Freediving adalah penyelaman ke dalam air tanpa melibatkan penggunaan peralatan selam atau alat bantu pernapasan, tetapi lebih bergantung pada kemampuan seorang penyelam untuk menahan napasnya di dalam air sampai penyelam tersebut kembali menuju permukaan. (www.freediverindonesia.com)
Pertama kali saya tertarik pengin bisa freediving karena melihat aksi gebetan di Fiji pada 2016. Cowok ganteng asal Jerman itu adalah seorang cameraman spesialis underwater. Kami tinggal sekamar di hostel dan setiap hari berenang bareng di laut. Ehm. Di situ lah saya lihat dia tiba-tiba turun ke dasar laut, duduk santai sambil memvideokan saya lagi berenang di permukaan! Aih, saya langsung klepek-klepek!
Setiap tahun saya menargetkan diri untuk belajar hal baru dengan ikut kursus. Gara-gara cowok itu lah saya jadi pengin sekolah freedive. Tanggalnya dipasin dengan ulang tahun saya 11 Januari 2017 sebagai hadiah kepada diri sendiri. Sengaja saya ambil kursus di Bali supaya privat, soalnya malas kalo rame-rame di Jakarta. Pemilihan sekolahnya di Apnea Bali berdasarkan rekomendasi dari Babang Hamish Daud. Saya mengambil kelas dasar “Freediver” dan kursus diadakan selama 2 hari full di Tulamben. Catatan, tulisan ini bukan iklan, saya bayar sendiri dengan harga normal.
Saya baru tahu bahwa sertifikasi freedive itu ada bermacam mahzab, antara lain AIDA, SSI, PADI, CMAS, Apnea Total. Yang terakhir yang saya pilih karena saya tidak ingin terlalu serius apalagi ikut berkompetisi, jadi sertifikasi Apnea Total sudah cukup. Agensi sertifikasi lain baru akan meluluskan bila murid dapat menyelam minimum kedalaman yang ditentukan oleh agensi dan ada ujian tertulis, sedangkan di Apnea Total tidak mengharuskan syarat kelulusan tersebut karena tujuannya adalah rekreasi jadi yang penting nyaman menyelam dan menguasai teknik menyelam yang proper serta efisien.
Sebagai seorang yang jago berenang (malah mantan atlet renang) dan scuba diver puluhan tahun, saya merasa saya nggak bakal bermasalah. Tapi mendekati Hari-H, saya kok deg-degan! Membayangkan diri sendiri di bawah laut yang gelap, dingin, dalam, sunyi… lalu setengah mati menahan napas sampai sesak… Huaaaa! Terus, kalau di udah nggak kuat, nggak ada emergency plan, nggak ada buddy di sebelah seperti di scuba diving yang bisa dimintai oksigen! Aarrrgghh!
Saya jadi merasa nggak pede untuk sekolah freedive sendiri, maka saya ajak lah teman-teman. Sialnya ngga ada yang mau. “Bo, wis tue mbok ya nggak usah macem-macem!” kata mereka begitu. Ah, mereka memang kurang suka tantangan. Seminggu sebelum kursus, tau-tau teman saya di Bali si Tom pengin ikutan juga. Asyik ada barengannya!
Singkat cerita, jam 8 pagi hari pertama kami memulai sekolah dan berkenalan dengan instrukturnya, @AgusHong. Rupanya sekelas ya muridnya cuman saya dan Tom. Salah satu kelebihan sekolah ini hanya menerima maksimal 3 orang murid dalam 1 kelas. Jadwal sekolah selama dua hari adalah setengah hari belajar di kelas dan setengah hari di laut. Selama sesi kelas kami belajar teori, teknik dasar freedive, fisiologi pernapasan, praktik teknik pernapasan, relaksasi badan dan pikiran/mental, ekualisasi telinga, isu keamanan, prana yama dari yoga, serta stretching.
Untuk praktik di laut, kami dipinjami wetsuit, fins, dan masker. Saya pikir fins akan dikasih yang panjang khusus freediving, nggak taunya yang standar aja karena lebih fokus ke teknik finning yang benar, jadi nanti pakai fins panjang maupun pendek bukan masalah lagi. Yang beda adalah masker-nya lebih tipis karena harus yang low volume. Kami juga diberi pemberat besi 2 kg yang dililitkan di pinggang supaya lebih gampang tenggelam. Di permukaan laut tersedia buoy, semacam ban apung. Dari ban tersebut menjulurlah tali ke dalam laut sepanjang puluhan meter.
