai dan menyelam. Lokasi Indonesia yang termasuk ke dalam “Coral Triangle” merupakan pusat keanekaragaman hayati (biodiversity) laut dunia. Artinya, jumlah terbanyak dari segala macam spesies laut sedunia berada.

Namun bagi saya, menyelami alam bawah laut akan lebih menyenangkan jika aktivitasnya tidak hanya menyelam saja. Alam daratannya dengan pemandangan yang bagus merupakan nilai tambah, juga sejarah, akses, bahkan kulinernya. Berdasarkan itu, saya punya 5 situs menyelam di Indonesia yang merupakan favorit saya:

  1. Kepulauan Raja Ampat

Tidak ada yang menyangsikan lagi keindahan Raja Ampat yang merupakan sebuah kabupaten yang terletak di propinsi Papua Barat. Luasnya yang nyaris sebesar propinsi Jawa Timur ini memiliki 600 pulau. Sebagian besar wisatawan hanya menjelajahi bagian utara terutama sekitar bukit Wayag yang seperti sering kita lihat fotonya, padahal bagian selatannya di sekitar Misool jauh lebih bagus meski susah payah mencapainya. Letaknya yang terpencil dan jarang penduduk membuat alamnya masih alami. Perbukitan karst, gua laut, air terjun, hutan lebat, pantai pasir putih, menawarkan pemandangan spektakuler. Bagi penggemar bird watching, burung cendrawasih beraneka jenis terdapat di sana.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Sedangkan alam bawah lautnya pun tak kalah hebat. Ia memiliki keanekaragaman spesies terbanyak di dunia dengan 1.508 spesies ikan, 537 spesies karang dan 699 spesies moluska. Ikan khas Raja Ampat adalah wobbegong atau ikan hiu karpet dan ikan barakuda jenis yellowtail. Namun aneka hiu lainnya, manta ray, penyu, stingray pun sering terlihat. Arusnya yang kencang dan tingkat visibility yang cenderung rendah memang merupakan pusat hewan laut pelagic.

     2. Taman Nasional Komodo

Meski lebih terkenal karena hewan komodo yang merupakan biawak raksasa yang hanya ada di Indonesia, namun kepulauan Komodo memiliki alam bawah laut yang luar biasa. Terletak di propinsi Nusa Tenggara Timur, TN Komodo dicapai dengan menggunakan kapal dari kota Labuan Bajo. Terdiri dari 3 pulau besar yaitu Komodo, Rinca dan Padar, serta 26 pulau kecil, topografi daratannya berupa perbukitan yang sebagian besar berupa padang rumput dan hutan savana. Pulau-pulaunya berpasir putih dengan air laut yang tenang. Bahkan Pink Beach yang memiliki pasir berwarna jambon adalah salah satu pantai tercantik di dunia yang pernah saya kunjungi.

Dengan akses yang lebih mudah daripada Raja Ampat, bisa saya katakan menyelam di TN Komodo pun tidak kalah bagusnya. Selain terumbu karangnya yang variatif, di TN Komodo banyak terdapat hewan besar seperti aneka hiu, manta ray, eagle ray, penyu, dan bumphead parrotfish. Bahkan kalau beruntung bisa lihat ikan lumba-lumba dan dugong. Hewan kecil seperti nudibranch, kuda laut pygmy, dan pipefish juga sering terlihat. Ikan teri saja bisa membuat klaustrofobik saking banyaknya sampai menghalangi pandangan.

  1. Kepulauan Wakatobi

Wakatobi singkatan dari nama pulau terbesarnya, yaitu Wangi-Wangi, Kadelupa, Tomia, dan Binongko.  Terletak di Sulawesi Tenggara, ia terdiri dari 143 pulau yang juga dinamai Kepulauan Tukang Besi. Bapak selam dunia, Jacques Cousteau, mengklaim Wakatobi sebagai “underwater nirvana”. Ikan karangnya yang luar biasa banyaknya dan sekelompok barakuda terlihat berseliweran. Fakta yang hebat, alam bawah laut Wakatobi memiliki 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di dunia. Tingkat visibility-nya mencapai 30-80 meter. Semuanya membuat penyelaman yang sangat memanjakan mata. Tak heran Operation Wallacea, sebuah LSM asal Inggris yang fokus pada penelitian terumbu karang dan perikanan, setiap Juli-Agustus mendatangkan 600 peneliti.

Wakatobi yang memiliki moto “surga di atas, surga di bawah” memang tak hanya cantik alam bawah lautnya, tapi juga daratannya. Pulau-pulaunya berpasir putih dengan air laut bergradasi biru muda ke biru tua. Ia juga memiliki atol, bahkan Karang Kaledupa merupakan sebuah atol terpanjang di dunia sepanjang 48 km. Selain nikmat berenang, kita juga bisa mengunjungi perkampungan suku Bajau yang perumahannya dibangun di atas laut.

  1. Kepulauan Banda

Banyak yang menyangka Banda itu ada di Aceh, padahal ia adalah sebuah kepulauan di Maluku, tepatnya di selatan Pulau Seram. Kepulauan Banda yang terdiri dari 10 pulau, sampai abad ke-19 merupakan satu-satunya tempat tumbuhnya pala di dunia sehingga jadi rebutan para penjajah asing. Hebatnya, pada abad ke-17 Pulau Run pernah ditukar dengan Manhattan di New York. Ibu kota kecamatannya bernama Banda Neira menyimpan peninggalan sejarah yang sangat kaya, mulai dari benteng-benteng Belanda sampai rumah tempat pembuangan sejumlah tokoh besar Indonesia, yaitu Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta. Karena merupakan kepulauan vulkanis, tanah di Banda sangat subur.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Menyelami alam bawah lautnya terasa seperti berada di hutan lebat saking rapatnya tumbuhan dan karangnya. Di setiap situs, kita selalu bertemu gerombolan ikan fusiliers and redtooth tirggerfish. Sea fan terbesar di dunia yang pernah saya lihat dan lobster terbanyak yang pernah saya temui ada di Banda. Bagi penyelam yang sudah mahir, di kedalaman 40 meter dapat bertemu sekawanan ikan hiu martil. Tanpa harus bersusah payah, di pinggir dermaga Banda Naira pun kita dapat menonton mandarin fish yang berwarna menyolok menari-nari.

  1. Taman Nasional Bunaken

Bunaken yang terletak di Sulawesi Utara ini sepertinya telah ditinggalkan setelah situs-situs diving lainnya di Indonesia “lahir”. Pertama kali saya diving di sana pada tahun 1997, setelah berkali-kali dan terakhir pada 2015, saya masih menganggap Bunaken tetap cantik. Topografi alam bawah laut Bunaken sebagian besar berupa wall dalam dengan terumbu karang yang rapat dan bervariasi. Hiu, penyu, dan geromobolan ikan karang berwarna-warni merupakan pemandangan biasa. Airnya yang bening dan arus yang tidak terlalu kencang membuat penyelaman di Bunaken sangat menyenangkan.

Dengan hanya setengah jam naik speed boat dari kota Manado, akses ke Bunaken sangat mudah. Manado sendiri dapat ditempuh dengan banyak penerbangan dari Jakarta, Bali, dan Makassar sehingga tidak perlu susah payah mencapai situs diving kelas dunia dengan harga yang terjangkau. Tidak perlu ganti-ganti pesawat, pindah-pindah alat transportasi atau berjam-jam naik kapal – begitu mendarat bisa langsung nyebur. Nilai lebihnya lagi, kuliner Manado terkenal enaknya. Kalau ada trip diving yang makanannya paling enak, Bunaken lah tempatnya.


Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di DestinAsian Indonesia, Juli 2015

Diving sama hiu di Maldives

$
0
0

Trip “Maldives with Trinity” pada 23-26 Maret 2018 by @MaldivesHemat akhirnya “terjaring” 20 orang. Itinerary masih sama dengan yang saya tulis di sini. Bedanya, ya orang-orangnya. Banyak yang datang sendiri sebagai solo traveler, bahkan sebagian baru pertama kali. Modal nekad katanya. Tapi akhirnya everybody’s happy karena bertemu dengan teman-teman baru – yang sampai sekarang masih rame di grup WhatsApp karena pada susah move on. ?

Yang perlu saya highlight adalah island hopping naik private boat mewah bak horang kayah. Kali ini lokasi snorkeling dan sandbank-nya beda. Sandbank (pasir timbul) yang ini bentuknya panjang banget jadi gampang cari spot kosong untuk foto-foto. @MaldivesHemat pun kemajuan udah punya drone, jadilah angle foto-foto makin menggila. Trus, pas acara free time, hampir semuanya kompak milih day trip ke satu resor jadilah seharian kami main bareng, tanding polo air melawan bule-bule, belajar berenang gratis by Coach Trinity, sampai belajar signature pose saya yang gaya kaki di atas. Malam terakhir pun kami dugem di atas kapal di tengah laut karena di darat alkohol dilarang.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Setelah rombongan cabut, saya pun extend untuk menikmati Maldives dengan cara lain karena udah dua kali ke Maafushi. Selain jalan-jalan keliling Maafushi, tujuan utamanya adalah diving. Bagusnya @MaldivesHemat baru bikin paket diving bekerja sama dengan Arena Dive Club yang terletak di hotel yang sama tempat rombongan biasa menginap. Saya salut dengan bagaimana Rudi dan Pajay, pemilik @MaldivesHemat, menangani open trip. Semua paket sudah dicoba dulu berkali-kali untuk memastikan pelayanannya, bahkan mereka sampai ambil license diving dulu di sana!

Seperti biasa sebelum diving, saya ke kantornya untuk sewa alat dan ukur-ukur peralatan. Arena Dive Club ini baru aja buka Juli 2017, jadi peralatannya serba baru dengan merk ngetop. Roberto, bos dive center ini asal Italia yang sudah pernah punya bisnis dive operator di Sharm El Sheikh, Mesir. Dive Guide dan instrukturnya multinasional; ada Veronica asal Rusia, Jean asal Taiwan, Ahmed asal Mesir, dan Isa asal Maldives. Yang saya senang lagi, karena udah kurusan, sekarang saya muat sewa wetsuit ukuran orang normal! Ih, bangganya! Hehehe!

Hebatnya lagi – dan ini yang bikin kita kalah adalah kalau mau diving nggak perlu nunggu minimal jumlah orang. Mau sendiri juga tetap berangkat dengan harga per orang sama. Kapal mereka juga gede banget! Kapal dengan bentuk kapal tradisional Maldives ini bisa muat 20an orang bersama tangki-tangkinya yang dikali dua tanpa bersesakkan. Di depan dan atapnya ada deck untuk duduk-duduk atau berjemur, ada shower air tawar untuk bilas, ada toilet. Stafnya pun baik-baik banget, sampai megangin tangan pas jalan ke pinggir kapal untuk nyebur gaya giant step.

Tiga hari saya diving, dua kali di pagi hari mulai jam 8.00 dan satu kali di sore hari jam 14.30. Karena base-nya di Pulau Maafushi, maka lokasi diving di sekitar Kaafu Atol yang naik kapal maksimum 20 menit aja. Spot yang dekat bisa liat terumbu karang dan ikan-ikan karang, ada gua, ada shipwreck. Entah kenapa biota laut di sana ukurannya kok lebih gede gitu. Nudi branch segede tikus, surgeonfish dan anglefish aja lebih gede dari telapak tangan, mooray eel super gemuk dan berenang (bukan ngumpet), bahkan puffer fish ampe segede kepala!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Spot yang jauh, terutama area antar pulau di Guraidoo Corner dan Kandooma Thila, ini yang bikin sedap. Diving di kedalaman sampai 35 meter, arusnya super kenceng, di situ lah ikan pelagis berada! Hiunya banyak banget (di pantai Maafushi aja banyak baby sharks, rupanya di sinilah ortu-ortunya berasal), ada grey reef shark, black tip shark, white tip shark. Saking arus kenceng, di satu spot kami terpaksa harus mengaitkan hook ke karang dan membiarkan gerombolan hiu lewat. Selain itu ada banyak penyu, barakuda, bumphead fish, dogtooth tuna, giant trevally, eagle ray, stingray. Ahh, gilaaaa mantapnyaa!! Satu lagi temuan, setelah kurusan ternyata napas saya jadi irit. Setiap kelar diving, masih ada sisa 100 bar oksigen! Sampai rombongan diver bule komen, “Are you a fish?” #bangga

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Saya masih punya seharian untuk dihabiskan sebelum terbang pulang jam 9 malam. @MaldivesHemat menyarankan untuk ikut excursion snorkeling trip ke Shark Bay atau liat whaleshark. Karena pernah liat whaleshark, saya memutuskan untuk ke Shark Bay. Mereka pernah ikutan dan katanya banyak banget nurse sharks. Tapi namanya juga alam, sialnya saya nggak ketemu satupun hiu. Yang ada adalah gerombolan ikan giant trevally segede bayi! Serius! Ntar deh kalau videonya jadi, saya share di YouTube TheNakedTraveler. Abis itu kami lunch di Pulau Fulidhoo yang bagusnya kebangetan sampai mau nangis. Lalu berenang bersama lumba-lumba di lagoon – yang ternyata susah bener mendekat. Meski saya jago berenang, tetep kalah. #yaiyalah

Fulidhoo Island

Sorenya kami ke Male. Diajak ke toko suvenir termurah se-Male, namanya My Friends. Ternyata sebagian peserta ada yang nitip beliin oleh-oleh lagi. Lalu diajak keliling kota, ke alun-alun, ke Friday Mosque, minaret Munnaaru, ke rumah presiden Maldives yang masih gedean rumah di Pondok Indah, ke pasar, dan terakhir ke pelabuhan untuk melihat stingray banyak banget!

Seminggu di Maldives lewat begitu aja. Ya begitulah kalo kita sangat menikmati liburan. Kalau Anda mau ikut paket liburan hemat di Maldives atau mau diving, kontak aja maldives-hemat.com ya? Very recommended!

