Quantcast
Channel: Travel – The Naked Traveler
Viewing all 170 articles
Browse latest View live

[Adv] Manado, destinasi liburan yang menyenangkan!

$
0
0

Manado sepertinya sudah pudar kesohorannya. Padahal dulu, liburan ke Manado itu dianggap eksotis. Jauh sebelum “ada” Raja Ampat, Wakatobi dan Komodo, diving di Bunaken itu bak pergi “naik haji”-nya para diver Indonesia. Saya sendiri sudah berkali-kali ke Manado dan Bunaken sejak tahun 1990an. Setelah terakhir 2008, akhirnya saya menginjakkan kaki lagi ke sana pada awal April 2015.

Saya mengajak salah satu sahabat saya sejak SMA, Sri, yang dapet cuti “mother days’ off”. Btw, saya sangat setuju bahwa seluruh ibu di dunia boleh liburan sendiri tanpa suami dan anak-anaknya. *colek para suami*

Karena agenda utama liburan kami adalah leyeh-leyeh, maka kami memilih untuk menginap di resor yang terletak persis di tepi pantai. Satu-satunya hotel yang model begitu di Manado adalah “Manado Tateli Beach Resort”. Dulunya bernama Sedona, tapi sudah pindah kepemilikan. Sudah setahun belakangan, hotel ini sedang berbenah diri dengan merenovasi exterior dan interiornya. Manajemennya saat ini dipegang oleh Accor Hotels, sehingga saat selesai renovasi ia akan menyandang nama brand Mercure.

Kamar yang telah direnovasinya keren banget. Interiornya modern dengan tema laut. Dari balkon kamar, pemandangan langsung menghadap laut, gunung Manado Tua, taman, dan kolam renang. Area resor ini emang luas banget ; 2,4 hektar! Bangunan hotel yang jumlah kamarnya 143 ini bertingkat 4, sisanya ada kebun sayuran, lapangan tenis, gym, kolam ikan, jogging track, pantai, bahkan wedding chapel yang keren! *brb, cari suami*

Newly renovated room @ MTBR

Newly renovated room @ MTBR

Manado yang juga terkenal karena kelezatan makanannya sudah langsung tersedia di hotel. Bayangin, sarapan di Kopi’o Restaurant aja ada Nasi Kuning dan Bubur Manado! Yumm! Kalau belum puas, naik mobil sekitar 5 menit udah nyampe di daerah Kalase di mana terdapat jejeran restoran seafood yang enak-enak.

Nggak mantap ke Manado tanpa ke Taman Nasional Bunaken yang tersohor itu. Ternyata ada Dive Center di hotel, yaitu Minanga Divers. Tinggal pake bikini, jalan kaki ke pantai, naik deh speed boat ke Bunaken yang cuma memakan waktu sekitar 40 menit. Ternyata diving di Bunaken tetap bagus! Rasanya tidak beda dengan diving 7 tahun yang lalu; visibility bagus, ikan tetap buanyak, terumbu karang tetap sehat. Ditambah dengan akses yang mudah dan fasilitas yang baik, tidak ada alasan untuk tidak diving di Bunaken deh. Yang kagetnya, saya adalah orang Indonesia satu-satunya yang sedang diving di situ saat itu. Duh, bule-bule aja terbang ribuan km untuk menikmati Bunaken, mengapa kita tidak?

Pulau Bunaken

Pulau Bunaken

Abis diving, paling enak kan spa. Nah, di hotel ini ada Martha Tilaar Salon Day Spa. Pas banget kan? Saya nyobain paket Aromassage Body Wellness di ruangan serba kayunya yang luas. Terapisnya diimpor dari Jawa yang sudah pengalaman, jadi pijatannya mantap!

Martha Tilaar Spa

Martha Tilaar Spa

Hari berikutnya kami jalan-jalan ke Tomohon pake private tour yang bekerja sama dengan hotel. On the way ke sana, kami mampir ke Monumen Yesus Memberkati. Sudah lama denger, baru kali ini lihat. Patung Yesus setinggi 30 meter ini tingginya sama lho dengan Christ the Redeemer di Rio de Janeiro! Hebat yah, Manado! Dari situ kami ke makam pahlawan Imam Bonjol, yang ternyata tak jauh dari Kota Manado. Ih, saya baru tahu beliau dimakamkan di sana.

Di Tomohon, kami mengunjungi Bukit Doa. Wisata religius untuk umat Katolik ini terdapat Jalan Salib, Gua Maria, replika gua makam Yesus, amphitheater dan wedding chapel di tempat yang sungguh asri. Tempat keren lainnya adalah Danau Linaow yang sebenarnya merupakan kawah sulfur berair kehijauan dan enak untuk tempat ngopi.

Danau Linaow

Danau Linaow

Ah, menurut saya Manado masih menjadi destinasi liburan yang sangat menyenangkan! Tinggal naik Garuda langsung nyampe – nggak usah gonta-ganti moda transportasi yang ribet seperti ke Indonesia Timur lainnya.  And oh, did I mention super delicious Manadonese food?

#TNTquiz

Mau liburan ke Manado juga? Menangkan 2 voucher menginap 1 malam gratis di Manado Tateli Beach Resort (masing-masing untuk 2 orang di newly renovated room, termasuk breakfast)! Caranya gampang; follow Twitter @ManadoTateli dan Instagram @manadotateli, posting foto Anda di pantai manapun disertai alasan yang menarik mengapa suka pantai, mention akun Twitter/Instagram @ManadoTateli dengan hashtag #TNTquiz sebelum 31 Mei 2015.


The Extraordinary Flores!

$
0
0

Sebagian besar orang yang sudah pernah ke Flores di Nusa Tenggara Timur, tapi seringnya cuman sampe Labuan Bajo dan Komodo. Saya juga begitu. Padahal Flores merupakan pulau yang luasnya nyaris 2,5 kali lebih besar daripada Bali. Sebenarnya setelah Komodo, saya pengen ke Danau Kelimutu. Sayangnya pada April 2015 jalannya lagi longsor sehingga tidak memungkinkan dilalui. Akhirnya saya hanya main di bagian tengah Flores aja dalam waktu 4 hari.

Saya terbang dari Denpasar menuju Ende naik pesawat Garuda Indonesia, dengan transit di Labuan Bajo sebentar. Nama Ende dulu saya dengar karena Soekarno pernah dibuang oleh Belanda ke sana. Ternyata rumah bekas tempat tinggalnya masih ada dan dijadikan museum. Rumah berkamar tiga ini pernah ditanggali Soekarno bersama Ibu Inggit pada tahun 1934-1938. Furniturnya masih terpelihara dengan baik, bahkan tapak tangan Soekarno saat sujud aja masih ada di musholanya.

Soekarno's House

Soekarno’s House

Yang lebih hebat lagi adalah Taman Renungan Pancasila yang terletak 100 meter dari rumah tersebut. Tau nggak kalo Pancasila itu dirumuskan oleh Soekarno di bawah pohon sukun di situ? Dulu Soekarno mandangin sukun yang bersegi lima itu, merenungi, dan akhirnya kita semua hapal luar kepala kelima sila Pancasila. Saat ini sekelilingnya telah dijadikan taman kota dan ada patung Soekarno sedang duduk.

Sekitar setengah jam dari Ende, saya mampir ke Blue Stone Beach. Aslinya bernama Pantai Penggajawa, entah kenapa namanya berubah meski saya setuju karena namanya menjelaskan tempatnya. Ya, pantai tersebut penuh bebatuan berwarna gradasi biru! Ajaib bener! Terlihat beberapa penduduk lokal mengumpulkan bebatuan tersebut untuk dijual, konon sampai ke Jepang.

Blue Stone Beach

Blue Stone Beach

Menjelang malam, saya tiba di Riung, desa nelayan yang terletak di utara Pulau Flores. Saya menginap di Pondok SVD, sebuah hotel kecil yang dikelola oleh gereja Katolik. Keesokan paginya dengan menyewa boat, saya menyelusuri Taman Laut Riung 17 Pulau. Sebenarnya sih jumlah pulaunya ada 24 buah, namun karena 17 merupakan angka “keramat” maka penduduk setempat menyebutnya 17.

Pertama saya mampir ke Pulau Kalong atau Flying Fox Island. Saya pikir yah cuma beberapa aja kelelawarnya, ternyata ada ratusan bahkan ribuan. Kelelawar tersebut tidur terbalik pada ranting pepohonan dengan krukupan “jubah” hitam persis kayak Batman.

Setelah snorkeling di Pulau Tiga, saya ke Pulau Rutong yang tak berpenghuni. Widih, pantainya adalah salah satu yang terbaik di Indonesia untuk berenang versi saya! Airnya bening, pasirnya putih halus, pantainya landai tak berkarang dan tak berbatu, sehingga serasa berenang di kolam renang. Di belakangnya terdapat bukit yang bisa dinaiki, tapi mana mau saya manjat-manjat gitu.. mending puas-puasin berenang! Makan siang pun tinggal bakar ikan. Nikmat bener!

Rutong Beach

Rutong Beach

Sore harinya perjalanan menuju Bajawa. Sebenarnya jarak Riung-Bajawa cuman 72 km. Kalau jalan aspal mulus yah kira-kira 2 jam lah, tapi karena jalannya sempit dan agak rusak maka ditempuh dalam waktu 4-5 jam! Untungnya pemandangan keren; bukit-bukitnya kayak di film seri Teletubbies!

Between Riung and Bajawa

Between Riung and Bajawa

Sampai di Bajawa saya langsung pake jaket. Maklum, kotanya terletak di ketinggian 1.100 mdpl. Habis panas-panasan di laut, langsung terasa dinginnya udara pegunungan. Keesokan subuh, saya ke bukit Wolobolo untuk melihat matahari terbit. Dari atas bukit langsung dapat terlihat dua gunung yaitu Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Warna langit yang bergradasi kuning dan merah menyembul dari gunung emang gila kerennya!

Kelar sarapan, saya berkunjung ke Desa Bena . Desa ini paling terkenal di antara para wisatawan karena paling tourist friendly; penduduknya yang sadar wisata, bisa beli langsung tenun ikatnya, dan tersedia toilet umum yang bersih. Desa megalitikum sejak 1200 tahun yang lalu ini terdiri dari 45 rumah beratap tinggi serta beberapa bangunan simbolis adat dan tumpukan batu yang merupakan makam. Di atas bukit terdapat Gua Maria yang juga merupakan view point memandang desa yang dikelilingi pegunungan ini.

Bena Village

Bena Village

Dari situ saya ke Malanage Hot Spring di tengah hutan. Biasanya kan hot spring adanya di kolam, nah yang ini ada di sungai. Uniknya, ada dua aliran air, yaitu air panas yang mengandung sulfur berasal dari Gunung Inerie dan air superdingin dari mata air. Kedua aliran itu bersatu di sebuah sungai! Berendamnya sih harus milih tempat agar suhu airnya pas hangat.

Siangnya saya ke Desa Gurusina untuk makan siang; ikan kuah kuning, ayam goreng, sayur, nasi, singkong rebus, sambal.. ah, nikmat! Desa ini meski di tanah yang rata namun dikelilingi perbukitan hijau. Biasanya wisatawan trekking dari Desa Bena ke sini, cuman saya malas karena bisa naik mobil juga kok :)

Sebelum kembali ke Ende, saya mampir ke Papa Wiu untuk melihat secara langsung proses pembuatan kopi mulai dipetik sampai jadi bubuk. Bajawa memang terkenal akan kopi Arabikanya yang premium. Sore itu saya pun ngopi dan membeli kopinya sebagai oleh-oleh.