Jadi sebelum menyelam itu kita harus pemanasan dengan melakukan beberapa penyelaman yang dangkal dulu untuk mempersiapkan paru-paru terhadap tekanan, serta mempersiapkan mental dan relaksasi. Lalu dengan menahan napas saya masuk ke dalam laut perlahan-lahan dengan berpegangan tali sambil pencet hidung untuk ekualisasi. Awalnya hanya bisa turun sampai kedalaman 3 meter, tapi lama-lama semakin dalam. Ketika udah berasa dalam banget, dada rasanya sesak! Pikiran saya, kalau menyelam lebih dalam lagi berarti harus menyisakan napas untuk naik ke permukaan. Begitu liat ke atas, malah tambah panik lagi karena rasanya jauuuuh banget diraih! Sementara saya udah megap-megap. Omaigat!! Persoalan selanjutnya adalah ketika saya disuruh masuk kepala duluan dengan kaki di atas. Waduh, saya jadi disorientasi sambil cari-cari tali sehingga buyar!
Kata instruktur, kuncinya memang harus menyelam setenang mungkin dan sesedikit mungkin mengeluarkan tenaga. Semua ketakutan itu hanya lah di pikiran kita aja. Oksigen di dalam tubuh kita ada banyak hanya saja otak kita terlalu malas untuk menahan napas, makanya relaksasi pikiran sangatlah penting. Arrrrghh, tetep aja susah! Apalagi melihat si Tom bermasalah dengan sinus jadi dia nggak bisa ekualisasi dan melanjutkan penyelaman – padahal dia adalah seorang diver dan surfer handal! Duh, tambah deg-degan! It’s indeed a mental game!
Singkat cerita, akhirnya saya dinyatakan lulus dengan rekor menyelam di kedalaman 14-an meter. Malu sih cuman segitu aja, tapi ya sudah lah, itu pun saya takjub bisa sedalam itu. Pokoknya saya hepi saya bisa lulus, dan lebih penting lagi saya berhasil mengatasi ketakutan sendiri!
Sesi hari terakhir ditutup dengan fun dive di USS Liberty shipwreck (kapal karam). Saya dibolehin pake baju renang aja dan pake fins yang panjang. Baru kali itu juga saya freedive tanpa turun pake tali, jadi bisa liat pemandangan kapal karam dan banyak ikan. Ternyata saya lebih nyaman begitu. Pinternya lagi instuktur saya, dia bawa kamera underwater. Saya disuruh berenang masuk wreck yang dalam itu dengan imbalan akan difoto. Eh berhasil dengan sukses! Hehehe! Takjub juga saya bisa menyelam tanpa tabung di kapal karam situ, bisa sebelahan sama orang yang scuba diving!
Terus terang saya masih lebih suka scuba diving daripada freediving. “Ya beda. Kalau scuba diving untuk lihat-lihat sekeliling, kalau freediving untuk lihat diri sendiri – semacam meditasi dalam air,” kata Agus. Oh ya pantes! Lalu kenapa belakangan ini freediving jadi hits banget? Sekolah ini aja sampai punya instruktur dari berbagai bangsa dan bahasa, termasuk dari Cina. Muridnya pun masih muda-muda, anak milenial (kayaknya saya yang paling tua deh!). Dari hasil obrolan, jawabannya ternyata: “Motivasi kebanyakan orang pengin bisa freediving supaya kalau difoto underwater jadi bagus, bersih, nggak ada peralatan selam. Kan Instagram-nya jadi tambah kece!” Oalah, fenomena eksis di medsos lagi rupanya!
Epilog
Sampai saat ini, 1,5 tahun kemudian, secara tidak disengaja setiap berenang atau snorkeling di laut ternyata saya otomatis mempraktikkan freediving. Rasanya jadi jauh lebih gampang ketika turun di kedalaman laut untuk melihat terumbu karang lebih jelas – itu pun nggak dalam-dalam amat dan nggak perlu juga dalam-dalam. Saya pun jadi lebih merasa aman saat scuba diving karena sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika (amit-amit) peralatan macet.
Ini ada video saya snorkeling di Maldives bersama schooling ikan giant trevallies segede-gede bayi. Kalau dulu belum sekolah freediving, mungkin saya nggak bisa kayak begini.