8 Tempat Menarik di Belanda Selain Amsterdam

$
0
0

Cukup banyak orang Indonesia traveling ke Belanda, namun tampaknya sebagian besar mentok di Amsterdam. Kalau pun ada lanjutannya kebanyakan ke Volendam untuk foto pake baju khas Belanda dan “keliling” Belanda di Madurodam. Nggak apa-apa sih, tapi coba deh “melipir” ke banyak tempat lain di Belanda yang tak kalah menarik. Contohnya ini nih;

1. Keukenhof
Bunga tulip itu cantik banget, apalagi tamannya bunga tulip! Ada 7 juta bunga tulip dengan 800 variasi tersebar di taman seluas 32 hektar. Bunganya bukan hanya tulip, tapi ada juga hyacinth, crocus, sampai anggrek. Taman pun dibikin tema kayak cupid’s garden, hipster garden, dll. Sayangnya Keukenhof hanya buka 8 minggu dalam setahun pada musim semi (Maret-Mei) jadi kalau mau ke sini harus di-planning Supaya nggak ribet, nginepnya di kota Leiden deh. Trus bisa keliling di sekitar Lisse yang banyak padang bunga berwarna-warni.
Rekomendasi hotel: Steenhof Suites di Leiden. Hotel butik ini menempati bangunan berusia 400 tahunan dengan interior mewah.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on


2. Kasteel de Haar
Tak banyak yang tahu bahwa istana de Haar ini adalah yang terbesar dan tercantik di Belanda. Aslinya dibangun pada 1391 namun direstorasi pada 1892 oleh arsitek Pierre Cuypers yang juga merancang Amsterdam Central Station dan Rijksmuseum. Interiornya berupa ornamen pahatan kayu yang mirip gereja Katolik Roma, ditambah lagi koleksi permadani, porselen, dan lukisan. Tamannya seluas 135 are, termasuk taman bunga mawar, tak kalah cantiknya. Pemiliknya telah menyerahkan istana ini ke sebuah institusi, namun sebulan dalam setahun mereka boleh tinggal di sana. Keluarga pemilik dari dulu memang sering mengadakan pesta. Tamu-tamunya antara lain Coco Chanel, Roger Moore, Yves Saint Laurent, dan Brigitte Bardot. Bahkan pesepakbola Marco van Basten aja pesta kawinnya di sana!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

3. Utrecht
Setelah mengunjungi Kasteel de Haar yang terletak di Utrecht, mending sekalian menjelajah kota ini karena menarik dan bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. Sejarahnya berawal dari zaman Romawi, sebagian peninggalannya masih dapat terlihat. Berbeda dengan Amsterdam, di pinggir kanal di sini terdapat dermaga yang sebagian telah diubah jadi kafe/bar. Pemandangan seluruh kota bisa dilihat dari puncak Dom Tower yang bisa dinaiki melalui 465 anak tangga. Mau ke museum, gereja, pasar, mal, infonya bisa dibaca di sini.
Rekomendasi hotel: Stayokay adalah hostel hipster yang sarapannya mewah, lokasinya strategis di depan alun-alun Neude.

4. Bataviastad
Yang doyan belanja barang bermerek, Bataviastad menawarkan harga diskon sampai 70%. Factory outlet ini gede banget, dibikin seperti desa abad ke-17. Ada lebih dari 250 brand internasional fashion dan lifestyle, mulai dari Michael Kors dan Hugo Boss sampai Adidas dan Columbia. Kalau udah belanja minimal 50 Euro, bisa minta tax refund langsung di konter Global Blue Tax Free di sana tanpa harus urus di bandara Schiphol. Ke sananya bisa naik shuttle bus setiap hari dari Amsterdam (di depan Park Plaza Victoria Hotel) jam 10 pagi dan kembali jam 4 sore dengan harga tiket cuma 2,5 Euro.

5. Giethoorn (dibaca: hithorn)
Desa ini menurut saya paling cantik di Belanda. Disebut sebagai “Little Venice” karena rumah-rumahnya yang beratap rumbia terletak di sepanjang kanal. Tidak ada kendaraan bermotor, semua pake perahu. Perahunya pun dioperasikan dengan tenaga listrik jadi nggak berisik dan nggak polusi. Mata pencaharian penduduknya adalah beternak dan berkebun, jadi macam desa yang damai banget. Aktivitas selain menyusuri kanal naik kapal, bisa ke museum batu-batuan, pembuatan keramik, dan pabrik keju dari sapi Jersey.
Rekomendasi hotel: De dames van de Jonge. Terletak persis di pinggir kanal, hotel ini sangat homey jadi berasa nginep di rumah nenek sendiri.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

6. Efteling
Ini adalah salah satu theme park tertua di dunia. Orang Belanda banyak yang belum pernah ke tempat-tempat di atas, tapi pasti pernah ke Efteling – paling tidak sekali seumur hidupnya. Konon Disneyland aja dibuat setelah terinspirasi dari Efteling. Zona uniknya adalah Fairytale Forest di mana dongeng dunia macam Rapunzel, Pinokio, Putri Salju dibuat berbentuk interaktif. Kalau mau naik roller coaster, coba deh yang terbaru dan paling serem namanya Baron 1898. Kita dijatuhkan secara vertikal dari ketinggian 37,5 meter lalu muter-muter dengan kecepatan 90 km/jam! Asiiiik!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

7. Kinderdijk (dibaca: kinderdeyk)
Belanda terkenal dengan kincir anginnya. Kalau mau lihat banyak kincir angin dalam satu tempat, pergi lah ke Kinderdijk. Ada 19 kincir angin yang terkonsentrasi dalam satu area di pinggir kanal. Termasuk UNESCO Heritage Site, kincir angin di sini dibangun pada abad 18 untuk memompa air. Ada 2 kincir yang dapat kita kunjungi, jadi bisa tau di dalam kincir angin ini isinya rumah bertingkat yang tengahnya terdapat motor penggerak kincir angin. Kamar tidurnya kayak lemari, ada pintu kayu yang bisa dibuka-ditutup. Kita bisa naik perahu atau sepeda untuk berkeliling.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

8. Rotterdam
Ini kota favorit saya se-Belanda karena merupakan perpaduan kota lama dan kota baru. Dulu pada Perang Dunia II pernah dibom, sehingga saat ini bangunan berusia ratusan tahun dan bangunan pencakar langit berdiri berdampingan. Desain arsitekturnya pun modern. Yang paling keren adalah The Cube House – rumah kuning berbentuk kubus yang tampak melayang, dan The Markthal – pasar indoor paling keren sedunia. Mau lebih instagrammable lagi, jalan kaki di jembatan kayu Luchtsingel dan makan siang sehat di rooftop farm terbesar di Eropa bernama Op het Dak. Makan malamnya di Bazar, resto makanan Timur Tengah yang trendy.
Rekomendasi hotel: Inntel Hotels Rotterdam City Center. Terletak di pusat kota dengan kamar yang menghadap pemandangan kota yang cantik.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Tips:

  • Ke Belanda paling nyaman naik KLM karena ada penerbangan langsung Jakarta-Amsterdam setiap hari dengan jam yang wajar. Pesawatnya jenis 777-300 ER, interiornya serba biru, makanan bisa pesan menu a la carte. Seleb Farah Quinn jadi chef-nya lho!
  • Bandara Schiphol gampang banget terhubung dengan kota-kota di Belanda maupun di Eropa lainnya dengan menggunakan transportasi umum.
  • Download app KLM supaya bisa bikin mobile boarding pass, info peta Schiphol, baca majalah gratis, bahkan bisa booking tur dan aktivitas di seluruh dunia.

How to sleep in an economy class long-haul flight?

$
0
0

Sebagai tukang jalan-jalan, sialnya saya nggak bisa “pelor” (nempel langsung molor) alias nggak gampang bisa tidur. Saya baru bisa tidur beneran kalau posisi badan horizontal, suasana gelap, dan sunyi. Alangkah capeknya kalau pas terbang long haul, kan? Belum transit, belum kena jet lag, apalagi kalau begitu nyampe harus langsung beraktivitas. Hadeuh!

Penerbangan long haul di sini hitungannya di atas 6 jam. Contohnya, ke Jepang sekitar 7 jam, ke Eropa belasan jam, ke Amerika 20-an jam. Paling enak memang terbang di business class – ditanggung malah nggak mau bangun saking enaknya! Tapi saya kan bukan anggota DPR, eh bukan orang tajir.

Eniwei, saya kasih tau nih caranya supaya bisa tidur di kelas kambing ekonomi pada penerbangan long haul dengan asumsi naik pesawat full board (bukan budget);

  1. Bayar lebih untuk kursi kelas Premium Economy. Kelas ini berada di antara economy class dan business class. Tetap duduk di deretan kursi ekonomi, tapi ruang kaki lebih lega dan kursi lebih gede dikit dengan sandaran yang bisa lebih ngejeblak. Kalau Anda sebal dengan anak kecil cengeng di pesawat, duduk di kelas ini adalah investasi karena sebagian maskapai bikin zona sunyi di mana yang boleh duduk di situ hanya yang berusia 12 tahun ke atas. Nikmat, bukan?
  2. Pilih jam keberangkatan pas jam tidur. Enaknya sih di atas jam 10 malam.
  3. Sangat penting untuk online check-in! Rata-rata maskapai baru memperbolehkan check-in online 24-48 jam sebelum jam keberangkatan. Selain supaya mempercepat proses check-in di konter, yang lebih penting lagi adalah bisa pilih kursi.
  4. Posisi menentukan prestasi! Lebih enak tidur kalau duduk di jendela karena kepala bisa nyender ke samping dan tidak diganggu orang sebelah. Tapi kalau Anda beseran (sering pipis), pilih lah duduk di aisle (gang) jadi nggak gangguin orang di sebelah karena sering permisi. Kalau Anda kakinya panjang, pilih duduk di emergency exit. Pokoknya duduk di mana pun asal jangan duduk di tengah deh karena bakal digencet kanan kiri dan harus selalu permisi ke sebelah.
  5. Capek-capekin badan dulu sebelum terbang. Saya biasanya sih nge-gym dulu, atau berenang bolak-balik yang banyak. Olah raga berat itu bikin enak tidur setelahnya, minimal gampang ketiduran.
  6. Jangan lupa makan di pesawat karena lapar itu bikin nggak bisa tidur! Di sebagian maskapai bisa memesan makanan khusus saat membeli tiket, seperti makanan vegetarian, kosher, gluten free, diabetic. Keuntungannya, makanan akan diberikan duluan, jadi bisa tidur duluan! Tapi kalau Anda memang nggak mau makan, tempel lah sticker do not disturb jadi nggak bakal dibangunin pas makanan datang.
  7. Pakai lah baju senyaman mungkin. Malah saya kalau terbang jauh bajunya udah hampir kayak piyama: kaos kedodoran dan celana legging/celana training dengan bahan katun. Beha pun pake yang tidak berkawat. Gimana gayanya sih terserah Anda, yang penting tidak mengganggu tidur – misalnya pake rok mini atau baju yang terlalu ketat sampai duduk aja susah.
  8. Musuh saya di pesawat adalah AC yang super dingin. Meski disediakan selimut, saya tetap pake jaket, malah yang ada hoodie-nya. Kadang ditambah dengan selendang pashmina untuk diubet-ubet ke leher dan kepala. Saya juga pasti pake kaos kaki karena tidak semua maskapai memberikan amenities.
  9. Pas kita menunggu boarding, hitung lah jumlah penumpang dan bandingkan dengan kapasitas kursi pesawat. Kalau sedikit, usahakan duluan masuk. Tek barisan tengah. Duduk di situ dulu. Supaya apa? Supaya bisa tidur selonjoran dengan ngembat 3-4 kursi yang sejajar! Begitu ada penumpangnya, segera pindah ke barisan lain. Biasanya sih di barisan belakang lebih banyak kesempatan kosongnya. Kalau keliatannya barisan tengah sudah ditempati semua, carilah di pinggir. Tidur di 2 kursi sejajar masih jauh lebih baik daripada 1 kursi.
  10. Sebelum pesawat take-off, jangan lupa berdoa. Karena kekhawatiran itu bikin nggak bisa tidur! Ada baiknya minta ampun sekalian, siapa tahu pas lagi enak tidur pesawatnya jatuh jadi nggak sempat ngapa-ngapain!
  11. Minum obat tidur. Andalan saya sih Antimo aja. Logikanya, obat ini membuat kita jadi ngantuk. Karena tidur selama perjalanan pasti tidak jadi mabuk kan? Ada sih jenis obat lain khusus bikin tidur, tapi saya udah nyoba nggak ada yang mempan. Si Yasmin malah biasanya minum obat batuk.
  12. Kalau boleh, minum alkohol. Biasanya sih minum wine yang paling bikin ngantuk. Atau ada yang kebiasaannya minum susu dulu sebelum bobo, ya minta aja sama pramugarinya. Yang jelas jangan minum kopi karena kafeinnya bikin mata malah melek, kecuali yang udah biasa.
  13. Bawa bantal leher. Udah jelas kan untuk apa?
  14. Jeblakin senderan kursi paling pol. Pada bagian kepala biasanya ada semacam bantalan. Tekuklah di ujung kanan kirinya untuk senderan kepala.
  15. Pake penutup mata (eye mask), apalagi bagi yang tidurnya harus pitch dark.
  16. Pake sumpelan kuping (earplug) supaya tidak terganggu suara. Tapi kalau biasa tidur sambil denger musik ya pake headset dan pasang lagu yang bikin tidur.
  17. Pake minyak aromatherapy, biasanya yang lavender, bergamot, chamomile. Saya sih nggak pernah pake ginian, tapi beberapa teman saya bersumpah ini berhasil membantu.
  18. Pake seat belt terus dan ikatkan di atas selimut, biar nggak dibangunin kalau ada turbulence.
  19. Singkirin majalah dari kantong kursi depan, supaya nambah ruang untuk dengkul.
  20. Kalau semuanya belum mempan juga, ya cari kegiatan yang lama-lama bikin ngantuk, misalnya nonton film sampe bego, baca buku tebal, atau kerja di laptop.

Selamat bobo!
Yang punya tambahan cara lain, silakan ditulis di comment ya?


Deg-Degan Sekolah Freediving

$
0
0

Freediving adalah penyelaman ke dalam air tanpa melibatkan penggunaan peralatan selam atau alat bantu pernapasan, tetapi lebih bergantung pada kemampuan seorang penyelam untuk menahan napasnya di dalam air sampai penyelam tersebut kembali menuju permukaan. (www.freediverindonesia.com)

Pertama kali saya tertarik pengin bisa freediving karena melihat aksi gebetan di Fiji pada 2016. Cowok ganteng asal Jerman itu adalah seorang cameraman spesialis underwater. Kami tinggal sekamar di hostel dan setiap hari berenang bareng di laut. Ehm. Di situ lah saya lihat dia tiba-tiba turun ke dasar laut, duduk santai sambil memvideokan saya lagi berenang di permukaan! Aih, saya langsung klepek-klepek!

Setiap tahun saya menargetkan diri untuk belajar hal baru dengan ikut kursus. Gara-gara cowok itu lah saya jadi pengin sekolah freedive. Tanggalnya dipasin dengan ulang tahun saya 11 Januari 2017 sebagai hadiah kepada diri sendiri. Sengaja saya ambil kursus di Bali supaya privat, soalnya malas kalo rame-rame di Jakarta. Pemilihan sekolahnya di Apnea Bali berdasarkan rekomendasi dari Babang Hamish Daud. Saya mengambil kelas dasar “Freediver” dan kursus diadakan selama 2 hari full di Tulamben. Catatan, tulisan ini bukan iklan, saya bayar sendiri dengan harga normal.