Liburan singkat di Flores ini membuat saya makin cinta alam dan budaya Indonesia. Destinasi Flores pun komplit; mulai dari museum, desa adat, perkebunan kopi, hot spring, gunung, sampai pantai yang kece! Benar-benar Flores itu extraordinary!

TIPS

Info lengkap tentang destinasi wisata di Flores, silakan cek FloresTourism.com.

Seksinya Karnaval di Seychelles!

$
0
0

Seychelles (dibaca: Sey-Syels), negara kepulauan di Afrika ini hanyalah berpenduduk 90.000 orang saja, tapi mereka punya event yang terkenal seantero dunia, yaitu Carnaval International de Victoria. Bertempat di ibu kotanya Victoria, pada 24-26 April 2015 ini adalah tahun kelima diadakannya karnaval. Setiap karnaval, negara itu dibanjiri oleh turis asing dari seluruh dunia, baik sebagai peserta karnaval maupun penonton. Saya pun mendapat kehormatan sebagai satu-satunya orang Indonesia dari antara 109 orang jurnalis dunia yang diundang untuk meliput karnaval ini. #bangga

Hari pertama merupakan malam pembukaan yang diadakan di stadion Stad Popiler. Presiden Seychelles, tamu kehormatan Raja Ghana dan Puteri Mahkota Swaziland, serta para pejabat memberikan sambutannya di atas panggung. “Look at the carnival a small country like Seychelles can stage for the world as large,” kata Alain St. Ange, Menteri Pariwisata dan Budaya Seychelles. Ih, hebat ya?

King of Ghana speech

King of Ghana speech

Lalu panggung dibuka dengan penampilan penyanyi-penyanyi ibu kota yang diiringi band lokal. Mereka juga menampilkan pemenang lomba lagu bertema karnaval 2015. Oya, lagu-lagunya berbahasa Creole. Beberapa negara peserta pun tampil di panggung dalam bentuk musik dan tarian tradisional.

Indonesia yang diwakili oleh tim dari Kepulauan Nias menampilkan tari dan nyanyi. Setelah penampilan live dari tiap negara, eh Indonesia penyanyinya lipsync! Ditambah lagi musiknya mendem, masih mono kualitas kaset gitu. Namun tarian yang ditampilkan oleh 10 penari sih bagus. Saya menggila sendiri teriak-teriak menyemangati tim Indonesia dari bawah panggung!

Setelah semalaman ada pesta rakyat, hari kedua merupakan puncak acara. Jalan-jalan utama di Kota Victoria ditutup, praktis senegara berhenti beroperasi karena hampir semua warganya tumpah ruah ke jalan. Mulai siang hari turun hujan deras, abis itu cuaca menjadi superpanas dan sangat lembap. Acara yang seharusnya mulai jam 15.00 molor 1,5 jam. Ada 60 tim, termasuk tim dari 20 negara asing, menggunakan float (kendaraan hias) berparade di jalan mulai dari Bois de Rose Avenue sampai Orion Mall.

Tim pertama adalah marching band lokal mengiringi para petinggi Seychelles. Lalu muncul lah float yang paling unik berupa giant tortoise (kura-kura raksasa khas Seychelles) yang dinaiki oleh para pemenang kontes beauty pageant dunia, yaitu Miss Seychelles, Miss Tanzania, Miss Australia dan Miss USA.

Miss Seychelles etc

Miss Seychelles etc

Puluhan float dengan sound system menggelegar lewat satu per satu. Di depan tenda VIP mereka memperagakan tarian dan/atau nyanyian selama 5 menit. Tim lokal, mulai dari sekolah, tempat fitness, hotel, sampai perusahaan konstruksi joget-joget seksi diriingi lagu hip hop Amerika. Tim yang terdiri dari sejumlah penari dan penyanyi itu berpakaian minim, mungkin karena negaranya panas. Banyak wanita yang hanya memakai bikini berwarna ngejreng dan pria bertelanjang dada, tak peduli bentuk  bodinya gimana. Makin minim bajunya, penonton makin bersorak!

Salah satu tim lokal Seychelles

Salah satu tim lokal Seychelles

Negara-negara asing pun menampilkan float sesuai dengan budaya masing-masing. Negara-negara Afrika menurut saya paling unik, ya karena saya jarang melihat budaya mereka. Swaziland, Zambia, Kenya dengan pria-pria ras hitam bertelanjang dada menari dan bernyanyi menghentak-hentak itu seksi banget! Bodi mereka emang kayak dipahat aja! #salahfokus

Tim Swaziland bersiap sebelum tampil

Tim Swaziland bersiap sebelum tampil

Peserta dari negara Asia lah yang paling tertutup bajunya dari ujung kepala sampai kaki! Kelihatan sih mereka lodoh keringetan. Tiongkok dengan pasukan kungfu, Korea Selatan dengan tim martial arts diiringi lagu boy band, Kamboja dengan tarian tradisionalnya yang slow, India dengan tarian muter-muter beat cepat. Tapi float mereka saya akui bagus dan dipikirin detailnya.

Cambodian float

Cambodian float

Tim Indonesia naik dua float yang dihias dengan rumah tradisional Nias dibalut spanduk digital print yang kurang rapi. Mereka menampilkan tarian dan… atraksi lompat batu! Batunya sih artifisial, tapi tiga cowok Nias itu sambil nyeker di aspal bisa lompat setinggi 2 meter itu keren banget! Para penonton berkali-kali bilang “WOW!” sampai saya merinding!

Tim Indonesia!

Tim Indonesia!

Yang biasa-biasa aja malah tim negara barat. Maklum mereka kurang kaya budayanya. Contohnya Spanyol menampilkan kwartet pegitar yang nyanyi lagu jadul Macarena dan Jerman menampilkan tim semacam cheer leaders. Paling parah tim Italia. Mereka menampilkan tokoh-tokoh superhero dan kartun, mulai dari Batman, Spiderman, Lara Croft, sampai Minion dan Mickey Mouse! What’s so Italian about that huh?

Di penghujung iringan float, penonton kembali heboh karena melihat tim Brasil. Kebayang kan kostum karnaval samba mereka? Yep, yang cewek pake topi bulu-bulu tinggi sih, tapi kostumnya cuman nutupin puting dan anunya, sementara toket dan pantat mereka telanjang! Wohooo! Masyarakat menggila rebutan motret, sampe saya kelelep.

Float terakhir adalah tim Notting Hill dari Inggris yang paling keren menurut saya. Maklum, mereka adalah grup spesialisasi karnaval. Emang paling niat dari segi kostum, musik, dan atraksinya – yang sampai ada tim sepeda motor menggilas orang tiduran! Sayangnya hari sudah gelap, jadi hasil foto pun ancur. Acara karnaval pun ditutup dengan pesta rakyat semalam suntuk berupa live band dan DJ di Freedom Square dan Waterfront.

Hari terakhir pada 26 Maret 2015 yang diadakan di Freedom Square berupa karnaval khusus anak-anak dan keluarga, serta festival kuliner lokal. Di panggung utama ditampilkan acara hiburan dari pesulap dan band lokal, dan penampilan dari beberapa negara peserta – termasuk tim Brasil yang bikin heboh!

Tim Brasil!

Tim Brasil!

Sorenya diumumkanlah para pemenang karnaval oleh Menbudpar Seychelles. Ada 4 kategori, yaitu Best School Float, Best Local Float, Best Cultural Float, dan Best International Float. Kamboja memenangkan juara kedua kategori Best Cultural Float. Sedangkan untuk Best International Float juara ketiganya adalah Mauritius, juara keduanya adalah Brasil, dan juara pertamanya adalah Notting Hill dari Inggris. Sudah ketebak sih.

Indonesia nggak menang apa-apa, tapi seharusnya sih kita bisa lebih baik. PR selanjutnya, kapan dong Indonesia bikin karnaval yang bertaraf internasional? Eh tapi harus pake baju tertutup ya? Negara-negara selain Asia nggak boleh ikutan dong! :)

Dugem di Afrika!

$
0
0

Pada dasarnya saya nggak suka sudah pensiun dari dugem. Apalagi pas traveling – sendiri pula. Udah harus keluar duit ekstra karena saya minumnya banyak, kudu mikir transportasi yang jadinya mahal karena pulang pagi berarti kudu naik taksi, belum lagi mikir keselamatan diri. Pas rencana mau traveling ke Afrika sendiri, saya nggak mikir akan pergi dugem. Eh, tau-tau ada aja yang ngajak!

Pas malam Minggu di Seychelles, seorang jurnalis cewek AS ngajak dugem dan janjian ketemu di lobi Hotel Savoy jam 22.30. Nggak taunya ada 5 jurnalis lain yang diajak juga. Hore, the more the merrier! Liat di GPS, club-nya bisa dicapai dengan jalan kaki lewat pantai. Ternyata jalannya tak semudah itu. Udah gelap, banyak anjing liar, harus melewati sungai dan tembus segala, sehingga kami harus nyeker dan kemringet.

Club-nya bernama Tequila Boom. Di sana kami ketemu lagi sesama jurnalis, sehingga kami berjumlah 10 orang. Si cewek AS ini rupanya tajir, dia mentraktir saya minum tequila berkali-kali, di luar berbotol-botol bir yang saya beli (dan dibeliin cowok. #ehm). Makin malam, club yang tidak begitu luas ini makin penuh sesak. Musiknya hip hop Amerika. Orang lokal yang bodinya gede-gede berbaju serba kekurangan bahan. Mana jogetnya egol-egol pantat sehingga tambah sumpek, jadinya kami nongkrong di bar luar. Berjam-jam kemudian kami pulang ke hotel berjalan kaki yang rasanya tambah jauh karena kami sudah tipsy. Malam pagi itu diakhiri dengan nyebur rame-rame di kolam renang hotel!

Besok malamnya, seorang jurnalis Brasil mengundang beach party tim karnaval Brasil dalam rangka perayaan kemenangannya pada Carnaval International de Victoria. Grup hura-hura kemarin pun segera beranjak. Karena kelamaan minum-minum dulu di bar hotel, rupanya pesta Brasil udah kelar. Eh tapi kok masih kedengeran suara perkusi di pantai yang lebih jauh. Rupanya pesta yang sama diadakan oleh tim karnaval Mauritius yang juga menang. Bersama tim Brasil, mereka bergantian menabuh alat-alat perkusi sambil bernyanyi dengan beat cepat. Wih, serasa pesta adat suku terasing! Kami pun ikutan joget lompat-lompat ga keruan!

Belum puas, kami pergi ke Tequila Boom, eh ternyata Minggu tutup! Balik lagi ke pantai, pesta sudah bubar. Tapi kok masih kedengeran suara musik hip hop dari tape di lobi hotel sebelah. Ternyata tim Mauritius itu lanjut berpesta bersama tim Notting Hill dari Inggris! Kami pun ikutan gabung, berpesta lagi sampai bar hotel tutup dan terpaksa harus membeli minum di Casino. Jam 4.00 pagi, anak-anak itu rame-rame nyebur ke laut dan kami pun pulang.