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Saya baru tahu bahwa sertifikasi freedive itu ada bermacam mahzab, antara lain AIDA, SSI, PADI, CMAS, Apnea Total. Yang terakhir yang saya pilih karena saya tidak ingin terlalu serius apalagi ikut berkompetisi, jadi sertifikasi Apnea Total sudah cukup. Agensi sertifikasi lain baru akan meluluskan bila murid dapat menyelam minimum kedalaman yang ditentukan oleh agensi dan ada ujian tertulis, sedangkan di Apnea Total tidak mengharuskan syarat kelulusan tersebut karena tujuannya adalah rekreasi jadi yang penting nyaman menyelam dan menguasai teknik menyelam yang proper serta efisien.

Sebagai seorang yang jago berenang (malah mantan atlet renang) dan scuba diver puluhan tahun, saya merasa saya nggak bakal bermasalah. Tapi mendekati Hari-H, saya kok deg-degan! Membayangkan diri sendiri di bawah laut yang gelap, dingin, dalam, sunyi… lalu setengah mati menahan napas sampai sesak… Huaaaa! Terus, kalau di udah nggak kuat, nggak ada emergency plan, nggak ada buddy di sebelah seperti di scuba diving yang bisa dimintai oksigen! Aarrrgghh!

Saya jadi merasa nggak pede untuk sekolah freedive sendiri, maka saya ajak lah teman-teman. Sialnya ngga ada yang mau. “Bo, wis tue mbok ya nggak usah macem-macem!” kata mereka begitu. Ah, mereka memang kurang suka tantangan. Seminggu sebelum kursus, tau-tau teman saya di Bali si Tom pengin ikutan juga. Asyik ada barengannya!

Singkat cerita, jam 8 pagi hari pertama kami memulai sekolah dan berkenalan dengan instrukturnya, @AgusHong. Rupanya sekelas ya muridnya cuman saya dan Tom. Salah satu kelebihan sekolah ini hanya menerima maksimal 3 orang murid dalam 1 kelas. Jadwal sekolah selama dua hari adalah setengah hari belajar di kelas dan setengah hari di laut. Selama sesi kelas kami belajar teori, teknik dasar freedive, fisiologi pernapasan, praktik teknik pernapasan, relaksasi badan dan pikiran/mental, ekualisasi telinga, isu keamanan, prana yama dari yoga, serta stretching.

Untuk praktik di laut, kami dipinjami wetsuit, fins, dan masker. Saya pikir fins akan dikasih yang panjang khusus freediving, nggak taunya yang standar aja karena lebih fokus ke teknik finning yang benar, jadi nanti pakai fins panjang maupun pendek bukan masalah lagi. Yang beda adalah masker-nya lebih tipis karena harus yang low volume. Kami juga diberi pemberat besi 2 kg yang dililitkan di pinggang supaya lebih gampang tenggelam. Di permukaan laut tersedia buoy, semacam ban apung. Dari ban tersebut menjulurlah tali ke dalam laut sepanjang puluhan meter.

Jadi sebelum menyelam itu kita harus pemanasan dengan melakukan beberapa penyelaman yang dangkal dulu untuk mempersiapkan paru-paru terhadap tekanan, serta mempersiapkan mental dan relaksasi. Lalu dengan menahan napas saya masuk ke dalam laut perlahan-lahan dengan berpegangan tali sambil pencet hidung untuk ekualisasi. Awalnya hanya bisa turun sampai kedalaman 3 meter, tapi lama-lama semakin dalam. Ketika udah berasa dalam banget, dada rasanya sesak! Pikiran saya, kalau menyelam lebih dalam lagi berarti harus menyisakan napas untuk naik ke permukaan. Begitu liat ke atas, malah tambah panik lagi karena rasanya jauuuuh banget diraih! Sementara saya udah megap-megap. Omaigat!! Persoalan selanjutnya adalah ketika saya disuruh masuk kepala duluan dengan kaki di atas. Waduh, saya jadi disorientasi sambil cari-cari tali sehingga buyar!

Kata instruktur, kuncinya memang harus menyelam setenang mungkin dan sesedikit mungkin mengeluarkan tenaga. Semua ketakutan itu hanya lah di pikiran kita aja. Oksigen di dalam tubuh kita ada banyak hanya saja otak kita terlalu malas untuk menahan napas, makanya relaksasi pikiran sangatlah penting. Arrrrghh, tetep aja susah! Apalagi melihat si Tom bermasalah dengan sinus jadi dia nggak bisa ekualisasi dan melanjutkan penyelaman – padahal dia adalah seorang diver dan surfer handal! Duh, tambah deg-degan! It’s indeed a mental game!

Singkat cerita, akhirnya saya dinyatakan lulus dengan rekor menyelam di kedalaman 14-an meter. Malu sih cuman segitu aja, tapi ya sudah lah, itu pun saya takjub bisa sedalam itu. Pokoknya saya hepi saya bisa lulus, dan lebih penting lagi saya berhasil mengatasi ketakutan sendiri!

Sesi hari terakhir ditutup dengan fun dive di USS Liberty shipwreck (kapal karam). Saya dibolehin pake baju renang aja dan pake fins yang panjang. Baru kali itu juga saya freedive tanpa turun pake tali, jadi bisa liat pemandangan kapal karam dan banyak ikan. Ternyata saya lebih nyaman begitu. Pinternya lagi instuktur saya, dia bawa kamera underwater. Saya disuruh berenang masuk wreck yang dalam itu dengan imbalan akan difoto. Eh berhasil dengan sukses! Hehehe! Takjub juga saya bisa menyelam tanpa tabung di kapal karam situ, bisa sebelahan sama orang yang scuba diving!

A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on

Terus terang saya masih lebih suka scuba diving daripada freediving. “Ya beda. Kalau scuba diving untuk lihat-lihat sekeliling, kalau freediving untuk lihat diri sendiri – semacam meditasi dalam air,” kata Agus. Oh ya pantes! Lalu kenapa belakangan ini freediving jadi hits banget? Sekolah ini aja sampai punya instruktur dari berbagai bangsa dan bahasa, termasuk dari Cina. Muridnya pun masih muda-muda, anak milenial (kayaknya saya yang paling tua deh!). Dari hasil obrolan, jawabannya ternyata: “Motivasi kebanyakan orang pengin bisa freediving supaya kalau difoto underwater jadi bagus, bersih, nggak ada peralatan selam. Kan Instagram-nya jadi tambah kece!”  Oalah, fenomena eksis di medsos lagi rupanya!

Epilog
Sampai saat ini, 1,5 tahun kemudian, secara tidak disengaja setiap berenang atau snorkeling di laut ternyata saya otomatis mempraktikkan freediving. Rasanya jadi jauh lebih gampang ketika turun di kedalaman laut untuk melihat terumbu karang lebih jelas – itu pun nggak dalam-dalam amat dan nggak perlu juga dalam-dalam. Saya pun jadi lebih merasa aman saat scuba diving karena sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika (amit-amit) peralatan macet.

Ini ada video saya snorkeling di Maldives bersama schooling ikan giant trevallies segede-gede bayi. Kalau dulu belum sekolah freediving, mungkin saya nggak bisa kayak begini.

I survived public toilets in Central Asia!

$
0
0

Perjalanan ke Asia Tengah (Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan) pada Juli 2018 sungguh merupakan salah satu pengalaman yang paling seru. Pertama, karena jalannya sama teman-teman sendiri, sesama hardcore traveler, sesama travel writer, yaitu @claudiakaunang dan @riniraharjanti. Kedua, karena perjalanannya sungguh emosional – di satu sisi ternganga-nganga dengan indahnya pemandangan, di sisi lain terhoek-hoek dengan toilet umumnya!

Ya, meski Asia Tengah diberkahi dengan pemandangan yang indahnya luar biasa ternyata memiliki toilet umum terburuk di dunia. Saya menyadari toilet umum di Asia Tengah itu parah sejak kunjungan ke Kazakhstan pada Juli 2017. Meski Kazakhstan adalah negara terkaya di Asia Tengah, namun toilet umum yang bener cuma di kota besar seperti di Astana dan Almaty. Begitu ke pinggiran kota, ya ampun! Meski saat itu saya diundang oleh pemerintahnya, tapi mereka juga tidak kuasa terhadap keadaan toilet umumnya. Seorang peserta jurnalis asal Eropa mengatakan kepada saya, “Yah begitu lah toilet umum di negara bekas jajahan Uni Soviet. Parah semua!”

Jadilah saya wanti-wanti ke Claudia dan Rini untuk hati-hati sama toilet umumnya, secara ketiga negara yang kami datangi lebih kacrut daripada Kazakhstan. Saya suruh bawa kaca mata hitam biar pemandangan jorok jadi agak samar-samar, masker hidung biar nutupin bau, parfum atau minyak kayu putih untuk dibubuhi di masker hidung, serta tisu basah dan tisu kering yang banyak. Kami pun siap berangkat road trip dari Bishkek ke Samarkand.

Pagi itu baru juga meninggalkan kota Bishkek sejam, kami kebelet pipis. Pas supir isi bensin ke pom, saya terpaksa turun mencari toilet umum yang pasti berada di area belakang dengan bangunan terpisah. Dan saya pun dihadapkan lagi dengan WC jongkok tanpa ada klosetnya. Jadi hanya ada bolongan, tanpa air, baik untuk menyiram maupun membasuh! Alamak, segala kotoran manusia terlihat jelas menumpuk di dalam bolongan itu! Ditambah lagi dengan pasukan lalat dan lebah yang terbang berkeliaran di bilik yang sempit tanpa ventilasi! Sambil jongkok kebauan, lebah berdengung terbang di sekitar kepala tanpa bisa saya usir. Saya langsung mempraktikkan cara menahan napas ala freediving, buru-buru menyelesaikan tugas, lalu keluar sambil berlari kalang kabut kembali ke mobil. “Gaes, good luck, ya!” kata saya kepada Claudia dan Rini yang dibalas dengan muka pucat.

Tipikal toilet umum di pom bensin (foto @claudiakaunang)

Sejak itu kami berusaha menahan pipis sedemikian rupa sampai tiba di restoran atau penginapan. Pengalaman pertama yang buruk ini rupanya meninggalkan trauma bagi Rini. Sejak itu dia memilih untuk tidak minum sampai bibir kering daripada kebelet pipis. Sementara saya pada dasarnya “onta” yang doyan minum air putih jadi rajin “mengepang” kaki. Kasihannya Claudia sedang datang bulan, jadi mau tidak mau dia harus masuk toilet umum.

Namanya juga road trip di negara “nggak jelas” dan kami berada di pelosok, ternyata restorannya pun memiliki toilet dengan jenis yang sama berada di bilik terpisah jauh dari bangunan utama. Meski ada tisu, tapi tetep bentuknya WC jongkok tanpa kloset dengan bolongan yang berisi tumpukan kotoran tanpa air! Ewww!! Kalau restorannya besar, di dalam satu kamar mandi terdapat beberapa WC. Ada kloset tapi tetep nggak ada air. Parahnya lagi, antar WC hanya dipisah oleh tembok setinggi paha. Aneh banget buang air sebelah-sebelahan sama orang nggak dikenal sembari terdengar bunyi keluar kotorannya dan tercium baunya! Dem!!

Toilet restoran besar (foto @claudiakaunang)

Untung lah penginapan kami selalu punya toilet yang benar, kecuali satu kali saat kami kemping di yurt (tenda bulat khas bangsa Nomad) di pinggir danau Tulpar Kul di ketinggian 3500 meter dengan suhu minus derajat. Di sana tersedia dua toilet portable terbuat dari kayu yang diletakkan jauh di belakang yurt. Bolongan digali dari tanah, semua kotoran menumpuk di dalamnya. Masalahnya, ini yurt turis yang diinapi bule-bule. Tau kan kalo bule itu nggak bisa jongkok? Alhasil tokai mereka banyak yang meleset dari bolongan jadi lah berceceran di lantainya! Hoekkk!! Kami susah payah nahan pipis karena males ke toilet di kegelapan dan kedinginan plus kejorokan, sampai akhirnya jam 2 pagi kami sama-sama terbangun karena udah nggak kuat! “We’re in this together! Ayo berangkat!” kata saya berkomando sambil sok menguatkan satu sama lain. Keesokan harinya ketika saya kebelet lagi, eh satu toilet udah dirubuhin karena pindah galian lobang saking penuh isinya!

Toilet portable di yurt (foto @claudiakaunang)

Begitu kami melintasi Pamir Highway (bukan jalan highway seperti di kota, tapi jalan rusak di antara pegunungan Pamir), selama berhari-hari kami jarang ketemu manusia lain. Karena berada di ketinggian 4000an meter di atas permukaan laut, saya mengalami altitude sickness (penyakit akibat tipisnya oksigen di ketinggian) sehingga saya butuh minum air putih sebanyak-banyaknya. Saat itulah kalau kebelet, saya minta supir berhenti, menyuruhnya keluar mobil, dan dengan cueknya saya pipis di pinggir jalan. Lama-lama Rini terpaksa melakukan hal yang sama, jadi lah kami berbagi tempat: saya di jongkok roda depan dan Rini di roda belakang! Pee with a view, begitulah keadaan sebenarnya.

Saya tercyduk! (foto @riniraharjanti)

Kisah toilet umum selanjutnya diceritakan oleh Claudia yang terpaksa menggunakan toilet umum. Makin memblusuk tempatnya ternyata restoran tidak lagi memiliki toilet sendiri, tapi menggunakan toilet umum yang berada di tengah pasar. Jaraknya aja bisa sampai 500 meter dari restoran. Toilet privat aja udah parah begitu, gimana dengan toilet pasar? Bayangkan toilet-toilet yang saya ceritakan di atas, lalu kalikan tiga parahnya! Masih tetap bolongan doang, ditambah tokai yang lebih menggunung, ceceran tokai di lantai dan tembok yang lebih banyak, bau yang lebih parah, dan pasukan lalat sekompi! Arrrgghhhh!! Dasar Claudia sadomasokis, dia masih sempet-sempetnya motretin toilet. Dengan catatan ini foto-foto yang paling mending!

Toilet privat restoran (foto @claudiakaunang)

Bagaimana cara kami buang air besar dong? “Untung pantat kita supel! Baru bisa boker kalau toiletnya bagus!” kata Rini. Ya bener juga! Begitu ketemu penginapan dengan toilet duduk dan ada air banyak mengalir, kami bisa boker berkali-kali dalam sehari. Begitu kondisi toiletnya tidak kondusif, kami bisa nggak boker sampai tiga hari!

Di hari terakhir, kami makan siang di restoran semacam rest area. Karena sudah berada di kota, kami tidak bisa lagi pipis sembarangan di pinggir jalan dan udah kapok pipis di pom bensin. Padahal perjalanan masih sekitar tiga jam berkendara lagi. Saya bertanya kepada waitress, di mana kah toilet? Dia menjawab sambil menunjuk ke arah luar. Ketika kami sama-sama menoleh, seketika itu juga kami menjerit, “NOOOO!!!” Karena apa? Terlihat bangunan kecil khas toilet umum di seberang jalan, tanpa pintu, tanpa ventilasi, dan di sampingnya parkirlah truk-truk besar dengan abang-abang supirnya yang mengantre ke toilet! *semaput*

Saya jadi mikir, kenapa ya kok toilet Asia Tengah parah begitu? Saya bisa mengerti kalau mereka pada dasarnya adalah bangsa nomad yang mengembara jadi tinggalnya berpindah-pindah tanpa aliran air dan listrik. Maka sistem toiletnya dengan cara menggali lubang, menumpuk kotoran sampai penuh, baru ditutup lagi, dan pindah lubang lagi. Sekarang sebagian dari mereka sudah hidup menetap, punya rumah tembok, listrik, dan air. Tapi kenapa toiletnya yang dibuat permanen dari tembok itu tetap berupa bolongan doang dan tidak ada air untuk menyiramnya? Padahal ada lho air melimpah dari sungai dan sumber mata air, bahkan banyak yang terbuang begitu aja di pinggir jalan sampai supir kami sering menggunakannya untuk mencuci mobil!

Jadi, parahan mana sama toilet umum di Tiongkok daratan seperti yang saya tulis di buku “The Naked Traveler 3”? Menurut saya, sama aja joroknya! Bedanya, Tiongkok termasuk negara maju dengan gedung-gedung pencakar langit, jadi ekspektasi kita tinggi terhadap kondisi toiletnya. Masalahnya, kelakuan orang-orangnya yang tidak higinis seperti bertahak, buang pembalut sembarangan, dan tidak mem-flush WC lah yang memperparah keadaan. Di Asia Tengah, secara negara baru merdeka dan perekonomiannya masih kacrut menjadikan ekspektasi kita juga jadi rendah terhadap toiletnya jadi harap maklum aja. Kedua, udara di Asia Tengah kering sehingga baunya lebih mending daripada di Tiongkok yang udaranya lebih lembap. Kelembapan itu memang memperparah bau-bauan. Belum lagi jenis makanan orang Tionghoa yang pemakan segala dan serba berbumbu itu menjadikan kotorannya lebih berbau.

Anyway, I survived public toilets in Central Asia! Biarpun demikian, saya nggak kapok untuk berkunjung lagi. Kalau alamnya cantik dan orangnya ramah, masalah toilet bisa lah dimaafkan. Traveler sejati memang harus supel bukan? Kami sih hanya ketawa-ketawa aja dengan kerempongan buang air. Hanya satu yang bikin kami sama-sama menjerit panik, yaitu kalau ada lalat nempel di makanan. Karena terbayang lalat-lalat di toilet umum, makanan yang ketempelan lalat langsung kami singkirkan! Eh ada satu lagi. Kalau ketemu cowok kece di sana, kami langsung berkomentar, “Aduh, kece-kece gitu tapi bayangin mereka ke toilet deh!”

Pemandangan kece!

If it takes no proper toilet to be in paradise, would you go? Ayo dikomen!

Curhat Seorang Penulis

$
0
0

Bolehkah kali ini saya nggak bercerita tentang perjalanan? Soalnya lagi pengin curhat nih!

Jadi gini ceritanya. Tau nggak kalo sekarang industri penerbitan semakin kacrut? Banyak koran dan majalah yang tutup, padahal dulu sangat berjaya di masanya. Contohnya koran Sinar Harapan dan Harian Bola, majalah Kawanku, Hai, dan terakhir Go Girl. Sedih banget kan?

Industri buku juga sama aja. Toko buku satu per satu tutup. Kalau pun tidak tutup, ruangannya diperkecil. Namanya tetap “toko buku” tapi sebagian besar justru jualannya non buku, mulai dari tas, sepatu, sepeda, tenda, sampai selimut! Sebuah toko buku favorit saya di sebuah mal bahkan hanya memberi seperempat tempatnya untuk rak buku, sementara sisanya dijadikan tempat jualan non buku dan kafe! Pejabat jaringan toko buku yang mendominasi Indonesia bahkan berkata, “Soalnya penjualan non buku lebih banyak dan lebih menguntungkan daripada jualan buku!” Ouch!

Dengan ruang jualan buku semakin sempit, padahal jumlah buku tetap bertambah, kebayang kan bagaimana policy yang diberikan toko buku? Masih bagus buku bisa dipajang, kalau nggak laku dalam waktu tertentu (yang periodenya semakin pendek) langsung dikembalikan ke penerbit. Konsep brick and mortar memang sulit. Tak heran banyak toko buku di negara maju pun tutup.

Apakah pembaca Indonesia jadi berganti dari baca buku kertas ke buku digital? Menurut saya sih nggak juga. Buktinya royalti e-book yang saya terima sejak lima tahun yang lalu sampai sekarang masih sama dan sedikit sekali. Berarti memang sangat sedikit orang Indonesia yang membaca e-book. Sayangnya beli ponsel mahal nggak apa-apa, tapi beli buku di ponsel dianggap mahal.

Bila dikaitkan dengan teori supply and demand, dalam hal industri penerbitan supply-nya ada terus tapi demand-nya semakin berkurang. Karena apa? Karena semakin banyak orang yang tidak suka membaca. Sejak era internet, terutama sejak adanya media sosial, timespan manusia zaman sekarang semakin sedikit. Membaca bukan lagi jadi pilihan karena sekarang main ponsel lebih menarik dan dianggap “bermanfaat”. Tak heran berita online sekarang berjudul heboh untuk clickbait, padahal isi kontennya biasa aja. Tulisan perjalanan pun ikut-ikutan jadi “5 tempat yang Instagrammable di Kota X” karena itulah yang disukai pembaca masa kini. Ketidaksukaan membaca juga bisa terlihat dari komen di media sosial yang sering bertanya “kapan acaranya?” padahal sudah ditulis jelas di caption. Membaca caption beberapa kalimat aja susah, apalagi membaca sebuku? #hakdezik

Efeknya bagi saya dan mungkin penulis lain adalah penghasilan dari royalti semakin kecil. Yang penasaran berapa royalti yang didapatkan oleh penulis Indonesia, silakan baca tulisan dari penulis kondang Eka Kurniawan tentang “Mengapa Harga Buku Mahal?” di sini.  Penulis mah cuman dapat persentase terkecil dari harga buku, itu pun nggak bisa nambah karena banyak tangan yang harus dibagi. Harga buku kita jadi mahal, apalagi dengan pajak yang berlapis-lapis.

Padahal sebagai travel writer, saya harus selalu traveling untuk mendapatkan bahan. Sedangkan modal traveling adalah dari royalti. Tapi kalau royalti semakin sedikit (karena semakin sedikit orang membeli buku), boro-boro untuk traveling, untuk hidup aja saya berat!

Saya pun berusaha untuk berinovasi dengan menerbitkan buku “69 Cara Traveling Gratis” yang ditujukan untuk mengakuisisi pembaca baru yaitu para milenial. Sambutannya cukup baik, tapi masih kurang – apalagi royalti harus saya bagi dua dengan Yasmin. Ditambah lagi bujet promosi yang biasanya diadakan di beberapa kota dipotong karena saat ini dipercaya lebih ampuh bila promosi dilakukan di media sosial saja.

Terus terang hal ini mematahkan semangat saya. Jadinya saya kepikiran untuk pensiun jadi penulis! Berbagai alternatif cara mengisi pundi-pundi masih saya pikirkan, termasuk kembali jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) dengan keterbatasan cuti atau jadi selebgram dengan jualan segala macam barang endorsan. Aduh, membayangkannya aja saya stres! Di saat saya lagi down-down-nya jadi penulis, eh saya malah dapat beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk Residensi Penulis 2018 di Peru pada awal September ini! What? Pertanda apakah ini?

Sebelum pergi, saya sedang ngebut menyelesaikan tulisan untuk buku “The Naked Traveler 8”. Namun dengan sedih dan berat hati saya menyatakan bahwa ini akan menjadi buku terakhir dari seri “The Naked Traveler”.

Terima kasih telah menjadi pembaca setia saya!

P.S. Bila Anda merasa buku-buku saya (total ada 14 buku sejak 2007) telah mengubah hidup Anda, mohon ditulis sebanyak 500-1000 kata dan dikirim ke resensi.bentangpustaka@gmail.com sebelum 5 September 2018. Tulisan terbaik akan dimasukkan ke dalam buku “The Naked Traveler 8”.

Jadi Delegasi Konferensi Adventure Dunia

$
0
0

Dua tahun yang lalu dari hasil browsing di internet, saya menemukan sebuah organisasi bernama ATTA (Adventure Travel Trade Association). Asosiasi yang berbasis di Amerika Serikat dan beranggotakan 100 negara ini adalah kumpulan travel agent, tour operator, akomodasi, dan tourism board yang khusus bergerak di bidang adventure tourism. Susah menerjemahkannya, namun artinya kira-kira jenis pariwisata yang mengandalkan aktivitas fisik di alam bebas dengan memberdayakan sumber lokal. Jadi bukannya jalan-jalan shopping di kota atau leyeh-leyeh di pantai, melainkan melakukan aktivitas seperti white water rafting, hiking, mountain climbing. Tujuan asosiasi ini selain networking, juga edukasi, advokasi, konservasi, dan promosi agar tercipta pariwisata yang bertanggung jawab dan berkesinambungan. Sebagai pecinta alam, asosiasi ini “gue banget” kan?

Shannon Stowell , CEO ATTA (ketiga dari kanan) bersama para pejabat India

Setiap tahun ATTA mengadakan berbagai kegiatan seperti trade fair, konferensi, dan pelatihan yang selalu pindah-pindah di berbagai belahan dunia. Tentunya selalu di tempat-tempat non mainstream, seperti di Patagonia (Chile), Banff (Kanada), Pantanal (Brasil). Setiap kegiatan mereka selalu membuka lowongan bagi buyer, supplier, dan media untuk berpartisipasi. Bila aplikasi diterima, mereka akan menanggung semua biaya. Saya langsung ngiler dong! Maka setiap kali mereka buka aplikasi, saya selalu melamar sebagai media. Lamaran ini cukup ribet karena kita harus bisa menjual diri sedemikian rupa dan meyakinkan panitia apa yang akan kita kontribusikan. Dan selama dua tahun itu pula saya ditolak! Hiks.

Sampai akhirnya untuk acara AdventureNEXT di Bhopal, India, pada 3-5 Desember 2018 aplikasi saya diterima! Hore! Tanpa ba-bi-bu saya terima tawaran itu. Yang bikin tambah penasaran adalah konferensinya diadakan di Bhopal. Jika Anda seangkatan sama saya, nama “Bhopal” akan terdengar menyeramkan. Pada 1984 di Bhopal terjadi tragedi ledakan gas dahsyat dari sebuah pabrik pestisida yang menewaskan ribuan jiwa dan meracuni ratusan ribu korban lainnya. Bagaimana kota itu sekarang?

Konferensi selama tiga hari itu dibarengi dengan fam trip sebelum Hari-H yang dapat kami pilih dari 9 jenis trip yang disebut pre-adventure. Karena host-nya adalah Madhya Pradesh Tourism maka trip diadakan di sekitar provinsi itu. Saya memilih trip “Central India Wildlife Safari” karena tingkat kesulitannya paling rendah (1 dari 5) – maklum saya kan newbie. Setelah segalanya fix, eh nggak taunya datang lagi tawaran trip post-adventure ke provinsi lain di India. Saya memilih yang belum pernah yaitu “Walking Holiday in the Himalayas – Kullu Valley” di provinsi Himachal Pradesh dengan tingkat kesulitan terendah juga (2 dari 5). Meski kelihatannya mudah, tapi sungguh saya jiper dengan trip Himalaya ini!

Semua urusan per-booking-an dilakukan via email dari pengurus ATTA di Amerika dengan mengisi formulir online. Briefing sebelum keberangkatan dilakukan melalui webinar. Kami juga wajib mengunduh mobile app ATTA untuk mengetahui segala macam jadwal, lokasi, peta, serta nama setiap delegasi yang mana kita bisa saling mengirim chat. Setiap delegasi yang ingin meeting dengan calon rekanan bisnisnya harus mendaftarkan slot di Marketplace. Canggih deh pokoknya! Saya jadi ngintip siapa saja delegasi yang akan hadir. Wah, rupanya saya satu-satunya dari Indonesia!

MarketPlace

Singkat cerita, setelah pre-adventure berjalan dengan sukses, seluruh delegasi akhirnya berkumpul di Bhopal. Ternyata kotanya cantik dan hijau karena terletak di pinggir danau dan ditumbuhi banyak pepohonan – berbeda dengan kota-kota besar di India lainnya. Seluruh media menginap di Noor-Us-Sabah Palace, sementara acara konferensi diadakan di Minto Hall. Panitia telah menyiapkan shuttle bus dari hotel ke tempat acara yang berjarak sekitar 20 menit saja. Hari pertama kami disiapkan city tour Bhopal, namun saya skip karena terlalu lelah. Sorenya acara pembukaan diadakan di Tribal Museum sambil dihibur dengan tari-tarian tradisional India.

Tarian khas Madhya Pradesh

Selama dua hari penuh konferensi berlangsung. Sebagai media, saya wajib menghadiri press conference dan media peer-to-peer exchange, sisanya terserah memilih ikut acara apa. Di saat ini lah para buyer (travel agent luar negeri) bertransaksi bisnis dengan para supplier (tour operator lokal) di Marketplace – semacam trade fair yang dilakukan di puluhan meja dan terbatas 15 menit per pertemuan. Acara lain adalah berbagai seminar dan workshop keren oleh para ahli di bidangnya. Saya ikut beberapa di antaranya, seperti Defining Yourself: Branding in the Experience Age, Workshop: The Fine Art of Travel Photography, The Economic of Wildlife Tourism in India, dan The Keys to Digital Marketing Success. Di antaranya tentu ada coffee break dan makan siang, lalu diakhiri dengan makan malam sambil mimi-mimi alkohol.

Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari event ini. Pertama, sungguh menyenangkan bertemu dengan like-minded people atau orang-orang yang memiliki gagasan, pendapat, dan minat yang sama. Semua sudah pernah ke puluhan negara, semua suka adventure, dan kalo ngobrol sangat nyambung. Awalnya memang saya agak kikuk tiba-tiba diceburkan ke kumpulan orang asing yang tidak kenal dan harus mingle sana-sini, tapi lama-lama langsung kompak gitu aja. Saya aja jadi belajar dari mereka, mulai dari soal industri pariwisata, cara membangun bisnis, sampai survival tips. Saya yang selalu menganggap diri “wis tuwek” jadi malu sendiri melihat mereka yang meski manula namun adventure tetap jalan terus!