Seminggu sesudahnya, saya berada di Dar es Salaam, ibu kota Tanzania. Denger nama kotanya aja udah bikin serem. Boro-boro mau dugem, jalan kaki sendiri di siang bolong aja pasti kena jambret katanya. Siang harinya saya kenalan sama cowok lokal, nggak taunya dia ngajak dugem di New Maisha Club. Katanya akan dijemput jam 23.30. Say what? Jam bobo banget! Saya benar-benar ketiduran pas dia datang menjemput.

Club ini luas. Ada area semi outdoor dengan bar, kursi, meja, dan biliard di mana orang nongkrong dulu minum-minum. Tiket masuk club seharga 10.000 Shilling (sekitar Rp 75.000,-) tidak termasuk minum. Interiornya luas dan bertingkat dua. Di tengahnya dance floor dengan lantai kaca yang menyala berwarna-warni, plus lampu sorot dan laser. Orang lokalnya, baik cowok maupun cewek, berpakaian ala hip hop dengan celana kedodoran, topi baseball, dan sepatu keds. Beda banget dengan para PSK yang pake hot pants dan tank top keliatan udel! Awalnya dipasang lagu-lagu jadul, lagu dance tahun 1980-1990an Amerika. Lalu berganti jadi lagu hip hop Amerika, dan akhirnya lagu hip hop Tanzania berbahasa Swahili! Orang pun makin ramai memenuhi lantai. Dasar ya ras item itu emang diciptakan jago joget, mereka gayanya asyik banget – macam nonton film Step Up! Jam 2 pagi, lagu berganti jadi lagu Bollywood. Orang Tanzania keturunan India pun turun dengan gaya joget berantakan. Awalnya lucu, lama-lama bosan dan saya pun pulang.

Seminggu kemudian saya berada di Arusha, kota kecil di utara Tanzania. Malam itu saya makan malam bersama guide safari saya dari The Story of Africa. Karena kangen makan babi, saya diajak makan Kitimoto Choma (artinya “babi panggang” dalam bahasa Swahili) di warung pinggir jalan. Lucunya, kami duduk di sebuah bar bernama Sarafina. Ruangannya cukup luas tapi gelap. Cahaya lampu hanya berasal dari bar yang tertutup jeruji besi! Pengunjungnya pun sebagian besar geng lelaki. Widih, ghetto banget! Lalu datanglah si mbak warung bawa teko, sabun cair dan baskom. Maksudnya? Oh untuk cuci tangan sebelum makan! Anyway, Kitimoto ini enaknya luar biasa! Babi dan bir itu emang paduan yang cocok banget. Abis makan, kami menghabiskan malam dengan minum bir di bar gelap gulita sambil ditemani musik hip hop Swahili. Maisha marefu*!

Bar di Arusha

Bar di Arusha

*Cheers! dalam bahasa Swahili, yang arti harfiahnya “hidup lama” (long live). #ironis

Honeymoon with myself in Zanzibar

$
0
0

Kadang kita pengen ke suatu tempat hanya karena nama tempat tersebut terdengar eksotis di telinga. Seperti saya pengen ke Zanzibar. Nggak kebayang sebelumnya bahwa Zanzibar itu ternyata sebuah kepulauan di negara Tanzania, di timur benua Afrika. Bahkan merupakan tempat kelahiran Freddie Mercury, vokalis Queen!

Sebelum pergi, saya browsing penginapan di Pulau Zanzibar. Penginapan murah adanya di kota Stone Town tapi tampak mengerikan karena dekat dengan pelabuhan dengan jalan-jalan yang sempit dan gelap. Hostel cuma ada satu, itu pun sekamar berdua mixed gender – hii, apa nggak takut tergoda? Secara saya traveling sendirian, di Afrika pula, borju dikit nggak apa-apa lah. Jadi lah saya memutuskan untuk tinggal di hotel pinggir pantai. Asal dekat laut, I’d be happy meski sendirian.

Akhirnya dapatlah di sebuah hotel di Pantai Uroa seharga 40 USD sekamar sendiri di satu bungalow. Cukup mahal, tapi itu yang terbaik dari fasilitas yang disediakan karena ada kolam renang dan free WiFi. Pantainya pun bukan pantai turis yang banyak beach boys dan tukang jualan gengges, jadi bisa santai gugulingan pake bikini. Hotelnya cukup gede, ada 18 bungalow. Mayan bisa kenalan sama tamu-tamu lain.

Dari Dar es Salaam saya naik feri ke Zanzibar dan minta dijemput oleh supir hotel. Rupanya jaraknya jauh juga, sekitar sejam naik mobil. Mendekati Uroa, jalanan supersepi dan ada 2 hotel lain yang sudah tutup. Ebuset, jadi hotel saya ini tinggal satu-satunya yang buka! Sampai hotel, dikasih bungalow yang jauh dari resepsionis. Pas masuk kamar, lha listrik kok mati? Katanya, jam 18.00 baru akan dinyalakan genset. Karena gelap, saya nongkrong aja di restorannya yang luas. Lhaa, kok nggak ada orang lain? “Am I the only guest here?” tanya saya. “Yes,” jawab mas resepsionis. Haa? Jadiii… saya satu-satunya tamu di satu-satunya hotel di daerah sepi ini?! Maksudnya sih mau menyepi, tapi ini kebangetan!

Sehotel searea sendirian!

Sehotel searea sendirian!

Sialnya WiFi gratis itu cuman bisa diakses di lobi hotel. Karena saya satu-satunya tamu, router-nya saya paksa bawa ke kamar – mayan untuk maen hape. Ehh, pas jam 22.00 WiFi mati! Lhaa? Mati gaya deh! Belum ngantuk gini ngapain di tempat supersepi begini? Suara terdengar cuman dengungan nyamuk dan deburan ombak. Area hotel tidak berpagar dan gelap. Satpam kagak ada. Resepsionis cuman seorang, jauh pula dari kamar. Kalau saya dirampok atau diculik, nggak bakal ada yang dengar. Mulai deh saya parno. Ini Afrika, bung! Saya pun berdoa, baca Alkitab, berkali-kali mengunci pintu, bahkan menghalangi pintu dengan kursi, dan pegang pepper spray. Rasanya saya pengen malam itu cepat berakhir. Hiy!

Saya terbangun dengan bersyukur, ternyata semalaman aman terkendali. Seharian saya pun hepi-hepi berjemur dan berenang di kolam renang dan laut sampe gosong. Pantai Uroa ini memang cantik! Pasirnya putih, teksturnya halus kayak bedak. Pantainya pun landai tak berkarang dengan air laut berwarna turquoise. Mana bersih lagi, sama sekali nggak ada sampah. Sesekali para wanita lokal yang berjilbab warna ngejreng lewat sambil membawa ember berisi rumput laut di atas kepala mereka. Selain mereka, tidak ada siapa pun. Serasa pantai pribadi banget. Yay, I’m having honeymoon with myself!

Depan hotel

Depan hotel

Sore balik ke kamar, saya mau mandi. Udah telanjang, buka kran… lha, air mati! Apa-apaan ini? Saya pun berlari ke resepsion dengan hanya berbalut handuk – mumpung nggak ada siapa-siapa. Pas lagi nyap-nyap komplen ke resepsionis, eh datanglah dua mobil gerombolan cowok lokal yang mau makan di restoran! KWAK KWAAAW! Mata mereka langsung melotot. Saya seperti mau dimakan hidup-hidup! Saya buru-buru lari ngebut ke kamar dan berharap handuk nggak melorot.

Sejam berlalu air belum nyala juga. Saya masih handukan dengan badan lengket dan diserbu nyamuk. Setengah jam kemudian datanglah staf hotel membawa dua ember berisi air. “I’m sorry, madam. The water is off. Something wrong with the plumbing. We’re calling the technician,” katanya. Huh! Baru telepon? Ini gimana mau keramas? Belum air untuk nyiram boker. Arrrgh!

Sehabis mandi ipik-ipik, saya makan malam sendiri lagi di restoran. Katanya air sudah nyala, tapi WiFi masih mati. Alasannya jaringan provider-nya lagi gangguan. Saya yakin sih mereka malas aja ngisi pulsa. Daripada bete di kamar sendiri, saya pun ngobrol sama para staf hotel.

Penduduk Zanzibar 99% Muslim. Kalau menyapa orang, bukannya “jambo” (“halo” dalam bahasa Swahili) tapi “Assalammualaikum”. Tentu saya lancar ngomong begitu – yang membuat mereka kagum karena saya dianggap fasih bahasa Swahili. “It’s Arabic,” kata saya. “No, it’s Swahili!” jawab mereka. Terserah deh, nek! Mungkin karena itu lah mereka hormat dengan orang Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sekaligus heran kenapa saya bukan Muslim.

Menariknya, seorang staf bernama Hamadi meminta saya menerjemahkan sepatah lagu berbahasa Indonesia yang selalu diputar di masjid desa Uroa setiap habis sholat Jumat. Dia pun bernyanyi terbata-bata, “Hai kalian, kaum wanita yang menderita…” HAH? Beneran bahasa Indonesia! Lagu apaan tuh? Iramanya seperti kasidah, tapi kenapa kata-katanya begitu? Dan kenapa diputar di masjid? Setelah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Hamadi tambah bingung dan bertanya, “So what’s wrong with the women in Indonesia?” Waduh, kalau nggak lengkap kalimatnya ya susah. Tapi saya jadi ngikik sendiri. Jangan-jangan itu lagu dangdut!

Hari-hari selanjutnya saya nggak parno lagi dan survived hidup tanpa internet. Makanan enak sesuai request karena semua staf hanya melayani saya seorang. Masalah air teratasi. Listrik dinyalakan 24 jam. Plus, dikasih semprotan nyamuk – yang ternyata made in Indonesia. Selain berenang dan jalan-jalan, setiap hari saya nongkrong bareng dengan para staf hotel. Malah saya sempat main ke rumah keluarga mereka di desa Uroa. Saya pun jadi belajar bahasa Swahili gratis.

Hari terakhir saya mau terbang ke Arusha dan minta diantar ke bandara. Lho, kok yang nganter sekeluarga supir? Segitu merasa akrabnya kah mereka? Supir berkata, “I’m sorry, madam. My daughter just delivered a baby. We’re all going to the hospital in town after taking you to the airport!” Saya pun tersenyum dan berkata, “Hakuna matata, kaka!” (artinya “No problem, bro!”).

P.S. Mungkin saya harus pergi ke tempat lain yang juga terdengar eksotis; Timbuktu. Apa ya yang akan terjadi di sana? :)

Hidup expat di Dar es Salaam

$
0
0

Begitu tahu akan ke Seychelles, saya langsung lihat peta. Hmm… tidak jauh dari Tanzania, naik pesawat tinggal nyebrang doang. Jadilah saya extend dan cari tiket Seychelles-Tanzania-Seychelles sebelum pulang ke Indonesia. Saya pengen banget ke Tanzania karena tertarik safari di Serengeti National Park untuk melihat migrasi jutaan hewan seperti di TV NatGeo. Tapi masuk ke Tanzania harus melalui ibu kotanya, Dar es Salaam.

Mendengar nama Dar es Salaam aja udah bikin merinding. Macam lokasi film-film Hollywood tentang perang atau secret agent. Di pemberitaan pun kesannya negatif. Dari hasil riset online saya, Dar es Salaam memang termasuk tinggi tingkat kriminalitasnya. 43% rumah di Dar es Salaam pernah dirampok dan 32% penduduknya pernah dijambret/ditodong/dicopet. Ih, serem nggak sih?