ATTA members and Kanha Earth Lodge staffs

Kedua, India sangat maju dalam adventure tourism dibandingkan Indonesia. Pariwisata India tidak semata mengandalkan cultural tourism yang menjual budaya, bangunan bersejarah, atau tempat suci, tapi sudah bergerak ke arah aktivitas adventure di alam bebas seperti mountain biking, skiing, paragliding, wildlife safari, dan motorcycle tour. Bahkan ada organisasi khususnya yaitu ATOAI (Adventure Tour Operators Assosication of India) yang membantu anggotanya beroperasi di 7 benua dunia dan bermisi menjadikan India sebagai destinasi adventure terbesar di dunia yang bisa dilakukan 365 hari setahun. Hebat kan?

Kebayang tuh orang Eropa dan Amerika yang “alam banget” pasti doyan banget berwisata adventure. Pengeluaran mereka tentu lebih banyak daripada turis biasa karena harus modal membayar tour operator yang spesifik mengorganisasikan aktivitas alam. Mengapa Indonesia belum mengambil segmen ini ya? Padahal Indonesia kurang adventure apa coba?

Hampir Semaput di Himalaya

$
0
0

Sebagai bagian dari rangkaian AdventureNEXT di India (baca di blog saya di sini), para delegasi dipersilakan memilih salah satu dari 8 jenis post-adventure trip. Namanya juga acara adventure, maka aktivitas tripnya bervariasi mulai dari ziplining, white water rafting, sampai mountain biking. Saya akhirnya memilih “Walking Holiday in the Himalayas – Kullu Valley” oleh Banjara Camps karena tingkat kesulitannya paling rendah, yaitu 2 dari 5. Jangan membayangkan Himalaya itu adalah Mount Everest tapi ini hanya di sebagian kecil pegunungan Himalaya, tepatnya di propinsi Himachal Pradesh di India. Namun trip ini periodenya paling panjang, yaitu satu minggu penuh pada 6-13 Desember 2018.

Terus terang saya langsung jiper! Walking Holiday memang artinya liburan sambil jalan kaki, tapi ini di Himalaya! Artinya, jalan kaki di ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Nggak mungkin banget jalannya rata, bukan? Aktivitas ini sih lebih tepat disebut hiking, atau malah trekking. Dan dilakukan dalam seminggu? Omaigat! Pada musim winter yang bersalju pula! Brrrrr! Tambah jiper lagi ini grup internasional. You know lah bule kalo jalan kan ngacir bener, apalagi kalau hiking. Secara jangkung, selangkah dia adalah dua langkah kita. Saya hanya bisa berharap teman segrup nanti ada yang jalannya lebih lambat daripada saya.

Singkat cerita, kami semua bertemu di stasiun kereta api New Delhi. Ternyata doa saya terkabul. Segrup isinya cuman bertiga, yaitu saya, seorang cewek India yang anak gunung garis keras, dan seorang kakek Amerika berusia 67 tahun! Guide kami adalah Rajesh, pria India setinggi 190 cm, besar bak beruang dan merupakan pemilik Banjara Camps yang mengorganisasikan trip ini. Kombinasi yang aneh bukan?

The Team: Rajesh, me, Archana, Tom

Kami naik kereta dengan jurusan Delhi-Chandigargh selama 3 jam. Dilanjutkan dengan naik mobil yang disupiri oleh Rajesh menuju Thanedhar dengan jalan yang berliku-liku menyusuri lereng pegunungan. Kami melalui Shimla, tempat syuting film India terkenal berjudul “3 Idiots” yang ternyata ramenya minta ampun. Menjelang malam akhirnya tiba di Banjara Orchard Retreat dan kami tinggal di kabin kayu yang menghadap lembah dengan kedalaman 2.000 meter!

View from my cabin’s window

Besoknya, jalan-jalan eh pendakian pertama dimulai. Entah berada di ketinggian berapa, yang jelas vegetasinya didominasi oleh pohon pinus khas dataran tinggi. Awalnya masih jalan setapak yang agak menanjak, dengan pedenya saya jalan sambil siul-siul karena pemandangannya memang indah. Di antara pepohonan pinus tersebut, menjulanglah pegunungan dengan puncak bersalju: Himalaya! Lama-lama kami masuk ke hutan dengan pepohonan yang semakin rapat dan agak gelap, yang semakin menanjak curam dan bikin ngos-ngosan. Baru sadar bahwa si cewek India yang tadinya di depan saya sudah tidak terlihat, begitu pula si aki bule di belakang saya juga tidak terlihat. Buset, jarak kami satu sama lain begitu jauh! Saya terus melangkah menanjak sambil menyumpah serapah dalam hati, “Ngapain juga gue ikut beginian? Capek, tauk!” Keringat berkucuran dari kening dan punggung basah sehingga saya membuka jaket terluar.

Tau-tau di depan terpampang hamparan salju! Dasar norak, saya langsung pegang-pegang es dan menunggu si aki supaya ada yang motoin. Maklum #anakmedsos! Si aki akhirnya datang dan dengan suksesnya kepleset sampai terjerembap! Ouch! Singkat cerita, kami berjalan sambil mengsle-mengsle di atas es, di atas pasir, terus menanjak ke atas sampai… eh kok ada jalan beraspal? 1 km dari situ sampailah kami pada plang bertuliskan “Hatu Peak at 3,352 m” dan di atasnya ada kuil! Lah, ngapain juga capek-capek hiking berjam-jam kalau bisa naik mobil sampai ke atas sini?! Rajesh tertawa, “Lha kan kita walking tour, bukan car tour!” Sial. Eh, tapi bangga deng karena saya berhasil menyelesaikan pendakian hari itu.

Dari Thanedhar kami berkendara seharian ke Sojha melalui lereng pegunungan Himalaya. Karena semobil isinya hanya kami berempat, maka kami santai aja kalau mau berhenti untuk berfoto. Namun si aki yang ternyata penderita diabetes itu paling sering minta berhenti untuk buang air kecil di pinggir jalan. Duh, kalau saya diberkahi umur 67 tahun, mana mau saya ikutan trip hiking begini! Sore hari kami tiba di Banjara Retreat and Cottage yang berada di Lembah Seraj dan mengadap Pir Panjal Range – pegunungan bersalju yang merupakan bagian Inner Himalaya yang memanjang sampai Kashmir. Cuacanya dingin! Saya sampai menggigil dan keluar asap dari mulut kayak di AC Milan.

Pendakian selanjutnya dimulai dari Jalori Pass dengan ketinggian 3.120 meter. Wah, hampir sama tingginya dengan puncak Gunung Lawu – gunung tertinggi yang pernah saya daki 20 kg yang lalu! Si aki yang masih trauma dengan pendakian kemarin memutuskan untuk tidak ikut. Waduh, saya bakal jadi buntut sendirian ini! Kami memasuki hutan dengan jalan setapak yang agak menanjak. Di beberapa bagian tanahnya tertutup salju tapi saya sudah tidak peduli karena takut ketinggalan mengingat si cewek India sudah tidak kelihatan. Ternyata setelah itu jalannya sangat terjal sampai berkali-kali saya minta ampun tolong Rajesh untuk menarik tubuh saya. Hampir saya menyerah tapi saat keluar dari hutan Ek, terhamparlah padang rumput. This is it! Saya langsung merebahkan badan saking leganya.

“Kita belum selesai!” kata Rajesh. HAH? Dia menunjuk satu titik di puncak bukit yang katanya ada Benteng Raghupur. Buset, berarti masih jauh banget! Saya pun lanjut berjalan dengan misuh-misuh kesal. Tak lama kemudian muka bete saya berubah menjadi hepi karena pemandangannya sungguh spektakuler. Kami berada di puncak yang menghadap Lembah Tirthan dengan pemandangan 360° pegunungan bersalju Himalaya, Dhauladhar, dan Kinnaur yang berlapis-lapis! Ini tempat tinggi sekali, burung elang saja terbang di bawah kami! Di ujung tebing, salju menghampar dengan indahnya. Kami pun asyik berfoto dan saya menolak meneruskan ke benteng karena untuk mencapainya berarti kami harus turun lembah untuk naik lagi.

Karena kecapekan, paginya kami hanya jalan kaki di sekitar kampung saja – itupun si aki jatuh terjerembap lagi! Rencana menginap dua malam di Sojha dibatalkan karena kami semua kedinginan. Kami pun pindah ke Sonaugi yang “hanya” berada di ketinggian 1.920 mdpl. Untuk mencapai ke sana, kami harus berkendara dua ribuan meter turun ke dasar dulu, menyebrangi sungai, baru naik lereng gunung lagi. Penginapan terakhir trip kami adalah di Sonaugi Homestead yang paling baru dibangun dan paling cantik. Pegunungan Himalaya yang bersalju itu paling jelas terlihat dari Kullu karena letaknya paling dekat ke penginapan. Suasana yang homey itu membuat kami bermalas-malasan saja kerjanya. Satu harian kami isi dengan jalan-jalan naik mobil ke Manali – destinasi turis paling populer dan makan pizza paling enak se-India.

Hiking terakhir di Sonaugi, Rajesh mengusulkan untuk ambil rute Janna Village Walk. Terdengar mudah macam jalan-jalan di kampung doang, tapi baru berjalan mendaki setengah jam saja si aki menyerah, diikuti si cewek India dengan alasan malas. Tinggal saya, Rajesh, seekor anjing bernama Lakshmi, dan seorang anak laki berusia 16 tahun yang bekerja di penginapan. Dua jam berjalan saya masih bertahan sampai akhirnya kami dihadapkan oleh bebatuan berundak yang dialiri air bak air terjun. Mulai dari situ saya ampun-ampun naiknya karena susah menjaga keseimbangan di batu dan lumpur yang licin, ditambah lagi hujan yang tiba-tiba turun! Kami memang akhirnya tiba di Desa Janna, tapi desa ini terletak di lereng pegunungan. Semua jalan berupa tangga bebatuan alami yang tak ada habisnya menanjak ke atas.

Come on! You can do it! Dikit lagi kok! Nanti di atas sana kita makan!” kata Rajesh menyemangati saya sambil menunjuk ujung desa yang berada jauh di atas – untuk melihatnya saja saya harus menengadahkan kepala! Omaigat! Kaki saya terasa sangat berat, jantung saya berdebum keras, keringat dingin mengucur, mental saya drop – saya hampir semaput! Saya berjalan sampai menangis karena frustasi! Tiba di puncak, berjalan 1 km lagi, tibalah kami di sebuah rumah makan di pinggir air terjun. Ajaibnya, seketika itu turunlah hujan salju! Ah, sungguh akhir yang bahagia!

Epilog:

Sungguh saya sangat bangga atas pencapaian ini. Setelah turun berat badan cukup signifikan, saya jadi lebih kuat hiking. Setahun yang lalu mana mau saya ikut trip beginian! Tapi saya jadi kepikiran: apakah karena saya gendut maka saya malas? Atau karena saya malas maka saya jadi gendut?

Kullu Valley, India

Hijaunya Pabrik Semen

$
0
0

Undangan menjadi pembicara tentang #MembangunKebaikan Melalui Media Sosial yang diselenggarakan di kampus UISI (Universitas Internasional Semen Indonesia) pada 11 April 2019 membuat saya menjejakkan kaki di Gresik untuk pertama kalinya. Wah, kampus ini keren banget karena gedungnya menempati bekas pabrik semen! Interiornya sangat Instagramable, terutama perpustakaannya yang kece (apalagi punya buku seri “The Naked Traveler”)! Setelah berkeliling saya tambah penasaran dan minta diajak jalan-jalan ke pabrik benerannya.

Salah satu sudut kampus UISI

Gresik terkenal karena merupakan tempat pabrik semen pertama milik bangsa Indonesia sejak 1957 dan cikal bakal perusahaan semen terbesar di Indonesia. Selama ini saya tahunya “Semen Gresik”, namun ternyata sejak 2013 perusahaannya sudah berganti nama menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Anak perusahaannya antara lain Semen Padang, Semen Tonasa, Thang Long Cement Vietnam dan Solusi Bangun Indonesia (eks Holcim). Perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini kantor pusatnya memang di Gresik, tapi ternyata pabrik terbesarnya berlokasi di Tuban.

Saya juga baru tahu bahwa untuk membuat semen itu diperlukan bahan utama berupa batu kapur dan tanah liat. Kedua bahan tersebut diperoleh dari penambangan sumber daya alam. Penyatuan kedua bahan ini dilakukan di pabrik, makanya kedua tambang harus berada dekat satu sama lain. Sebagian dari Gresik yang hijau itu ternyata justru bekas tambang semen. Karena sudah non aktif, maka tambangnya pindah ke Tuban yang berjarak 2,5 jam berkendara dari Gresik.

Saya pun diajak jalan-jalan ke Arboretum (kebun botani) Bukit Daun. Disebut demikian karena kalau dilihat dari atas bentuknya seperti selembar daun. Kebun hijau yang asri seluas satu hektar ini berisi tanaman-tanaman langka, seperti pohon kurma, kawista, damar, gaharu, dan ulin. Di depannya terdapat Arboretum Bukit Herbal yang berisi koleksi tanaman obat, seperti merica, bawang dayak, lengkuas, jahe merah, kunir putih, dan kunir kuning. Ada juga Kebun Pangkas berupa pepohonan kayu putih. Angin sepoi-sepoi dan suara aneka burung liar menambah kenyamanan leyeh-leyeh di kebun.

“Dari 752 hektar keseluruhan lahan tambang, ada 200 hektar yang sudah direklamasi. Sisanya belum karena memang masih berfungsi jadi tambang kapur”, terang Pak Eko Purnomo, Kepala Seksi Reklamasi Lahan Pabrik Tuban. Praktik penambangan ramah lingkungan inilah yang ingin ditunjukkan Semen Indonesia kepada masyarakat umum.

Setiap sore taman tersebut ramai dikunjungi penduduk sekitar, mulai dari rombongan ibu-ibu yang doyan selfie sampai anak muda yang pacaran. Kadang datang juga rombongan anak sekolah yang belajar alam. Semuanya gratis masuk dengan jam buka pukul 15.00-17.00 pada Senin-Jumat dan pukul 08.00-17.00 pada Sabtu dan Minggu. Papan informasi tentang tanaman dan pentingnya penghijauan terpampang jelas sehingga semua orang dapat pengetahuan baru.

Dari Arboretum yang terletak di atas bukit tersebut terlihat dari kejauhan lahan berwarna putih bak pasir pantai. Ternyata itu lah tambang kapurnya (foto paling atas). Di sekelilingnya ditumbuhi hutan hijau yang menutupi lahan pabrik dan tambang. Pipa untuk mengangkut hasil tambang dan pabrik penghancur kapur hampir tidak terlihat karena tertutup pepohonan. Suaranya pun tidak berisik.

Nampang dulu ah di Arboretum 🙂

Pabrik identik dengan keluarnya debu dari cerobong raksasa, namun saya sama sekali tidak melihat ada debu sama sekali yang keluar dari pabrik Semen Indonesia di Tuban ini! “Kalau ada debu berarti ada yang ndak bener itu dan harus diperbaiki,” terang Pak Eko lagi.

Pabrik dikelilingi hutan

Tak jauh dari sana, saya diajak ke lahan penambangan tanah liat. Bayangan saya bakal kayak di kolam kotor berlumpur, nggak tahunya sangat hijau dan rapi! Jalan masuknya aja sangat rindang karena ditumbuhi pohon trembesi yang tinggi besar. Sore itu terlihat banyak pemuda lokal sedang memancing di kolam-kolam sekitar. Ternyata kolam-kolam itulah bekas tambang tanah liat!

Melimpahnya ikan di kolam menandakan bekas tambang sangatlah aman. Bekas tambang ini dalamnya sekitar 4-6 meter, airnya didapat murni dari air hujan. Air itu pulalah yang dibuat irigasi untuk mengairi persawahan sekitar. Tadinya sawah panen hanya sekali setahun jadi bisa tiga kali setahun berkat aliran air dari embung. Selain itu terdapat juga kebun bibit dan peternakan yang nantinya akan dikembangkan menjadi lahan edu-wisata.  

Kunjungan ke lahan pabrik dan tambang Semen Indonesia di Tuban hari itu sungguh menambah wawasan dan pengetahuan saya. Cocok deh dengan prinsipnya #MembangunKekuatan #MemajukanIndonesia. Salut!

Cantiknya Bosnia & Herzegovina!

$
0
0

Heh? Di mana itu? Bukannya lagi perang?

Negara Bosnia dan Herzegovina (iya, namanya dua gitu, pakai kata “dan” pula) terletak di semenanjung Balkan, Eropa Selatan tapi di Timur. Perangnya sudah lama berakhir. Lebih dari 20 tahun yang lalu. Kalau Anda masih ingat perang Bosnia, berarti Anda cukup tuwir kayak saya.

Sejarah tentang negara ini sangat menarik. Presidennya aja ada tiga! Kapan-kapan saya tulisin di blog ini deh. Sementara ini, saya kasih gambaran dulu tentang destinasi pariwisatanya yang keren-keren dan itinerary-nya selama seminggu.

Sarajevo

Sarajevo (dibaca: Sarayevo) adalah ibu kota Bosnia & Herzegovina. Jalan-jalan langsung aja ke kota tuanya, dimulai dari Bašcaršija yang dibangun abad ke-15. Sepanjang jalan ada restoran, kafe, toko suvenir dan cowok-cowok Bosnia yang kece-kece. Di sana memang tempat to see and to be seen. Uniknya dalam satu area berdekatan ada mesjid, gereja Katholik, gereja Orthodox dan sinagog. Jangan lupa ke Vijecnica (City Hall) yang bangunan dan interiornya paling cantik. Di dalamnya ada museum sejarah kota Sarajevo. Berjarak 100 meter terdapat Latin Bridge tempat pembunuhan Franz Ferdinand yang menyebabkan Perang Dunia I.

Yang membanggakan adalah berkunjung ke Mesjid Istiqlal. Namanya memang sama dengan yang ada di Jakarta karena mesjid di Sarajevo ini memang diberikan oleh bangsa Indonesia kepada masyarakat Bosnia pada 2001 sebagai simbol solidaritas dan persahabatan antarnegara.

Melihat Sarajevo dari atas bisa naik cable car menuju Trebevic yang berada di ketinggian 1,627 meter. Saat saya ke sana pada April 2019, masih tertutup salju. Berjalan kaki untuk makan siang di Pino Nature Hotel yang keren itu jadi agak kesulitan karena super licin esnya. Kalau mau night life ala anak muda Bosnia (yang mayoritas Muslim dan tidak minum alkohol), masuk aja ke shisha bar di mana aja. Musiknya hingar bingar tapi nggak ada yang joget, cuman duduk mengisap shisha sambil goyang-goyang kepala.

Cable Car menuju Trebevic

Travnik

Bekas ibu kota Bosnia pada 1699-1850 ini berjarak 1,5 jam dari Sarajevo. Banyak bangunan peninggalan sejarah zaman Ottoman, seperti rumah, mesjid, dan clock tower. Naik deh ke bentengnya yang berada di puncak bukit agar dapat melihat cantiknya kota medieval dari atas. Sebagai penulis, paling berkesan ketika saya berkunjung ke rumahnya Ivo Andric. Dia adalah penulis Yugoslavia pemenang Nobel di bidang sastra pada 1961. Rumah kelahirannya di Travnik dijadikan museum memorial yang berisi sejarah hidup dan buku-buku karyanya.

Jajce

Di tengah perjalanan antara Travnik dan Bihac, mampirlah ke Kota Jajce yang terhimpit pegunungan. Air terjunnya setinggi 22 meter dan berarir warna emerald green dengan latar belakang rumah-rumah Bosnia ini cantik banget! Tak jauh dari situ terdapat Mlincici – water mills yang dibangun pada masa Austro-Hungarian (1867-1918) ini berbentuk rumah-rumah kayu yang air sungainya menggerakkan mesin penggiling gandum. Jangan lupa ngopi-ngopi di pinggir Danau Pliva yang berair biru dengan latar belakang pegunungan bersalju. Duh, cantiknya!

Bihac

Dari Jajce, makan siang lah di Etno Village Cardaklije yang merupakan kompleks perumahan khas pedesaan Bosnia abad ke-19 di tengah ladang dan hutan. Makanannya tradisional Bosnia yang menggunakan bahan-bahan alami diproduksi sendiri dari peternakannya, seperti roti, daging, dan keju. Minuman alkohol (mengandung 40-50%) khasnya adalah Rakija yang terbuat dari buah plum atau pear. Beuh, nikmat!

Setengah jam berkendara dari situ wajib ke Una National Park yang terletak di perbatasan Kroasia. Jalan masuknya yang masih tanah ini sudah memanjakan mata karena berada di sepanjang sungai yang berair biru! Langsung aja menuju Štrbacki buk – air terjun megah setinggi 25 meter yang bertingkat-tingkat. Widih cantiknya!

Di Kota Bihac, menginaplah di Hotel Opal Exclusive karena terletak persis di tepi Sungai Una yang berair biru. Semua jendela kamar yang berbalkon menghadap sungai cantik ini. Bela-belain deh bangun pagi untuk melihat sunrise yang magis. Pilihan lain adalah Hotel Natura Art yang terletak di Una National Park. Model bangunannya dibuat tradisional, tapi yang bikin nganga adalah lahannya yang luas di tepi Sungai Una yang airnya biru dan dikelilingi hutan – nikmat banget untuk leyeh-leyeh! Sungainya pun bisa direnangi dan untuk white water rafting.

Banja Luka

Ibu kota Republik Sprska yang didominasi etnis Serbia ini cantik juga. Sungai Vrbas yang berwarna biru membelah kotanya. Di tepinya banyak penduduk memancing dan berjemur saking bersihnya. Makan siang aja di restoran Kazamat yang terletak di dalam Kastel Fortress sambil melihat pemandangan kotanya. Oh iya, pesan makanan namanya Teletina ispod saca – daging sapi muda yang dimasak secara tradisional di bawah tutup logam panas. Gila enaknya!

Lalu jalan kaki aja di sekitar Kota Tua, seperti ke Katedral Saint Bonaventure, Gereja Orthodox Christ the Saviour, Banski Dvor (Governor’s Palace), dan Mesjid Ferhat Pasha. Yang paling menarik adalah Museum Republic of Srpska yang berisi sejarah dari zaman batu sampai perang Bosnia. Tapi yang mengerikan adalah display horor tentang Ustaše concentration camps yang dijuluki “Auschwitz-nya Balkan” karena korban pembunuhannya sampai ratusan ribu orang dengan cara yang mengerikan seperti kepala yang digergaji dan manusia yang direbus! Keluar dari situ saya langsung mual!

Mostar

Kota yang paling ramai dikunjungi turis adalah Mostar yang merupakan pusat administrasi Herzegovina. Dari Sarajevo memakan waktu sekitar 2 jam berkendara. Pemandangan di sepanjang jalan luar biasa keren dengan sungainya yang berwarna turqoise dan pegunungan berlapis-lapis. Kotanya sendiri cantik. Berpusat di jembatan Stari Most yang ikonik dan termasuk ke dalam UNESCO World Heritage Site.

Sekitar sejam berkendara ke arah selatan dari Mostar, wajib ke Kravice Waterfall. Air terjunnya yang lebar cantik banget dengan air yang kebiruan! Bagi pemeluk agama Katholik, wajib ke Medugordje yang terletak tak jauh dari air terjun. Di sana tempat penampakan Bunda Maria pada enam orang anak desa situ. Tak heran saat ini Medugordje merupakan tempat religius nomor tiga yang paling banyak dikunjungi turis di Eropa setelah Lourdes di Prancis dan Fatima di Portugal.

Masih di sekitaran situ, mampir lah di Pocitelj. Kota sejak abad ke-15 yang berada di lereng bukit karst di tepi Sungai Naretva ini cantik banget. Lalu sempatkan makan siang di Blagaj, tepatnya di restoran Etno House di tepi Sungai Buna. Ikan trout-nya juara kelas enaknya! Wajib berkunjung ke Blagaj Tekke – rumah sufi berusia 600 tahun yang cantik terletak di bawah tebing batu dan tepi sungai biru.

Tips

  • Bagi pemegang paspor Indonesia, ke Bosnia visanya gratis asal memiliki visa multiple entry Schengen atau AS yang masih berlaku. Kalau dua-duanya tidak punya, bisa apply ke Embassy Bosnia & Herzegovina di Menara Imperium, Jakarta.
  • Terbang ke Sarajevo dari Jakarta atau Bali paling efisien naik 5-star airlines Qatar Airways dengan transit di Doha. Kalau punya bujet lebih, cobain deh Business Class-nya yang super keren dan dapat piyama paling nyaman sedunia. Enaknya lagi, bisa nunggu di Al Mourjan Lounge yang menurut saya lounge bandara terbagus di dunia. FYI, sekarang Qatar sudah bebas visa jadi kita bisa keluar jalan-jalan dulu di Doha. Kalau nggak mau ribet, bisa pesan transit tour dari website Qatar Airways atau klik di sini. Selain city tour, saran saya ke gurun pasirnya putih yang keren di tepi pantai biru menghadap Arab Saudi.


Anggapan vs Kenyataan tentang Pakistan

$
0
0

Setelah saya traveling ke 90 negara, fix Pakistan jadi negara yang paling cantik alamnya! Sayangnya masih banyak keraguan untuk datang ke sana karena banyaknya anggapan negatif tentang Pakistan. Makanya saya senang traveling, salah satunya karena ingin membuktikan sendiri apakah anggapan orang terhadap sesuatu itu benar atau tidak.

Tulisan ini saya buat berdasarkan polling di media sosial tentang apa yang ingin Anda ketahui atau khawatirkan tentang Pakistan yang dirangkum sebagai berikut;

  1. Negara sedang berperang?

Pakistan merdeka dari Inggris sejak 1947 dan setelah konsitusinya berubah ia menjadi Republik Islam Pakistan sejak 1956. Sejak pemisahan Pakistan-India pada 1947 menjadikan kedua negara bersitegang sampai saat ini. Sumber utama konfliknya adalah isu teritorial Kashmir: India dengan Jammu dan Kashmir, sementara Pakistan dengan Gilgit-Baltistan dan Azad Kashmir – mereka saling mengklaim wilayah semua itu milik salah satu negara. Kalau Anda ke wilayah tersebut, isu antarnegara ini sangat sensitif jadi jangan sampai terlontar ya?
Saya sendiri sempat deg-degan ketika tiket pesawat Jakarta-Bangkok-Lahore dibatalkan karena airspace masih ditutup akibat Pakistan-India lagi bertegangan tinggi sejak insiden pada 26 Februari 2019. Terpaksa lah ganti tiket dengan rute yang muter jauh jadi Jakarta-Doha-Lahore karena pesawat tidak boleh melewati udara India kalau mau mendarat di Pakistan, dan sebaliknya.

2. Negara miskin?

Kalau berdasarkan GDP per capita, Pakistan memang masih di bawah Indonesia dan India, tapi saya sih nggak pernah melihat orang miskin sampai tidur di jalan atau di rumah kardus. Aura kemiskinan sebuah negara itu terasa ketika saya ke Nepal misalnya, tapi di Pakistan nggak begitu. Tidak pernah lihat orang minta-minta, ataupun agresif memaksakan sesuatu.

3. Tidak aman berwisata?

Ini tergantung ke mana sih, makanya perlu riset yang benar. Pakistan itu sangat luas, kira-kira seluas negara Prancis. Masalahnya, di barat Pakistan itu berbatasan dengan Afghanistan yang sedang bergejolak jadi kadang tetangganya kena. Sementara keberadaan kelompok ekstrimis fundamentalis yang doyan ngebom jadi masalah besar di seluruh dunia, ada juga di Pakistan (seperti juga di Indonesia).
Jadi ke mana dong? Kalau lihat peta Pakistan, bagi dua aja. Yang di kanan mulai dari propinsi Sindh di selatan sampai ke propinsi Gilgit-Baltistan (GB) di utara sih aman. Yang di kiri ada propinsi Balochistan itu yang saat ini harus dihindari. Sementara di propinsi Khyber Pakhtunkhwa (KPK) harus hati-hati – yang aman itu mulai dari Chitral ke timurnya. KPK ini lah wilayah tempat Malala pemenang Nobel perdamaian itu berasal. Karena Taliban melarang wanita bersekolah makanya dia melawan. Kebayang kan gimana suasananya di sana?
Saran saya, fokuslah untuk berwisata di GB karena alamnya paling kece sehingga paling banyak didatangi turis lokal dan asing. Yang paling oke, di GB itu crime rate-nya nol saking amannya! Makanya rute saya masuk dari Lahore, ke Islamabad, terbang ke Skardu, lalu keliling GB naik mobil sampai balik lagi ke Islamabad. Pulangnya lewat KPK sih, malah sempat menginap di Kota Besham, tapi Puji Tuhan aman-aman aja.
Dari hasil riset online, secara garis besar wilayah yang aman digambarkan pada peta ini:

Sumber: smartraveller.gov.au

4. Ke mana-mana harus dikawal tentara?

Nggak tuh! Kalau ke Gilgit-Baltistan (GB), tentara memang kelihatan banyak. Itu karena wilayah tersebut berbatasan dengan India, Cina, dan Afghanistan. Kedua, GB itu masih daerah dispute antara Pakistan dan India. Ketiga, tentara memang berkuasa di seluruh Pakistan – bukan cuman menjaga keamanan tapi mereka juga punya banyak perusahaan, mulai dari sekolah, rumah sakit, sampai konstruksi jalan dan provider seluler.
Sebagai turis asing yang masuk ke GB, kita wajib mendaftarkan diri di bandara atau di perbatasan darat dengan mengisi nama, paspor, nomor visa, tujuan, dan penginapan pada sebuah kartu. Jangan sampai hilang karena akan dicek lagi pas keluar GB. Ketika melewati perbatasan antar district ada check point di mana kita harus lapor diri. Untung guide saya pinter, dia sudah mem-print di kertas-kertas kecil berisi informasi tentang saya jadi tinggal dikasih lewat jendela tanpa harus menulis di buku besarnya – sangat menghemat waktu!