Untunglah saya punya teman orang Indonesia yang tinggal di Dar es Salaam dan diperbolehkan menginap di rumahnya. Suaminya orang AS yang kerja di sebuah badan dunia dan mereka memiliki 2 anak kecil. Maka teman saya pun mengirimkan taksi langganan kantor suaminya untuk menjemput saya di Julius Nyerere International Airport pada jam kedatangan saya pukul 23.00.

Rumah mereka terletak di Oyster Bay, area expat yang sekelilingnya adalah rumah kediaman para Duta Besar negara-negara maju. Halamannya yang rimbun dengan pepohonan ini luas, mungkin sekitar 2000an meter persegi. Rumahnya yang bertingkat dua berbentuk persegi panjang dan berumur puluhan tahun. Ada kolam renang kecil di halaman belakang. Yang mencengangkan, seluruh pagarnya diliputi kawat listrik tegangan tinggi! Ada pula Askari (security) di pos depan rumah yang menjaga 24 jam. “Namanya juga di Afrika. Ya harus begini!” kata teman saya.

Rumahnya dekat dengan Coco Beach, pantai umum berpasir putih yang lumayan bagus. Namun mereka sendiri tidak berani ke sana karena pasti ditodong atau dijambret, tidak hanya ke orang asing tapi juga ke orang lokal. Jalan kaki sendirian di Dar es Salaam pada siang hari bolong tidak disarankan, apalagi malam hari. Saya pun diceritakan kejadian-kejadian penodongan dan penjambretan yang pernah terjadi. Saya ya manut aja.

Anak-anak expat tentu bersekolah di sekolah internasional. Banyak dari mereka yang mixed race. Maklum, keluarga expat di sana pasti sudah pernah ditempatkan di berbagai belahan dunia dan kawin-mawin dengan penduduk lokalnya atau sesama expat dari negara lain. Anak-anak itu ada yang lahir di Rwanda, Nairobi, Johannesburg, dan kota-kota lainnya yang terdengar “eksotis”.

Basically, Dar es Salaam nggak ada apa-apanya. Turis pun ke sana hanya untuk transit. Untuk cari hiburan jadi sulit. Restoran standar bule hanya ada 5 buah di seluruh kota. That’s it. Jadi hubungan antar expat sangat erat dan eksklusif. Secara reguler mereka berkegiatan bareng, umumnya para istri yang bikin acara charity ini-itu. Lucunya, kecuali teman saya itu, nggak ada satupun orang Indonesia yang gabung ke geng mereka. Mungkin orang KBRI nggak gaul sama bule, atau emang nggak ada expat orang Indonesia di sana.

Kalau anak-anak mau santai-santai di dalam kota, mereka ke Dar Yacht Club. Klub khusus expat dengan sistem membership ini memang jamak ada di mana pun di negara berkembang. Area klub termasuk pantai yang tertutup dan dijaga Askari. Di dalamnya juga ada kolam renang dan restoran. Aktivitas para anggota berkutat di pantai; berenang, berjemur, paddle boarding, dan berlayar. Sesekali mereka mengundang band luar negeri untuk mengadakan pesta atau bikin kursus ini-itu.

Sendirian di pantai Dar Yacht Club

Sendirian di pantai Dar Yacht Club

Hiburan lain untuk para expat adalah bikin pesta di rumah orang secara bergilir setiap Jumat malam. Saya pernah ikut juga. Ada sekitar 15 keluarga yang datang. Keluarga? Ya. Suami-istri-anak. Host-nya menyediakan makanan dan minuman bagi para tamu. Jadi semacam arisan bergilir. Rumah para expat memang luar biasa besar dan mewahnya, semuanya pun berpagar listrik tegangan tinggi dan dijaga Askari. Para asisten rumah tangganya semua orang lokal yang sudah dilatih memasak makanan western.

Anak-anak pun tak ketinggalan dibuat hiburan sendiri. Salah satunya adalah pementasan Kid Rock yang diadakan selama sebulan setiap weekend di bulan Mei. Seratusan anak tampil di panggung, ditonton oleh seratusan anak lain dan orangtuanya.

Suatu weekend, keluarga teman saya ini ada acara nginep bareng para expat di South Beach. Saya yang malas gaul dengan anak-anak memilih untuk tinggal sendiri di rumahnya. Sebelum mereka berangkat, saya pun di-traning singkat tentang sistem keamanan rumahnya. Pertama, kunci pintu. Rumahnya harus selalu dikunci dobel-dobel. Kuncinya pun disembunyikan di tempat tertentu. Pintu utama rumah terdiri dari dua pintu besi yang harus dikunci plus digembok. Naik ke lantai dua, ada dua pintu besi lagi yang harus dikunci, plus gembok rantai. Kamar anak-anaknya yang saya tebengi memiliki balkon pun ada dua pintu besi yang harus dikunci. Pokoknya ribet dah!

“Lah, kalau ada kebakaran, gue gimana keluarnya dong?” tanya saya ke suaminya setelah sadar betapa banyak pintu yang harus saya kunci. Saya pun diajak masuk ke kamarnya. Ada sebuah tombol emergency yang harus ditekan. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu pencet tombol ini. Dalam lima menit, pasukan security dan pemadam kebakaran akan datang ke rumah untuk menyelamatkan kita,” terangnya. WOW! Berasa kayak di rumah James Bond! “Dalam lima menit, kamu harus keluar ke balkon kamarmu dan tunggu di sana. Don’t worry. You’ll be fine!”

Siaaap!

Dan dua hari itu saya punya waktu untuk jalan-jalan keliling kota Dar es Salaam dengan diantar taksi langganan. Saya pun ke Museum Nasional Tanzania, ke Wonder Workshop, ke pasar lukisan Tinga-Tinga, bahkan ke Coco Beach dan dugem di Maisha Club – yang mereka pun belum pernah sambangi! Yah begitulah, kadang perjalanan kita tergantung dengan siapa kita pergi atau tinggal.

Jadi mikir, apakah expat di Indonesia segitu ketat penjagaan keamanannya ya?

[Adv] Amazing stay in Bali’s luxury villas

$
0
0

Alda, cewek Filipino teman sekelas dan sekamar saya waktu sekolah S2 di Manila (ada di buku #TNT3), sedang patah hati. Kangen juga sama dia karena terakhir kami bertemu empat tahun yang lalu di Vietnam. Kali ini saya ingin menghiburnya dengan mengundangnya berlibur ke Bali. “All you have to do is buy the return tickets from Davao to Bali and I will arrange the rest,” begitu pesan saya kepadanya yang supersibuk sama kerjaan kantornya.

Awal Juli 2015, kami janjian mendarat pada waktu yang sama di Bandara Ngurah Rai. Tanpa tahu apa-apa, ia langsung saya ajak menginap di sebuah villa yang hanya berjarak 15 menit dari bandara via tol Mandara. Berbeda dengan kamar hotel, villa ini bentuknya seperti rumah dengan halaman sendiri. Saya tahu Alda belum pernah menginap di villa, jadi saya mau kasih kejutan.

Memasuki halaman Tjendana Villas Nusa Dua di Mumbul Hill dan masuk ke villa kami yang bertipe One Bedroom Pool Villa, Alda membelalakkan mata karena kaget. “Surprise!” kata saya. Gimana dia nggak kaget, villa kami luas, bertingkat dua, ada ruang makan, dapur, dan ada kolam renang pribadi! Interior kamarnya modern dengan aksen warna hijau, satu sisi dinding semua berupa kaca, kamar mandi dengan bathtub-nya terbuka menghadap kolam, dan dapur pun lengkap dengan peralatannya. Tanpa ba-bi-bu, kami langsung ganti baju renang dan nyebur ke kolam pribadi!

Tjendana Villas' dining room

Tjendana Villas’ dining room

Tempat paling oke untuk nongkrong malam-malam adalah di rooftop-nya. Bentuknya kotak yang dikarengkeng besi sehingga kanan-kiri-atas terbuka. Di tengahnya dikasih day bed, semacam sofa yang besar tanpa sandaran jadi lebih mirip tempat tidur ukuran kecil sehingga cocok untuk leyeh-leyeh. Setiap malam kami ngegosip di atas atap sambil memandang kerlap-kerlip Teluk Benoa, jutaan bintang dan bulan yang pas lagi purnama, bahkan planet Jupiter dan Venus.

Rooftop at Tjendana Villas Nusa Dua

Rooftop at Tjendana Villas Nusa Dua

Untungnya lagi, Tjendana Villas Nusa Dua memiliki Bayleaf Restaurant & Lounge. Interiornya yang chic dan tempatnya yang menghadap teluk bikin betah berlama-lama. Setiap sarapan, kami ke sini. Bisa juga berenang di kolam renang infinity-nya yang cakep banget. Katanya restoran ini suka dijadikan venue untuk pesta pernikahan. Uhuk! Setiap malam pun kami tak melewatkan makan di sini saking kerennya pemandangan dan nikmatnya makanannya.  Sempat juga ikutan pesta barbecue dengan hiburan berupa fire dance.

Selain mengunjungi pura-pura dan menonton tari-tarian, ke Bali wajib hukumnya untuk berenang di pantai. Sayangnya sekarang di Bali susah cari pantai ideal ala saya – yang bagus, sepi, tidak berkarang, dan tidak berombak besar. Sialnya pantai favorit saya sudah ditutup oleh hotel bintang lima. Ada pantai yang sepi dan bagus, tapi jalannya setengah mati kudu turun-naik ratusan tangga. Jadilah jam 10 pagi saya mengajaknya ke Surf & Turf Nusa Dua, tepatnya di BTDC. Banyak yang belum tau bahwa pantai di sana termasuk bagus, sepi, dan akses yang mudah.

Surf & Turf Nusa Dua ini merupakan beach club yang baru beroperasi dua bulan dan punya surf rider pertama dan satu-satunya di Bali – itu lho, ombak buatan untuk berselancar! Saya tahu banget Alda suka aktivitas beradrenalin, maka sekali ke tempat itu, kami bisa berenang di pantai, di kolam renang, meluncur di slides-nya yang ekstrim, main kano di laut, dan berselancar di surf rider. Enaknya lagi, sudah tersedia handuk, kamar mandi dan amenities-nya, day bed untuk leyeh-leyeh, dan restoran. Seharian kami turun-naik berbagai perosotan, bolak-balik berselancar, dan pindah-pindah berenang. Makan siangnya di restoran pun enak dengan porsi besar. Alda yang pertama kali makan sup buntut berkali-kali bilang, “Napaka masarap!” (artinya: enak banget!).

Surf & Turf Nusa Dua

Surf & Turf Nusa Dua

Hari Sabtu saya sengaja pindah ke daerah Seminyak, supaya lebih gampang untuk akses gaul dan shopping bagi Alda. Kami pun menginap di The Club Villas di Jalan Kayu Aya. Saya sering ke daerah Seminyak karena banyak restoran enak, tapi baru kali ini saya ngeh bahwa ada gang kecil dekat toko NicoNico yang di dalamnya terdapat kompleks 34 unit villa mewah! Hebatnya, meski dekat dengan jalan utama Seminyak yang ramai, kompleks The Club Villas ini benar-benar secluded, nggak berisik, banyak pepohonan rimbun, bahkan masih terdengar kicauan burung-burung liar!