5. Wanita harus pakai jilbab?

Sama sekali tidak! Tidak seperti Iran dan Arab Saudi yang mewajibkan semua wanita memakai baju serba tertutup, di Pakistan bebas! Wanita Pakistan kebanyakan memang masih memakai baju tradisional yang disebut shalwar kameez berupa celana panjang, blus tunik, dan kerudung yang ditaro gitu aja di kepala dan kelihatan rambutnya. Di kota besar sih mereka berbaju biasa aja pake jeans dan t-shirt. Cuman demi menghormati, saya sih selalu pakai celana panjang dan baju berlengan. Hanya kalau masuk ke dalam mesjid aja saya pake baju berlengan panjang dan kerudung. Eh kalau kalian cowok, plis jangan juga pakai celana pendek dan kaos yukensi demi menghormati pria Pakistan yang sebagian besar berpakaian tradisional berupa blus tunik dan celana panjang. Saya sendiri anti memakai pakaian ala lokal ketika traveling. Lagipula, biar kita mau pake baju lokal kayak apapun udah pasti ketahuan kita bukan orang lokal kok! Jadi nggak usah sok-sokan biar blend in, ngaku aja cuman buat foto di medsos kan? Huehehe!

6. Visanya susah?

Meski saya keburu pergi ke Pakistan melalui proses apply visa di Kedutaan Pakistan di Jakarta, namun pas saya di sana Pakistan telah memberikan kemudahan berupa e-visa kepada 179 negara dan Visa on Arrival kepada 50 negara di dunia! Pemegang paspor Indonesia gimana dong? Termasuk, shay! Horee! Coba aja di https://visa.nadra.gov.pk/ Kalau butuh informasi lebih lanjut, silakan tanya langsung ke Kedutaan Pakistan di http://www.pakembjakarta.org/

7. Traveling di Pakistan itu susah?

Traveling ke Pakistan itu tidak untuk semua orang sih, apalagi untuk liburan keluarga bawa anak-anak. Bukannya soal keamanan, tapi fasilitas dan infrastruktur memang masih kurang. Listrik sering mati senegara, internet lambat bahkan sering nggak ada, jalan banyak yang rusak berat, dan tidak semua berbahasa Inggris. Perlu diketahui, provider seluler Indonesia saya nggak nyala di Pakistan dan kartu debit bank terbesar Indonesia pun tidak bisa buat ambil duit di ATM manapun di Pakistan.
Kalau Anda muda, kuat, dan punya banyak waktu, silakan menggunakan kendaraan umum ke mana-mana. Saya sih traveling sendiri dan cuma punya 2 minggu. Lalu penginnya memaksimalkan waktu di Gilgit-Baltistan yang bergunung-gunung sehingga bagusnya ditempuh dengan cara road trip, jadi saya pakai mobil dan guide lokal pribadi yang oke banget. Kalau perlu rekomendasi, silakan japri aja dengan syarat jangan nawar gila-gilaan ya?
Namun semuanya itu akan terbayar dengan keindahan alamnya, keramahan orang-orangnya (sampai bikin mewek saking baiknya), serta budaya dan sejarah yang sangat menarik!
Tulisan selanjutnya nantikan di blog ini ya?

Jalan-jalan ke mana di Pakistan?

$
0
0

Jalan-jalan di Pakistan? Emang bisa? Bisa banget! Tapi sebelumnya, baca ini dulu deh supaya ada gambaran. Karena tidak banyak informasi tentang pariwisata di negara ini, maka saya bikin daftar saja ya?

Islamabad

Mendengar nama negara Pakistan, mungkin kita akan membayangkan ibukotanya awut-awutan. Tapi jangan salah, Islamabad ternyata benar-benar berbeda! Kotanya luas, modern, dan sangat hijau. Pakistan memang sengaja memindahkan ibukotanya dari Karachi yang sudah sumpek ke Islamabad yang dibangun khusus. Jadilah Islamabad sebagai ibu kota administratif di mana pusat pemerintahan dan kedutaan besar berada, sementara Karachi lebih sebagai ibu kota finansial tempat pusat bisnis. By the way, Islamabad itu artinya “kota Islam”. Abad dari bahasa Urdu ini artinya adalah “kota”, jadi lumrah di Pakistan bila ada nama kota berakhiran “abad”, misalnya Abbottabad dan Eminabad.

Beberapa tempat yang wajib dikunjungi adalah;

Faisal Mosque – dinamai Fasial karena masjid ini sumbangan Raja Faisal dari Arab Saudi. Arsitekturnya unik karena mesjidnya bukan berbentuk kubah namun mirip tenda Bedouin. Bisa menampung 10.000 umat, mesjid ini pernah menjadi mesjid terbesar di dunia sampai tahun 1993. Mesjid besar berwarna putih terletak di bukit menjadikannya landmark Islamabad.

Pakistan Monument – Ini Monas-nya Pakistan, tapi bukan berbentuk menara melainkan empat kelopak bunga raksasa yang merepresentasikan keempat provinsi di Pakistan. Karena letaknya di ketinggian, monumen berwarna kemerahan ini dapat terlihat dari segala penjuru kota. Masih satu kompleks, terdapat museum bagus yang menggambarkan sejarah terbentuknya negara Pakistan. Jalan-jalan di sekitar taman Shakarparian juga nyaman dan bisa melihat kota dari atas bukit.

Lok Virsa Museum – Budaya Pakistan dengan beragam sukunya terpampang di museum etnologi yang luas ini. Menarik melihat pakaian-pakaian adatnya yang berwarna-warni, dongeng rakyat yang isinya kebanyakan tentang kisah cinta tidak disetujui, dan meski negara Islam namun pemberdayaan wanita itu baik sekali sampai ada display khusus tentang prestasi wanita Pakistan mulai dari penyanyi sampai pendaki gunung Everest.

Taxila – Sekitar sejam dari Islamabad, terdapat situs arkeologi yang sangat impresif. Reruntuhannya saja ada yang masih ada sejak abad ke-6 SM, pantas saja masuk ke dalam UNESCO World Heritage Site. Kota kuno ini saja disebut di kisah Mahabarata dan Ramayana di mana disebut sebagai kota indah yang ditemukan oleh Barata. Di kitab Jataka agama Buddha disebut bahwa Taxila adalah ibu kota Kerajaan Gandhara. Di sini lah universitas tertua di dunia berada, yaitu tempat pengajaran agama Buddha pada abad ke-1 yang reruntuhannya bisa kita lihat. Bahkan Tomas, murid Yesus, pernah berkhotbah di sana.

Lahore

Lahore, ibu kota provinsi Punjab, disebut sebagai ibu kota budaya di Pakistan, mungkin karena terdapat tiga situs yang termasuk UNESCO World Heritage Site. Mungkin juga karena kuliner yang enak berasal dari sini, atau karena orang-orangnya yang kece. Kota ini memang agak awut-awutan namun bangunannya yang banyak bekas peninggalan Inggris sehingga membuatnya cantik. Lahore pernah diduduki Kerajaan Mughal pada abad 16-18 yang bangunannya berada di dalam Walled City.

Nah, ini sebagaian tempat yang menarik untuk dikunjungi;

Lahore Fort – Kompleks benteng seluas lebih dari 20 hektar ini terdapat 21 bangunan. Yang paling bikin saya nganga adalah Sheesh Mahal atau “Palace of Mirrors” yang dibangun oleh Shah Jahan pada abad ke-16. Istana ini dibangun khusus untuk istrinya Mumtaz Mahal saking cintanya. Nah, Raja ini pula yang membangun Taj Mahal untuk makam istrinya. Ingat kan? Makamnya aja bagus, apalagi rumahnya! Temboknya terbuat dari marmer lalu dihiasi kaca kecil-kecil sampai ke langit-langitnya. Bangunan sebelahnya adalah Naulakha Pavilion, rumah musim panas sang istri yang tembok marmernya dihiasi bebatuan mulia. Bangunan lain juga cantik-cantik, seperti Alamgiri Gate dan Moti Masjid.

Lahore Museum – Menempati bangunan kemerahan bergaya arsitektur Indo-Mughal yang dibangun pada 1865, yang membuat terkenal karena berisi karya seni Buddha mulai dari zaman Indo-Greek dan Kerajaan Gandhara. Patung paling dicari pengunjung adalah The Fasting Buddha yang dibuat abad ke-2 SM. Ayahnya Rudyard Kipling, penulis Inggris yang terkenal itu, adalah kurator pertama di museum ini.

Wagah Border – Setiap sore sekitar jam 5, orang berbondong-bondong ke perbatasan Pakistan-India ini. Intinya “cuma” untuk menyaksikan upacara penurunan bendera, tapi serunya minta ampun! Di sisi Pakistan ada ratusan orang yang duduk di bangku berundak, di sisi India ada sekitar 3000 orang duduk di setengah stadion. Dimulai dengan parade baris-berbaris pasukan Pakistan yang tingginya semua hampir dua meter dengan mengangkat kaki setinggi mungkin, lalu para penonton meneriakkan yel-yel, “Allahu Akbar! Pakistan Zindabad!”, sampai akhirnya bertemu dengan pasukan India di pagar perbatasan untuk menurunkan bendera bersama. Sungguh lucu dan seru melihat perseteruan dan persatuan kedua negara ini!

Khewra Salt Mine – Tiga jam berkendara dari Lahore terdapat tambang garam yang sangat luas. Di sini lah garam hits ala SJW yang disebut “Himalayan Salt” berasal. Garam berwarna pink ini ditambang dari perut bumi sampai tujuh lantai ke bawah. Masuknya juga kudu naik kereta di kegelapan. Pemandangannya justru jadi cantik karena sebagian batunya dibentuk dan diberi lampu dari dalamnya. Di gua ini juga disediakan beberapa ruang untuk pengobatan asma karena dipercaya asma dapat disembuhkan dengan menghirup garam tambang. Herannya, orang lokal sendiri justru tidak memakai garam ini kecuali untuk hiasan lampu. Garam ini justru diekspor ke negara maju yang dibikin packaging keren, dikatakan lebih sehat daripada garam biasa, dan dihargai sangat mahal. Padahal sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah bahwa garam tambang lebih sehat. Tambah nyesek ketika saya melihat bapak-bapak tua para pekerja tambang mengangkut bebatuan yang begitu beratnya. Aduh!

Katas Raj Temples – Tak jauh dari Khewra, terdapat candi Hindu yang disebut dalam kisah Mahabarata tempat para Pandawa pernah tinggal pada saat pengasingan mereka. Air di kolamnya yang suci dipercaya berasal dari air mata dewa Siwa yang menangis ketika istrinya, Sati, meninggal dunia.

(Bersambung)

Apa kabar Mr. X?

$
0
0

Masih ingat kisah Mr. X di buku The Naked Traveler 1? Judulnya “I’m just a lucky bastard!”, bisa dibaca di sini. Singkat cerita, dia adalah seseorang di dunia maya yang tidak pernah bertemu sebelumnya tapi memberikan saya tiket pesawat gratis ke Amerika Serikat dan Puerto Rico pada 2001, setelah kejadian 911.

Di film Trinity, The Nekad Traveler yang tayang pada 2017, saya eh Maudy Ayunda tiba-tiba diberi tiket oleh seseorang yang tidak dikenal ke Maldives. Ya, dia lah Mr. X yang sama! Hanya saja demi kepentingan film, destinasinya pindah dari Amerika Serikat ke Maldives. Kalau penonton belum membaca buku The Naked Traveler tentu membingungkan. Tapi ini memang kisah nyata yang bikin sirik sejuta umat dan pasti akan bertanya, “Kenalin dong Mr. X!”

Jadi siapakah Mr. X? Ini saya ingatkan lagi deskripsinya yang dikutip dari buku The Naked Traveler 1: “Dia seorang lelaki berusia 36 tahun, seorang Indonesia yang sudah tinggal di Amerika selama 15 tahun”. Kita semua pasti beranggapan dia tajir abis karena kok enteng banget ngasih-ngasih tiket gratis, ke orang nggak kenal pula! Iya, saya juga beranggapan begitu. Saya aja masih penasaran kenapa dia mau-maunya ngasih tiket ke saya, padahal kenal juga kagak.

Well, begini kisah selanjutnya…

Setahun setelah perjalanan saya ke Amerika Serikat yang dibayari tiketnya sama Mr. X, akhirnya saya bertemu langsung dengannya! Waktu itu Mr. X ada urusan bisnis ke Jakarta, jadilah saya janjian ketemu di sebuah restoran di mal. Saya geret sahabat saya si Sri yang karena ingin menemui dialah saya ke Dallas dibayarin Mr. X.

Mr. X ternyata adalah seorang pria yang bersahaja. Saya langsung tahu dia WNI keturunan Tionghoa karena matanya sipit dan kulitnya cerah. Perawakannya biasa saja, tingginya sekitar 170 cm dengan berat seimbang. Orangnya santai aja, bukan macam om-om serius yang punya bisnis banyak. Kami pun mengobrol santai. Mr. X sudah berkeluarga. Istri dan dua anaknya tinggal di California, Amerika Serikat. Dia bisnis ekspor impor barang dari Indonesia.

Saat itu karena saya akan berulang tahun dalam waktu dekat, Mr. X bertanya, “Wah, kamu mau kado apa?”

Saya jawab, “Now you know that I love traveling.”

“Bagaimana kalau saya kasih tiket lagi?”

“Serius? Wah, mau banget!”

“Kamu paling pengin traveling ke mana sekarang?”

“New Zealand.”

“Oke. Besok saya fax tiketmu ke kantor ya?”

“Ini beneran?”

“Masa saya bohong? Kan sudah terbukti kamu nyampe ke Amerika karena tiket dari saya!”

Deg. Rasanya saya langsung mau salto jumpalitan di dalam restoran itu! Ini orang gila benar! Dapat tiket ke Amerika Serikat dan Puerto Rico aja udah kebangetan beruntungnya saya, eh ini ditambah lagi ke New Zealand! Nggak tahu mau gimana lagi saya berterima kasih kepada Mr. X. Dia pun tidak meminta apa-apa.

Besoknya beneran saya dikirim tiket Jakarta-Auckland dan Christchurch-Jakarta naik maskapai bintang lima! Saya yang masih nggak percaya lalu menelepon maskapainya untuk mengecek kebenarannya. Dan lagi-lagi benar tiket itu atas nama saya! Singkat cerita, saya pun traveling bareng Sri dan Jade, kisah-kisah serunya juga ada di buku.