The Club Villas' private pool

The Club Villas’ private pool

Kali ini saya dan Alda yang kaget. Villa kami yang bertipe One Bedroom Honeymoon Pool Villa luasnya 165 meter persegi! Abis itu kami tertawa ngakak karena di tempat tidur disebar bunga-bunga mawar sampai ke kamar mandi. Namanya juga honeymoon villa, sayangnya nggak sama suami. #curcol. Arsitektur dan interiornya bergaya tradisional Bali dengan unsur kayu. Ada pendopo untuk duduk-duduk, dapur, meja makan, ruang pakaian, kamar mandi yang superluas – yang terdiri dari shower outdoor, shower indoor, dan bathtub, halaman dan sun lounge, serta kolam renang pribadi berukuran 40 meter persegi yang dalamnya sampai 1,60 meter! Apakah yang kami lakukan pertama kali? Tentu nyebur di kolam renang! Setalah itu saya membiarkan Alda jalan-jalan sendiri di Seminyak karena saya memilih untuk tidur di tempat tidurnya yang supernyaman dan berendam di bathtub-nya yang keren. What an amazing stay in Bali’s luxury villas!

Bathroom in The Club Villas

Bathroom in The Club Villas

Pantai-pantai di Lampung bagus, tapi…

$
0
0

Pada akhir Juni 2015 sahabat saya, Pepita, ujug-ujug mengajak saya berlibur ke Lampung bersama kedua anaknya; Cia dan Cio. Semua sudah di-arrange jadi saya tinggal bawa baju aja, begitu promosinya. Kami akan menginap di sebuah resort di tepi pantai Kalianda. Mendengar kata “pantai”, saya langsung oke! Apalagi pas awal bulan puasa, jadi bakal sepi.

Dari bandara Radin Inten II naik mobil sewaan memakan waktu 2 jam. Memasuki kota Kalianda kami nyasar-nyasar karena peta di situs hotel sangat disederhanakan dan Google Maps pun tidak mampu memberikan petunjuk saking mblusuknya. Herannya, hanya berjarak 5 menit dari kantor Bupati (yang muka bupatinya selalu ada di setiap billboard apapun) jalannya rusak parah. 20 menit teruncal-uncal kemudian kami tiba di hotel.

Dan… saya kaget karena hotel dan kompleksnya jauh berbeda dengan foto yang ada di situsnya! Bangunannya tampak tua dan kusam, pasir pantainya sudah tidak putih lagi. Ketika sampai di bibir pantainya di depan hotel, saya kaget lagi. Pantainya banyak sampah dan ombaknya besar banget – bahkan ada plang bertuliskan “Kawasan Dilarang Mandi ”. Waduh, gimana mau berenang? “Oh situs itu dibikin tahun 2005, terus password-nya hilang, jadi nggak bisa di-update,” kata manager hotel. Kabar gembiranya, kami adalah satu-satunya tamu yang menginap di hotel. Kedua, sunset-nya keren!

Sunset depan hotel

Sunset depan hotel

Besoknya Pepita sekeluarga berwisata ke Way Kambas, tapi saya memilih untuk berenang di pantai. Saya bertanya ke resepsionis di mana berenang yang aman. Mereka mengatakan bahwa saya harus berjalan ke pantai paling kanan dekat batu-batu. Saya pun ke sana, tapi berenangnya hanya bisa kecibak-kecibuk doang karena airnya dangkal dan banyak batu. Selanjutnya saya berjemur matahari beralas sarung Bali sambil baca buku… sampai ketika saya sadar bahwa ada seorang pria sedang merokok duduk di atas batu ngeliatin saya! Duh, males banget kan? Saya berpindah posisi dan ngumpet di balik batu lain, eh dia masih di situ. That’s it. Saya pun balik ke kamar.

Pas jam makan siang saya ke resepsion untuk memesan makanan, eh restoran tutup. Saya mau titip beliin makanan, katanya warung sekitar juga tutup karena bulan puasa. Untungnya Pak Manager hotel berbaik hati mengantarkan saya naik mobilnya cari makan. Setelah keliling-keliling Kota Kalianda, tak satupun tempat makan yang buka! Si Bapak kemudian mengarahkan mobilnya ke Jalan Trans Sumatra ke arah Bakauheni. Sepanjang jalan memang banyak restoran Padang, tapi kata si Bapak males bareng supir-supir truk. 20 menit kemudian, kami sampai di sebuah restoran Padang ber-AC yang parkirannya berisi mobil-mobil pribadi. Waktu menunjukkan pukul 14.00, saya pun kalap menghabiskan 3 piring nasi plus lauk pauk yang berjibun.

Hari berikutnya agenda kami adalah island hopping seharian. Pepita sudah membayar trip ini sebesar Rp 1,7 juta termasuk sewa mobil dan kapal. Gila mahalnya! Tapi ya sudahlah, sudah dibayar ini. Kami naik mobil sejam menuju Pantai Pasir Putih, tempat kapal bersandar. Begitu kapalnya datang, lagi-lagi saya kaget. Kapalnya kecil banget dan hanya memiliki mesin tempel 25 PK! Buset, ini sih harganya digetok! Saking imutnya kapal ini, ke Pulau Pahawang aja memakan waktu 1,5 jam!

Untungnya Pulau Pahawang bagus. Pasirnya putih meski ada sampah plastik juga, tapi airnya tenang. Kami pun berenang sampai jam makan siang. Saya mengusulkan kepada tukang kapal untuk cari makan di pulau lain sekalian berenang lagi. Eh si bapak bilang, “Oh, perjanjiannya kami cuma mengantar ke Pahawang saja. Kalau mau ke pulau-pulau lain tambah Rp 400.000,-!” Hah? “Soalnya muter itu. Jauh lagi!” Hah? Padahal tadi pulau-pulau itu juga kita lewatin! Minta diskon nggak dikasih, saya tidak punya pilihan. Itung-itung membantu perekonomian lokal, ya sudah lah.

Pulau kedua adalah Kelagian Lunik yang ada satu warung jualan mi instan cup dan kopi instan. Abis makan, kami berenang lagi. Pulau ini cakep banget! Dikelilingi pulau-pulau lain yang berbukit dengan air tenang bergradasi biru. Pasirnya pun jauh lebih bersih. Ketika kapal kami pergi, saya ditagih karcis tanda masuk sebesar Rp 25.000,- Saya membayar dengan berpesan agar pulau ini dijaga kebersihannya.

Kelagian Lunik Island

Kelagian Lunik Island

Pulau ketiga adalah ke sebuah pulau gosong atau sandbar yang saya lihat dari hasil browsing. Kata tukang kapal ada di Pulau Pasir Timbul. Begitu mendekat, mata saya terbelalak. Pulau yang cuma seuprit tersebut sudah ada bangunan permanen berupa penginapan dan tambak ikan! Lha, mana keren kalo difoto bocor begitu? Rupanya ada sandbar yang jauh lebih kecil yang harus berjalanan dari dermaga melalui jembatan kayu. Anjir, betul-betul merusak pemandangan! Meskipun demikian, kami menikmati juga berenang dan foto-foto di sandbar selama 10 menit, sampai datang rombongan turis lokal 2 kapal yang langsung bikin penuh. Pulangnya saya ditagih lagi Rp 10.000,-/orang. Saya tanya ke mas-masnya, “Karcisnya mana?” Jawabnya santai, “Nggak ada.” Hmm, baiklah.

Di ujung jembatan ini ada sandbar sih

Di ujung jembatan ini ada sandbar sih

Saat perjalanan pulang, ombak meninggi. Kami semua basah kuyup diterjang air laut! Mendarat di Pantai Pasir Putih, air surut jauh sehingga kami harus berjalan kaki di atas pasir bersampah. Eww!

Merasa “dirampok”, besoknya kami leyeh-leyeh aja di pantai hotel, tepatnya di “pantai kanan berbatu”. Ternyata di balik bukit sebelah kanannya batu-batuan tersebut, ada pantai lain yang airnya jauh lebih tenang dan tidak berbatu. Karena sengaja dibendung, pantai ini seperti kolam renang alami yang airnya masuk dari terjangan ombak. Meski pasirnya bersampah super banyak, namun tak mengurungkan niat kami untuk berenang sepuasnya. Saya salut sama Cia dan Cio yang tidak rewel berenang di kondisi apapun.

Intinya saya hepi kok liburan di pantai-pantai Lampung. Lumayan dekat dari Jakarta, tapi bisa dapat pantai-pantai cakep. Saya cuman berharap aja dikelola dengan baik, terutama sampah-sampahnya.

Sedih :(

Sedih :(


Nggak Sengaja ke Kenya

$
0
0

Judulnya sombong banget ya? Padahal saya beneran nggak sengaja bisa menginjak negara Kenya di Afrika Timur itu!

Ceritanya begini. Saya lagi asyik bersafari di utara Tanzania pada penghujung trip. Rencananya saya akan pulang ke Indonesia dengan terbang dari Kilimanjaro ke Seychelles, via Nairobi pada 12 Mei 2015 jam 06.00 pagi. Lalu dilanjut malam harinya terbang ke Jakarta via Dubai. Memang rutenya muter-muter. Maklum, tiket saya dibayarin Jakarta-Seychelles-Jakarta sehingga kalau extend, saya tetap harus kembali ke Seychelles.

Tau-tau saya dapat email dari maskapai penerbangannya kalau pesawat Kilimanjaro-Nairobi dibatalkan! Penerbangan diganti ke tanggal 13 Mei. Lah, nggak nyambung sama pesawat ke Jakarta! Saya pun protes, bilang bahwa tanggal 12 Mei saya harus terbang pulang. Tambah senewen lagi ketika internet sangat terbatas, secara lagi safari di tengah hutan. Alhasil saya minta di-share hotspot dari hapenya guide untuk email-emailan.

Akhirnya maskapai memberikan alternatif solusi, yaitu saya akan terbang Kilimanjaro-Seychelles sehari sebelum jadwal yaitu pada 11 Mei jam 18.20, menginap di Nairobi, baru besoknya 12 Mei jam 11.30 terbang ke Seychelles. Merasa di atas angin – ya iyalah, karena ini bukan salah saya – tentu saya minta ditanggung penginapan, makan, dan transfer bandara-hotel-bandara. Si Manager pun menyetujuinya. Hanya saya harus bayar visa Kenya sebesar USD 20. Untung pemegang paspor Indonesia bisa masuk ke Kenya dengan visa on arrival!

Saya okein aja pulang lebih awal. Alasannya, pertama, setelah empat hari kemping di hutan, saya pengin mandi di shower yang airnya keras dan panas. Kedua, saya belum pernah ke Kenya. Kapan lagi bukan? Saya pun browsing apa yang bisa dilakukan di Kota Nairobi pada malam hari. Katanya Nairobi oke banget night life-nya. Saya pun tambah semangat. Lumayan bisa dugem sambil ngecengin cowok berkulit hitam, pikir saya.

Jam 9 pagi kami terpaksa harus berangkat dari Serengeti National Park menuju Kota Kilimanjaro. Katanya perjalanan akan memakan waktu 5 jam. Ah, aman. Namun di sepanjang jalan, tau-tau aja ketemu 10 ekor singa yang lagi gelantungan di pohon, jalan lagi eh ada 2 ekor singa lagi jalan-jalan di savana, jalan lagi eh ada 2 ekor singa lagi bobo di pinggir jalan! Belum lagi ketemu sekelompok jerapah lagi nyebrang, ribuan wildebeest, ratusan gazelle.. aaahh! Saya sampai diteriaki guide safari saya dari The Story of Africa, “Stop it, or you will miss your flight!”

Mobil safari pun ngebut. Saya baru sadar ini jam-jam terakhir di Tanzania dan belum membeli apa-apa untuk kenang-kenangan ke diri sendiri. Saat kami makan siang di restoran, saya lari ke toko membeli kain khas suku Maasai. Penerbangan jam 18.20, tapi jam 17.00 kami baru memasuki Dar es Salaam, sementara bandaranya ada di Kilimanjaro yang sekitar sejam lagi dengan jalan macet begini. Duh, saya mulai sakit perut membayangkan kalau saya ketinggalan pesawat! Tau gitu mending nambah sehari deh daripada kejar-kejaran nggak karuan.

Sampai di bandara Kilimanjaro, saya langsung check in dan tau-tau udah disuruh naik pesawat. Lah, sekarang baru jam 17.45. Saya berlari naik tangga dan pesawat pun langsung terbang. Rupanya mereka nungguin saya doang karena jam terbangnya dipercepat. Di atas udara, pesawat kecil baling-baling ini mengalami turbulence sampe tergoncang-goncang dahsyat! Ya Tuhan, jangan sampe saya mati sia-sia gara-gara bela-belain sehari doang di Kenya.

Untunglah kami selamat mendarat di Nairobi. Sesuai petunjuk, saya ke imigrasi, bayar visa transit, lalu ke bagian Hotel Service. Saya kasih paspor saya, eh si mbak petugas malah marah, “Where is your boarding pass Nairobi-Seychelles?” Lah, meneketehe? Saya kan cuma dikasih Kilimanjaro-Nairobi! Lama kami berdebat karena saya dituduh sengaja pengin jalan-jalan, bukannya terpaksa transit. Akhirnya setelah beberapa telepon ke bos-bosnya, saya pun diberikan boarding pass baru, voucher hotel dan transportasi.

Saya disediakan transportasi gratis yang parkir di luar bandara. Rupanya berupa bus yang segede PPD. Tapi kenapa saya cuma sendiri? Saya disuruh tunggu sebentar karena busnya ngetem. Alhasil 45 menit kemudian saya malah dinaikkan ke mobil sedan menuju hotel. Saya tanya ke supirnya berapa waktu tempuh bandara ke hotel. Jawabnya, “If there’s no traffic, it’s only 15 minutes.” Yes, aman! Masih bisa dugem! Sepanjang jalan saya kagum, kota Nairobi ini maju dan rapi.

Dan… hujan deras pun turun! Deras sederas-derasnya sampai macet total dan mobil tidak bergerak! Ternyata masalahnya sama aja kayak di Jakarta. Karena hujan, jalan banjir. Mobil saling susul, melawan arah, nekat menerabas lampu merah, nggak ada yang mau ngalah, terjadi bottle neck, dan seterusnya. Bedanya, pas di sana nggak ada polisi atau Pak Ogah yang mengurai. Orang hanya buka kaca mobil dan saling meneriaki satu sama lain. Hadeuh!

Total 2,5 jam baru saya sampai di hotel, atau sudah jam 22.30! Saya buru-buru check in, naro tas di kamar, dan lari ke restoran karena takut tutup. Secara ogah rugi, saya pilih makanan yang termahal berupa steak. Bodo amat deh. Kesel!

Sampai kamar… badan saya sudah remuk! Jauh-jauh ke Kenya cuman dipake tidur. Foto-foto aja nggak sempat. Begitulah cerita tentang negara ke-68 yang saya kunjungi.

[Adv] Pentingnya memiliki asuransi perjalanan

$
0
0

Hayo ngaku, Anda punya nggak asuransi perjalanan (travel insurance)? Sebagian akan menjawab “pernah punya” tapi punyanya karena syarat bikin visa ke luar negeri. Kalo nggak disyaratin, nggak punya kan? Sama, saya dulu juga gitu.

Dulu masih muda emang cuek dan nggak mikir panjang. Semakin tua jadi semakin gendut bijak. Dengan frekuensi traveling saya yang tinggi, kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan semakin tinggi. Gimana kalo paspor dicuri, bagasi hilang, penerbangan dibatalkan, dsb? Hiyyy… amit-amit! Tapi yang lebih parah lagi, gimana kalo lagi traveling di luar negeri saya masuk Rumah Sakit, kecelakaan, bahkan meninggal dunia? Siapa yang mau bayarin? Udah saya yatim piatu, masih jomblo pula. Males kan kalo ngerepotin orang?

Saya sendiri sudah punya asuransi yang mencakup Indonesia, sehingga saya perlu memiliki asuransi perjalanan yang berlaku di manapun di luar negeri. Dengan memiliki asuransi perjalanan, kita telah meminimalisasi salah satu kekhawatiran – terutama kekhawatiran “gimana kalo kenapa-kenapa, tapi duit abis?”Apalagi biaya hidup di sebagian besar negara jauh lebih mahal daripada di Indonesia.

Setelah browsing sana-sini, pilihan saya adalah AXA Mandiri Travel Insurance. Kenapa? Karena belinya gampang. Nggak usah buang waktu dan energi pergi ke kantor asuransi, tapi tinggal beli online doang di sini. Setelah bayar, dokumen langsung jadi dan tinggal di-print. Daripada repot, saya ambil asuransi perjalanan dalam jangka waktu satu tahun penuh (annual trip) ke seluruh negara di dunia, termasuk Schengen (negara-negara di Eropa). Harganya pun terjangkau, hanya USD 135 untuk asuransi perjalanan kategori Platinum! FYI, asuransi ini juga bisa diajukan untuk apply visa.

Keuntungannya bisa dibaca di sini, namun saya sarikan antara lain;

  1. Uang santunan akan dibayar untuk kematian, kehilangan salah satu anggota badan, salah satu atau kedua mata, atau kelumpuhan total akibat kecelakaan yang terjadi selama perjalanan sebesar USD 100.000. Kalau terjadi kecelakaan diri pada saat berada di dalam pesawat terbang komersil terjadwal dapat USD 200.000.
  2. Penggantian biaya pengobatan, perawatan gigi karena dalam keadaan darurat, biaya rumah sakit, biaya operasi, termasuk pengobatan tradisional yang dialami/terjadi selama dalam perjalanan sampai sebesar USD 100.000. Bahkan ditanggung biaya pengobatan terusannya di Indonesia sampai USD 1.250.
  3. Jika harus tinggal di Rumah Sakit luar negeri lebih dari 24 jam, akan memperoleh tunjangan harian berupa uang tunai maksimum USD 25/hari yang bebas digunakan untuk apa saja.
  4. Biaya untuk penguburan atau kremasi di luar negeri ditempat kematian terjadi atau biaya untuk mengangkut jenasah kembali ke Indonesia = USD 7.500.
  5. Bila satu orang keluarga atau teman yang diperlukan untuk tinggal bersama atau melakukan perjalanan bersama Anda selama dirawat di rumah sakit di luar negeri, atau untuk menemani anak Anda kembali ke Indonesia karena Anda harus dirawat di rumah sakit di luar negeri = USD 3.000.
  6. Penggantian uang bila terjadi ketidaknyamanan perjalanan seperti kehilangan paspor USD 300, bagasi telat USD 500, pesawat/KA/kapal delay USD 500, bahkan kalau rumah kebakaran karena ditinggal pergi dapat diganti sampai USD 5.000.

Anda juga bisa memilih asuransi AXA Mandiri Travel Insurance berdasarkan jumlah hari dan negara tujuan. Klik short trip, masukin tanggal pergi dan pulang, pilih cakupan negara (Worldwide including Schengen, Worldwide excluding Schengen, atau ASEAN plus), maka situs akan otomatis memberikan harga. Anda juga bisa beli paket Family (1-2 orang tua + 1-4 anak) dengan harga lebih murah daripada beli satuan yang Individual.

Bagaimana dengan pengalaman saya dalam klaim asuransi AXA Mandiri? Tuhan Maha Baik, selama trip saya baik-baik saja. Tapi ingat cerita “Nggak Sengaja ke Kenya”? Karena penerbangan dimajukan sehari, hotel yang sudah saya pesan seharga USD 50 jadi hangus. Karena terpaksa harus ke Kenya, saya wajib bayar visa USD 20. Total kerugian USD 70 bisa kembali dengan mengajukan dokumen berupa tanda terima pembayaran dan email dari maskapai penerbangan. Memang sih dipotong atas resiko sendiri sebesar USD 25, tapi bisa dapat USD 45 kan lumayan daripada kesel. Duit langsung ditransfer ke rekening saya dalam bentuk rupiah dalam waktu seminggu. Gampang dan menyenangkan kan?

Sebagai traveler yang bertanggung jawab, punya asuransi perjalanan emang penting banget!

Gaya Turis Domestik di Bali

$
0
0

Bali memang membebaskan. Bagi orang Indonesia, pergi ke Bali berarti akan mendapat kebebasan, terutama dalam hal berpakaian. Dari hasil survei kecil-kecilan di Twitter @TrinityTraveler ternyata pada ngaku bahwa memang ada baju yang cuma berani dipakai di Bali. Kenapa cuma di Bali? Karena cuma di Bali lah bebas pakai bikini, hot pants, tank tops/singlet, dan segala macam model baju terbuka tanpa dipandang aneh.

Karena sering ke Bali, saya jadi memperhatikan gaya turis domestik. Saya ingin membuktikan hipotesis bahwa gaya mereka memang dibuat khusus untuk “edisi Bali”. Saya tekankan lagi bahwa pengamatan ini sangat subyektif dan sama sekali bukan berdasarkan sirik. Tidak ada yang bilang benar atau salah kok. Kalau nggak merasa, ya santai aja. Kalau tersinggung, berarti bener kan Anda bergaya seperti di bawah ini?

  1. Pakai baju dengan bahan uncomfortable.

Tau kan kalau di Bali itu panas dengan tingkat kelembapan tinggi? Nah, mereka ini sepertinya punya baju liburan khusus yang (hanya) bagus untuk difoto. Bahannya bukan katun ringan yang menyerap keringat, tapi campuran bahan polyester, spandex, bahkan ada yang pake bahan rajut, satin, sutra, brokat, atau kain yang bunyinya aja kresek-kresek.

  1. Yang make terlihat uncomfortable.

Karena pake baju “khusus di Bali aja” alias bukan dalam keadaan biasa, mereka terlihat uncomfortable. Selain baju serba terbuka seperti tank top berdada rendah dan hot pants yang dalaman sakunya keluar, ada juga yang pake baju bermodel ajaib. Contohnya, baju longgar transparan berbahan mirip selendang, baju yang punggungnya bolong, baju berpayet, dan lain-lain. Umumnya sih cewek-cewek suka pake dress panjang bermotif ramai dengan atasan model kemben. Kaum berjilbab pun tak kalah, ada yang pake summer dress dengan dalaman kaos berlengan panjang turtle neck dan legging berbahan mengkilap. Semua itu ditambah dengan aksesoris, terutama kalung.

Cewek lokal Bali sebenarnya kadang pake baju bermodel ajaib juga, cuman cewek yang bukan orang lokal keliatan banget gayanya dari kejauhan. I can spot them from a mile away! Mereka seperti pake kostum sehingga tampak uncomfortable. Seperti anak SD pake baju tradisional pada Hari Kartini – tampak excited, tapi unnatural.