Fast forward beberapa tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan Mr. X di Jakarta. Saya menemuinya di apartemennya di bilangan Senayan. Supaya nggak awkward, saya geret aja si Nina. Apartemennya ternyata supermewah. Lift-nya aja langsung terbuka ke pintu apartemennya!

Kami pun mengobrol ngalor-ngidul. Saya bercerita bahwa saya sudah nggak kerja kantoran lagi, tapi sudah jadi full time traveler dan freelance writer. Saya memberikan buku The Naked Traveler 1 kepada Mr. X sambil berkata, “I made a story out of you in this my very first book!”

“Wah, terima kasih!” jawabnya terkekeh sambil membolak-balik halamannya.

“Saya masih punya satu pertanyaan,” tanya saya lagi.

“Apa itu?”

“Kenapa Anda mau ngasih tiket ke orang yang tidak dikenal macam saya?”

“Saya happy aja kalau bisa bikin orang happy.”

That’s it. Jawaban yang tampak sangat sederhana tapi maknanya sangat dalam. Saya pun tidak melanjutkan pertanyaan.

Selama beberapa tahun kami masih sesekali bertukar pesan lewat SMS tapi kami tidak pernah bertemu lagi. Sampai suatu hari saya ganti ponsel, nomor ponselnya Mr. X hilang! Sementara platform chat dan akun email yang biasa kami gunakan pun sudah tutup saking jadulnya.

Untuk Mr. X di mana pun Anda berada, saya berterima kasih. Saya akan happy sekali kalau Anda mau menghubungi saya.

Catatan: Penasaran gimana Mr. X digambarkan di layar lebar? Jangan lupa nonton film lanjutannya berjudul “Trinity Traveler” pada 28 November 2019 di bioskop ya? Berikut trailer-nya:

[Tayang Hari Ini] Film Trinity Traveler

$
0
0

Sungguh tidak menyangka setelah 14 tahun nge-blog dan 15 buku terbit akhirnya jadi film layar lebar! Gilanya lagi, tidak hanya 1 film yang berjudul Trinity, The Nekad Traveler yang telah tayang pada 2017, tetapi ada film lanjutannya berjudul Trinity Traveler yang tayang pada 28 November 2019 di bioskop seluruh Indonesia!

Film Trinity Traveler ini diadaptasi dari buku The Naked Traveler 2 yang awalnya terbit pada 2009. Ternyata, tepat 10 tahun kemudian diangkat ke layar lebar! Karena buku-buku saya adalah nonfiksi dan ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, jadilah dua film itu tentang saya yang dimainkan sama Maudy Ayunda. Ehem!

Karena banyaknya pertanyaan tentang buku dan film tersebut, saya coba rangkum di bawah ini:

Apa perbedaan film pertama dan kedua?
Film pertama (Trinity, The Nekad Traveler) menceritakan tentang Trinity dari anak kantoran yang mengejar passion-nya menjadi travel writer dan akhirnya menerbitkan buku. Film kedua (Trinity Traveler) menceritakan tentang Trinity yang sudah jadi bloger/penulis serta permasalahannya dengan keluarga dan hubungan cintanya. Masing-masing film sebenarnya bisa ditonton terpisah, jadi tidak perlu nonton yang pertama dulu karena masing-masing punya cerita utuh yang berbeda.

Seberapa mirip antara buku dan filmnya?
Bahasa buku dan bahasa film adalah dua hal yang berbeda. Buku saya adalah kumpulan cerita pendek mengenai perjalanan keliling dunia, jadi adaptasinya harus dibuat cerita yang linear. Jadi, tidak semua cerita di buku bisa dibuat film. Sebagian cerita yang diambil misalnya, tentang kuliah S-2 Trinity di Filipina.

Di cuplikannya, kok, ada adegan romantis gitu, sih? Beneran atau fiksi?
Beneran, dong! Cuma nggak ditulis aja di buku. Gaya pacaran saya ya kayak gitu, sambil traveling bareng dan berenang bareng. #eaaa

Apakah tokoh-tokohnya beneran ada?
Ada, dong! Baik di buku dan di film ada sahabat saya, Yasmin dan Nina. Juga sepupu saya, Ezra. Kami berempat memang cukup sering traveling bareng dari dulu. Penampakan tokoh dalam film yang kadang berbeda, contohnya Ezra yang aslinya tinggi dan putih, dalam film jadi Babe Cabiita. Paul pun beneran ada, lho! Aslinya sih cowok bule, tapi dalam film jadi Babang Hamish, ya, nggak nolak juga! Hehe!
Masih inget kisah Mr. X yang bikin kalian semua pengin kenalan? Ah, ditonton aja ya?

Seberapa jauh keterlibatan saya dalam pembuatan film ini?
Sebelum dibuat skenario oleh Rahabi Mandra, para produser, sutradara (Rizal Mantovani), dan saya duduk bareng untuk membuat ide cerita, plot, dan karakter berdasarkan pengalaman pribadi saya. Lumayan, nama saya jadi masuk ke credit titleIhiy!

Apakah saya ikutan main film?
Hmmm … kasih tahu nggak, ya? Ditonton aja, deh!

Bakal ada film berikutnya lagi dari buku The Naked Traveler 3, nggak? Atau, yang buku Round-the-World?
Belum ada rencana, sih. Makanya film ini kudu ditonton kalian, biar jadi banyak penonton, biar sukses—kali aja dibikin film lagi! Amin!

Mending mana duluan, baca bukunya atau nonton filmnya?
Sebaiknya baca dulu, sih, buku The Naked Traveler 2. Jadi, ada gambaran kehidupan Trinity itu kayak gimana, biar nanti pas nonton filmnya nggak kaget, atau malah ngiler nggak karuan lihat perjalanannya.
Kalau belum baca, bisa dibeli di toko buku atau order online di mizanstore.com mumpung ada edisi khusus The Naked Traveler 2 dengan cover film, plus dapat ucapan dan tanda tangan saya!

Bonus: Kata para cast dan sutradara tentang film ini, juga testimoni para selebritas Indonesia

Santai di Kansai!

$
0
0

Kansai adalah wilayah di barat Pulau Honshu yang merupakan pusat budaya dan sejarah Jepang. Kebanyakan wisatawan pergi ke wilayah Kansai karena ingin mengunjungi Kyoto. Nah, saya mau cerita tempat-tempat lain yang tidak biasa tapi asyik banget untuk bersantai.

Kobe

Banyak sih yang udah pernah ke sini, tapi paling cuman makan Kobe beef yang terkenal itu. Padahal Kobe lebih dari sekedar makanan karena banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi.

Jalan-jalan di pusat kota Kobe menyenangkan sekali karena kotanya dipepet pantai di satu sisi dan pegunungan di sisi lainnya. Mulai lah berjalan kaki di daerah Sannomiya yang merupakan pusat perbelanjaan dan kuliner. Dari situ, kunjungi Ikuta Shrine deh. Kuil cantik yang merupakan salah satu yang tertua di Jepang ini dipercaya oleh orang lokal dapat mendatangkan jodoh bila berdoa di sana. #eaaa

Tak jauh dari sana kita dapat mengunjungi Kobe Mosque. Masjid yang dibangun pada 1935 ini adalah masjid pertama di Jepang. Area sekitarnya memang ditinggali oleh penduduk Muslim maka tak heran banyak toko dan restoran yang menyajikan makanan halal.

Kalau mau beli suvenir atau camilan, bisa ke Kitano Meister Garden. Meski namanya “garden” namun ia bukanlah taman, melainkan gedung bekas sekolah yang bergaya retro. Di lantai dua, saya mencoba belajar membuat sample makanan (terbuat dari lilin yang sering kita lihat di etalase) berupa macaron. Ternyata susah banget menghias kecil-kecil gitu secara mata saya bolor! Hehe!

Yang seru, kunjungi Kobe Animal Kingdom. Sejatinya adalah kebun binatang, tapi yang membuatnya berbeda adalah banyak hewan yang tidak dikandangi jadi pengunjung bisa mengelus-elus langsung! Di sana lah saya pertama kali melihat dan mengelus capybara, sejenis tikus terbesar di dunia dengan berat sekitar 50 kg! Hewan unik lainnya ada alpaca, kangguru dan red panda (si Master Shifu di film Kung Fu Panda). Jangan lupa makan siang di restoran Flower Forest yang menyajikan makanan all-you-can-eat lezat.

capybara

Kalau ada di Kobe pada awal Desember, datanglah ke Kobe East Park untuk melihat Kobe Luminarie. Festival ini diadakan setiap tahun untuk memperingati korban gempa bumi Henshin pada 1995. Instalasi lampu sebesar bangunan yang dibuat pengrajin dari Italia ini sungguh cantik! Tempat unik lainnya untuk dikunjungi pada malam hari adalah Nankinmachi atau Chinatown-nya Kobe yang dibangun pada 1868. Sepanjang jalan terdapat pusat perbelanjaan dan kuliner murah.

Rekomendasi
– Dari Kansai Airport (KIX) paling cepat ke Kobe dengan naik high-speed ferry. Dari bandara tinggal naik shuttle bus ke Airport Pier. Dalam setengah jam perajalanan naik feri sampailah ke Kobe. Jauh lebih cepat daripada jalan darat yang memakan waktu 1,5 jam.
– Supaya hemat naik kereta di Osaka-Kobe pake Hanshin tourist pass seharga 500 Yen untuk 1 hari unlimited, atau kalau di Osaka-Kobe-Kyoto pake Hankyu tourist pass seharga 700 Yen untuk 1 hari unlimited.
– Hotel: Kobe Portopia Hotel – arsitekturnya keren, kamarnya luas untuk ukuran Jepang.

Tokushima

Tokushima terletak di Pulau Shikoku, namun aksesnya mudah dicapai naik kereta atau bus dari Kobe atau Osaka yang terhubung dengan jembatan. Lansekap Tokushima ini spektakuler banget karena merupakan pegunungan dengan sungai berair kehijauan. Ia memang pusat agrikultur Jepang. Cocok bagi pecinta alam macam saya!

Di Oboke Gorge, ikutan trip Oboke Pleasure Cruise deh. Dengan naik kapal bermotor berisi sekitar 20 penumpang, kita diajak menyusuri Sungai Yoshino yang biru kehijauan dikelilingi bebatuan besar berwarna putih dan hutan di tebing yang warna daunnya kuning-oranye-ungu saat musim gugur.

Tak jauh dari sana terdapat Kazurabashi Bridge, yaitu jembatan gantung kuno yang terbuat dari ranting pohon anggur. Berjalan di jembatan sepanjang 45 meter dan setinggi 14 meter ini bikin nyali ciut karena goyang-goyang dan jarak antar pijakan kaki yang jarang-jarang! Tapi pemandangan sekitarnya luar biasa cantik. Area sekitar jembatan ini juga asyik untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Bisa bersantai sambil duduk-duduk di bebatuan tepi sungai atau merenung di air terjun Biwa sambil makan ikan Ayu panggang yang ditangkap dari sungai dan dibumbui garam saja.

Rekomendasi
– Makan siang: Rest House Ueno – Gyudon (nasi dengan daging sapi) di sana super enak!
– Hotel: Obokekyo Mannaka. Ini penginapan model ryokan atau penginapan tradisional Jepang di mana tidurnya di tatami, memiliki onsen sendiri, dan tamunya wajib pakai yukata.

Tottori

Tidak menyangka di Jepang ada Sand Dunes! Gurun pasir terluas di Jepang ini terletak di sepanjang 16 km pantai di Tottori dan setinggi sampai 50 meter yang terbentuk selama 30.000 tahun. Pasirnya halus banget berwarna kekuningan, padangnya luas, pantainya pun cantik, jadi sungguh spektakuler!

Di seberangnya terdapat Sand Museum atau museum seni pasir yang berisi berbagai patung dan pahatan terbuat dari pasir! Setiap tahun berbeda-beda temanya, tahun ini bertema South Asia. Patung Mahatma Gandhi dan Buddha, sampai Patan Durbar Square dan Varanasi dibuat besar dan detil banget dengan aktivitas orang-orang di latar belakangnya.

Yang unik lagi Nijisseiki Pear Museum di Kurayoshi. Museum ini berisi segala macam hal tentang buah pir di dunia, terutama pir jenis Nijisseiki yang banyak dihasilkan daerah ini. Kita bisa melihat sejarah pir, cara budidaya pir, sampai  pear tasting (mencoba aneka pir) dan makan es krim pir.

Rekomendasi
– Makan malam: Izakaya Gyoen – makanan di bar tradisional Jepang ini enak-enak, terutama aneka gorengannya.
– Hotel: St Palace Kurayoshi – hotelnya basic tapi lokasinya strategis di seberang stasiun kereta.

Osaka

Kota terbesar di Kansai adalah Osaka, jadi pasti mampir ke sini. Di luar Namba dan Dotonbori buat belanja dan makan-makan, masih banyak tempat menarik untuk dikunjungi.

Sebagai penggemar memandang kota dari ketinggian, saya suka ke Abeno Harukas. Gedung pencakar langit setinggi 300 meter ini memiliki observation deck pada lantai 60 yang dapat memandang Osaka 360°. Saat winter, ada iluminasi cahaya yang ditembakkan pada dindingnya.

Tau nggak kalau di dekat Osaka, tepatnya di Sakai terdapat situs yang termasuk ke dalam UNESCO World Heritage List? Di Sakai terdapat kofun atau makam kuno raja-raja Jepang abad 3-7 Masehi. Uniknya makam ini dari atas bentuknya seperti lubang kunci, namun sangat luas dan dikelilingi danau – lebarnya aja sampai 486 meter! Ada banyak kofun di sekitar Sakai, bakal gempor juga kalau mengelilingi semuanya. Paling mudah mempelajarinya adalah ke kluster Mozu dan Furuichi Tumuli, masuk ke Museum Kota Sakai, lalu nonton Virtual Reality-nya.

Sorenya minum teh matcha di Machiya Café Sacay, sambil belajar cara bikin kue Jepang yang disebut wagashi (semacam mochi yang dibentuk lucu-lucu). Sebelum kembali ke Indonesia, jangan lupa belanja di MEGA Don Quijote. Toko serba ada dan murah ini ada beberapa di Osaka, namun yang di Shinsekai adalah yang terbesar sehingga puas milihnya.

Rekomendasi
– Makan siang: Umeda Food Hall – banyak pilihan makanan dengan suasanya nyaman.
– Makan malam: Restoran Olympia di Hotel New Hankyu. Makan all-you-can-eat di sini termasuk sushi, wagyu steak, bebek peking, dan es krim sepuasnya!
– Hotel: Hankyu Respire Osaka. Ini hotel baru buka jadi segalanya masih kinclong. Lokasinya pun di tengah kota, nyambung ke stasiun kereta, bahkan di bawahnya langsung mal.

Viewing all 173 articles
Browse latest View live