  1. Pake baju kembaran.

Turis domestik cirinya adalah pergi bergerombolan. Nah, liburan segrup keluarga, sesekolahan, sekantoran, atau segeng temen ketauan dari bajunya. Ada yang niat bikin kaos atau jaket bertuliskan “Keluarga Besar Anu” atau “Outing PT Gila” atau “SMA 1000”. Namanya acara resmi ya sudah lah ya. Nah kalau segeng temen ini yang lucu. Biasanya ada 4-5 cewek seumuran pakai baju yang ada dress code-nya, seperti model sama warna lain atau warna sama model lain. Contoh tank top warna-warni atau blus putih dan celana pendek jeans. Fotonya lagi mimi-mimi di beach club.

  1. Alas kaki yang juga uncomfortable.

Meski sendal, tapi cewek seringnya pake sendal dengan alas berbahan kulit dengan aksesoris manik-manik, kembang, atau tali-tali ala gladiator. Kalaupun sendal jepit karet, itu pun yang beraksesoris. Atau pake sendal berhak. Malah siang-siang ada juga yang pake sepatu berhak tinggi, termasuk wedges.

  1. Full make-up

Ini nggak usah dijelaskan lagi ya? Biasanya sih cewek kota besar di Jawa yang kayak begini. Entah maksudnya supaya kece difoto (karena ke Bali aktivitasnya foto-foto), atau emang nggak pede. Dan menjelang sore, make up mereka meleleh sehingga bedaknya udah blang bentong. Setelah itu, keluar lah kertas minyak. Hehehe!

  1. Bawa tas.

Biasanya cewek doyan bawa handbag besar branded (entah asli atau KW) yang dijinjing di lipatan siku, kadang bertali logam – persis kayak ke kantor atau ke mal. Apa nggak sayang tuh basah? Eh, ke pantai Bali nggak basah-basahan sih. Kalau bapak-bapak, banyak yang doyannya pake tas pinggang. Kalau segeng, plus tas kresek belanjaan.

  1. Pakai kaca mata hitam.

Namanya juga di pantai kan silau, jadi kaca mata hitam itu wajib. Cewek-cewek banyak pake kaca mata item lebar yang lebih mirip “kaca muka” dengan frame beraksesoris. Herannya, kaca mata itu dipake di Bali doang, di Jakarta yang silau juga nggak pernah disentuh.

  1. Pakai topi.

Khusus untuk edisi Bali yang panas, maka keluar lah segala jenis topi. Mulai dari topi bisbol berlogo sponsor, topi ascot, topi panama, topi fedora, topi berbunga, topi anyaman, sampai topi superlebar ala emak-emak main golf. Taruhan, di kota asalnya yang juga panas nggak pernah dipake.

  1. Bawa sarung Bali.

Kalau cuman untuk alas tidur di pantai ya wajar yah, ini sih dipake di badan ke mana-mana. Jadi karena mereka pake baju terbuka – padahal biasanya nggak – jadilah siang krukupan karena takut item dan malem krukupan karena takut dingin.

  1. Pakai jaket.

Umumnya sih bapak-bapak yang doyan pake jaket, terutama para pejabat pemerintah (yang berwarna hitam, sering berbahan kulit). Ada juga sih cewek yang pake jaket di pantai. Biasanya karena nggak pede atau takut hitam, eh pas foto-foto ternyata dalamnya baju yukensi. Nggak percaya? Lihat deh di Pantai Kuta! Dan pada akhirnya, di pesawat menuju ke rumah masing-masing… baju cewek yang modelnya terbuka itu ditutup jaket karena nggak kuat dinginnya AC pesawat!

Kuta Beach on sunset

Kuta Beach on sunset

  1. Sibuk dengan gadget.

Ini sih kebiasaan yang nggak bisa dihilangin meski lagi liburan di Bali. Zaman sekarang emang nggak bisa lepas dari smartphone. Bukan cuma untuk foto-foto, tapi di mana-mana pun sibuk ketak-ketik. Gadget liburan bertambah dengan kamera yang dicangklong di leher, kamera action HD kecil, plus tongsis. Kalau ada sejumlah orang yang heboh foto-foto melulu dengan menggunakan barang-barang tersebut, dipastikan mereka adalah turis domestik.

Nah, Anda gayanya gimana di Bali? Kalau Anda menyatakan memakai 7 dari 11 point di atas, berarti Anda sah bergaya turis domestik di Bali! :) Atau ada yang mau nambahin? Silakan komen di bawah ini ya?

Catatan:
Oke, oke, pasti kalian nanya: emang saya pake baju apa kalau di Bali? Jawabannya: di Bali maupun tidak, asal di tempat tropis, baju saya ya sama aja – T-shirt polos, celana pendek katun, kaca mata hitam, dan sendal jepit karet. Smartphone saya bawa, tapi nggak sering dikeluarin kok di mana pun.

Kehabisan uang pas traveling?

$
0
0

Saya bingung kalau ditanya, “Gimana kalo kehabisan uang pas traveling?” Masalahnya, gimana saya mau membagikan pengalaman kalau saya sendiri tidak pernah mengalaminya? Bukannya karena saya tajir atau sombong, tapi saya memang nggak pernah kehabisan uang sampai harus pinjem duit, cari kerja serabutan, apalagi mengemis.

Saya sih percaya bahwa setiap orang (yang pintar) nggak mungkin kehabisan uang pas traveling. Caranya begini;

  1. Tahu batas

Saat merencanakan traveling, cuma Anda yang tahu berapa jumlah uang yang tersedia dan berapa jumlah maksimum yang akan dihabiskan untuk perjalanan tersebut. Kalau Anda pintar, tentu Anda tidak akan menghabiskan sesuatu yang melebihi kemampuan.

  1. Riset yang benar dan buat budget.

Selain soal destinasi (cara ke sana, naik apa, berapa lama, ada apa aja), komponen lain adalah akomodasi, transportasi, konsumsi, dan pengurusan visa (jika ada). Cara tau biayanya? Browsing dong! Dari situ buatlah budget per hari dikali lama tinggal. Jangan lupa tambahkan budget shopping dan dugem kalo doyan, tips, dan dana emergency minimal 10% dari total. Kalau pake patokan jumlah dana yang harus tersedia di rekening saat apply visa, berarti di rekening harus ada sejumlah uang yang cukup untuk tiket pulang.

  1. Stick with the budget

Setelah keluar angka budget, paling penting adalah pelaksanaannya. Jangan menghabiskan uang melebihi budget yang telah Anda sepakati. Contohnya jika budget makan 3 kali sehari adalah USD 15 dan Anda sudah menghabiskan USD 12 untuk 2 kali makan, maka cari lah makan malam yang seharga tidak lebih dari USD 3. Iya, harus segitu strict-nya kalau mau aman!

  1. Lupakan shopping dan oleh-oleh

Biasanya orang kehabisan uang pas traveling itu karena kebanyakan shopping. Apalagi pake alasan “lebih murah daripada di Indonesia”. Boleh aja sih shopping, asal Anda sudah mem-budget-kannya dan tetap stick dengan budget tersebut. Anda juga harus tega tidak membelikan oleh-oleh kalau memang duit mepet. Prinsipnya gini: kalau harga suatu barang nggak diskon maka Anda nggak akan beli, berarti barang tersebut tidak Anda butuhkan. #jleb

  1. Beli tiket pulang

Sebelum berangkat, beli lah tiket pulang juga. Itu dapat meminimalisasi ketakutan akan kehabisan uang sehingga nggak bisa pulang.

  1. Punya asuransi perjalanan

Banyak orang mengabaikan asuransi, terutama saat traveling. Padahal selalu ada kemungkinan tiba-tiba kita kecelakaan atau sakit parah, dan kita tidak punya uang saat masuk rumah sakit. Asuransi tertentu ada yang bisa meng-cover hal seperti ini dengan memberikan advanced payment atau kartu khusus yang tinggal digesek. Cermatilah pasal travel insurance sebelum membeli, ada yang hanya meng-cover perjalanan luar negeri atau dalam negeri saja.

  1. Punya kartu kredit

Sebagai traveler, fungsi kartu kredit yang utama adalah untuk booking online. Bagi saya, kartu kredit adalah uang emergency yang dipakai hanya kalau kepepet dengan minimal batas pagunya seharga tiket pulang.

  1. Bawa barang yang kira-kira bisa dijual

Kalau masih khawatir juga, bawa barang yang kira-kira bisa dijual kalo kepepet. Baju yang kita pakai dalam keadaan masih layak, bisa dijual di pasar loak. Jam tangan dan perhiasan adalah sebagian dari barang yang bisa dijual. Tapi kalau bawa yang asli takut dicopet, bawa aja yang palsu. Harap diingat, ada negara yang perlindungan hukum terhadap hak cipta sangat ketat jadi hati-hati aja.

  1. Punya keahlian khusus yang bisa dapat uang instan tanpa modal

Waktu itu saya bukannya dalam keadaan kehabisan uang, tapi karena saya bisa meramal ternyata keahlian sotoy saya ini bisa juga diuangkan. Teman saya yang jago nyanyi dan main gitar pun pernah iseng ngamen dan dapat uang. Tapi jika Anda dalam keadaan benar-benar nggak punya uang sepeser pun di negara antah berantah – ini sih kondisi yang lebay banget,  tetap gunakan akal sehat. Jika tiba-tiba didatangi seseorang tak dikenal yang menawarkan pekerjaan dengan bayaran gede banget, selalu ingat prinsip yang diajarkan acara TV Locked Up Abroad bahwa “If it’s too good to be true, then don’t do it!”. Nggak mau kan Anda disuruh bawa narkoba lalu dipenjara, atau dihukum mati?

  1. Bekerja online

Karena saya freelance travel writer, saya sih bisa kerja di mana aja di seluruh dunia asal ada koneksi internet. Contoh pekerjaan lain yang modal internet adalah jadi social media buzzer, main saham, graphic designer, web developer, dan lain-lain. Kalau traveling cuma seminggu dua minggu mah nggak pengaruh karena pembayarannya juga lama. Tapi kalau perjalanan Anda setahun seperti #TNTrtw itu baru pengaruh banget. Paling enak sih punya penghasilan pasif seperti royalti, yang kita tidur pun duit masuk. Makanya beli terus buku-buku saya ya? #tetappromosi

  1. Bekerja part time

Kalau lagi traveling di luar negeri sih saya tidak menyarankan untuk bekerja karena visa yang kita punya adalah visa turis, pake paspor Indonesia pula. Masalahnya kalau ketahuan, saya takut dideportasi atau di-blacklist karena bakal merusak karir saya. Kalau kepepet banget dan katanya bisa kerja jadi tukang cuci piring, silakan aja dicoba. Ada juga teman yang bekerja di hostel dengan bayaran nginep gratis, tapi kan tetep butuh uang untuk makan. Kalau membandingkan “bule aja bisa, kok kita nggak?” ya silakan dicoba sendiri. Jadi guru bahasa Inggris? Dengan muka Melayu aja langsung ditolak karena nggak bergengsi.

  1. Minta dikirimi uang

Kalau nggak malu sih bisa aja minta kirim uang dari orang tua/keluarga. Tapi masa traveling aja minjem duit? Bisa-bisa Anda makin nggak dipercaya dan nggak dikasih izin lagi untuk traveling. Tapi kalau alasannya kepepet, jangan lupa bawa kartu ATM bank Indonesia yang berlaku di seluruh dunia biar nggak nyusahin yang transfer.

  1. Pulang

Sebenarnya jawaban paling top untuk pertanyaan “Gimana kalau kehabisan uang pas traveling?” itu adalah “Pulang aja! Gitu aja kok repot!” Emang Anda bakal malu kalau pulang sebelum waktunya? Berasa jadi pahlawan gagal perang? Mending malu atau tidur di emperan sambil kelaparan? Saya yakin keluarga Anda akan menerima kembali apapun keadaannya, kecuali Anda memang dikutuk diusir.

Intinya sih, nggak usah kebanyakan parno. Emang mau traveling berapa lama dan ke mana sih sampe ribet amat? Asal semua sudah diperhitungkan dan dijalankan dengan benar, niscaya nggak bakal kehabisan uang kok pas traveling! Tetap semangaaat!

Hepi-hepi di Yangon

$
0
0

Setahun yang lalu saya gagal ke Myanmar. Baru sadar ternyata saya masih punya tiket pesawat Jakarta-Yangon-Jakarta yang berlaku satu tahun dan akan habis Oktober 2015. Lihat kalender, saya hanya ada waktu 4 hari karena jadwal lagi full. Banyak yang menyarangkan agar saya sekalian ke Bagan atau Mandalay, tapi saya memutuskan untuk tinggal aja di Yangon aja. Saya penganut slow travel, rasanya malas liburan harus kejar-kejaran.

Lagi-lagi karena kesibukan ini-itu, saya tak sempat browsing. Saya hanya book hostel karena hostelnya baru, lokasinya strategis, dan ada sekamar sendiri yang hanya beda USD 2 daripada dorm isi 4 orang. Beberapa jam sebelum berangkat saya pun baru packing dan browsing gimana caranya dari bandara ke hostel.

Mendarat di bandara Yangon, dengan pedenya saya antri di imigrasi. Petugasnya seorang wanita muda, pada plang nama di dadanya tertulis ia bernama Thit Thit. Saya sampe senyum-senyum sendiri. Tau-tau ia tanya, “No visa?” Lha? Saya jawab, “Yes. Indonesian passport free visa right?” Lalu ia mencap sambil bilang, “I know!” Lha? Ngetes rupanya!

Keluar bandara, saya tuker uang USD 100 dan pergi ke konter taksi membayar 8.000 Kyats (ternyata dibaca: chets). Perjalanan ke pusat kota bikin saya kagum. Ternyata Yangon (dibaca: Yang-gon) kotanya rapi dan hijau. Jalan rayanya lebar, banyak pohon, meski bangunannya jadul. Penduduknya sebagian besar memakai longyi (dibaca: long-ji) atau sarung – motif kotak-kotak untuk cowok, motif kembang untuk cewek. Sebagian mulutnya merah-merah karena mengunyah sirih. Jadul abis! Lucunya lagi, mobil-mobil di sana yang sebagian besar bercat putih setirnya kanan tapi jalannya di kanan.

Saya diturunkan di seberang hostel yang plangnya kelihatan berada di lantai tiga. Masalahnya, di bawah bangunan itu adalah pasar seperti di Tanah Abang yang hiruk pikuk sampai nggak tau gimana caranya naik ke atas. Saya tanya orang-orang di situ, nggak ada yang bisa bahasa Inggris tapi hanya menunjuk-nunjuk. Hampir sejam saya ngiter-ngiter sampai akhirnya saya minta tolong seorang cowok muda untuk pinjem hapenya menelepon hostel. Resepsionis hostel pun nongol di balkon dan berteriak untuk masuk melalui gudang belakang toko baju! Jiaaah, ampe mati juga saya nggak bakal nemu kalo nggak dikasih tau!

Pas check in di siang hari, hostel kosong. Saya tanya apakah saya satu-satunya tamu di situ. Katanya ada seorang pria asal Jakarta yang sedang menginap juga tapi ia sedang keluar. Wow, ini kali pertama seumur hidup saya tinggal di hostel bareng orang Indonesia! Saya titip salam aja dan minta dikenalin – kali aja bisa jalan bareng.

Saya pun tanya di mana makan yang enak. Staf hotel memberi tahu sebuah restoran masakan Myanmar yang hanya berjarak 3 blok. Saya duduk dan bengong karena nggak ngerti order apa karena tidak ada menu, orang tidak berbahasa Inggris, tulisannya pun huruf keriting. Ah, ini lah traveling sesungguhnya – perasaan lost yang bikin kangen!

Kembali ke hostel, saya matikan lampu dan nyalain AC untuk tidur! Bangun-bangun udah jam 7 malam. Saya makan malam, jalan-jalan ke Sule Pagoda (iya, namanya pelawak gitu). Balik ke hostel, saya dikenalin sama orang Jakarta itu. Ternyata dia seorang bapak-bapak asal India yang sudah 25 tahun tinggal di Indonesia. Dia ke Yangon untuk bisnis biji sirih! Malamnya saya ajak dia ngebir. Eh dia malah ngajak saya dugem tiap malam (ceritanya di blogpost selanjutnya)!

Siang hari saya keliling-keling aja jalan kaki sendiri. Di sekitar Sule Pagoda sampai ke Pelabuhan itu adalah kawasan kota tua yang menarik dengan bangunan kolonialnya. Lagi duduk-duduk di taman Maha Bandula, saya kenalan sama cowok lokal ganteng pake sarung! Uh, kurang seksi apa coba? Nggak taunya dia guide di Shwedagon Pagoda. Ting! Langsung saya punya ide. Saya tawarkan untuk jadi private guide saya mengantar keliling Yangon. Bosan juga 2 hari jalan-jalan sendiri dan nggak ada yang bisa bahasa Inggris. Dia mentraktir saya minum teh susu di sebuah tea shop seperti kebiasaan orang lokal. Saya lanjut ke pasar Bogyoke Aung San dan sengaja makan di KFC karena merupakan restoran franchise Amerika yang baru buka pertama kali di negara Myanmar jadi hebohnya nggak karuan, seperti ketika McDonald’s buka di Jakarta tahun 1989.

Aung

Aung

Besoknya saya diajak Aung naik bus lokal ke National Races Village. Semacam Taman Mini Indonesia Indah tapi ini isinya 8 kampung tradisional berdasarkan ras utama di Myanmar. Dari situ ke Pagoda Chauk Htat Gyi tempat patung Buddha tidur berukuran 65 x 16 meter dan Pagoda Ngya Htat Gyi tempat patung Buddha duduk setinggi 16 meter. Sorenya ke Shwedagon, pagoda emas terbesar dan terindah di Myanmar. Karena Aung adalah seorang mantan biksu, saya jadi belajar banyak. Menjelang malam saya diajak ke Danau Kandawgyi yang terdapat jembatan kayu super panjang mengelilingi danau. Surprise juga, danaunya bersih dan pemandangannya indah. Di ujung danau dekat Karaweik Hall, kami minum-minum di outdoor café.

Reclining Buddha

Reclining Buddha

Balik ke hostel untuk ganti baju, hostel penuh dengan bunga ucapan selamat atas pembukaan hostel. Saya diberi pemilik hostel sekotak kue dan roti manis sebagai perayaan. Ah, so sweet! Saya dan Aung pun pergi makan di rooftop sebuah pasar tradisional beberapa blok dari hostel. Kami makan aneka daging barbeque dan minum 6 botol besar Myanmar Beer habisnya kalo dikurskan cuma Rp 100.000-an!

Berasa jadi ‘lurah’ di hostel, hari terakhir saya santai-santai aja ngobrol sama tamu-tamu bule yang baru datang. Terakhir saya menyantap makanan Myanmar dekat hostel. Perlu diketahui, makanan Myanmar itu enak-enak banget dan murah, cocok sama lidah Indonesia. Surprise selanjutnya datang dari pemilik hostel. Dia mengantar saya naik mobil pribadinya ke bandara!

Memang benar bahwa good thing happens when you least expect it. Empat hari di Yangon doang, saya justru hepi banget karena nggak punya ekspektasi apa-apa sebelumnya. Mungkin bisa diterapkan juga dalam hal mencari jodoh. #eaaa #curcol

Kiat Berpakaian di Musim Dingin

$
0
0

Sebulan belakangan ini saya lagi traveling di Jerman dan Canada. Sebenarnya November masih masuk musim gugur, tapi cuacanya sudah dingin… untuk ukuran orang Indonesia. Bagi saya, suhu udara satu digit itu hitungannya dingin. Suhu di bawah 0°C adalah dingin banget. Saya aja heran kok orang betah tinggal di cuaca yang lebih dingin daripada freezer-nya kulkas.

Saya pun sering ditanya bagaimana caranya survive di cuaca dingin, apalagi di musim salju. Kuncinya sih satu: berpakaian lah yang benar. Caranya gimana?

Perhatikan ramalan cuaca setempat

Sebelum sampai di tujuan, perhatikan cuaca setempat – dari situlah ditentukan jenis pakaian apa yang dibawa. Di apps smartphone tentang Weather sudah ada informasi suhu udara, bahkan dapat diketahui jauh hari sebelumnya. Ada suhu rata-rata, ada suhu maksimum dan minimum. Tertera juga apakah hari itu cuaca sunny (ada matahari), cloudy (mendung), hujan air, atau hujan salju. Perhatikan faktor “wind” (kecepatan angin dalam km/jam) dan yang indikator “feels like” karena seringnya suhu “feels like” lebih rendah daripada yang suhu yang tertera. Sebelum keluar rumah, terus pantau kondisi cuaca. Kadang diramalkan disertai hujan (air) sehingga harus membawa payung, atau turun hujan salju sehingga baju/jaket harus ada hood/penutup kepala.

Konsep layering

Supaya tubuh tetap berasa hangat di cuaca dingin, pakai lah baju berlapis-lapis (layering). Tujuannya untuk “menjebak” panas tubuh supaya tidak “keluar”.

Layering atasan terdiri dari;

  1. Base/inner layerlong john atau baju thermal berlengan panjang, bertujuan agar tubuh tetap kering.
  2. Mid layer – pilih salah satu atau dua; kaos lengan panjang, baju flanel, sweater wol, atau jaket fleece, bertujuan agar tubuh tetap hangat.
  3. Outer layerdown jacket yang tahan air dan tahan angin, bertujuan untuk melindungi tubuh.

Layering bawahan terdiri dari;

  1. Base layerlong john atau celana panjang thermal .
  2. Celana panjang.

Itu semua tergantung tingkat ketahanan tubuh Anda terhadap dingin. Intinya, kalau masih kedinginan berarti tambah lapisan, kalau kepanasan berarti kurangi lapisan. Tapi jangan sampai keringetan, karena keringat bikin basah, sedangkan basah bikin kedinginan. Ribet yak?

Bahan pakaian yang menghangatkan

Setelah layering, yang terpenting adalah memilih bahan pakaian. Yang harus diperhatikan adalah baca label putih yang tertera pada baju, biasanya ada di bagian dalam bawah baju. Harusnya ada informasi bahan pakaian (berapa persen bahan A, berapa persen bahan B, dsb), cara mencuci, dan buatan negara mana.

Lupakan baju yang biasa kita pakai sehari-hari yang kebanyakan terbuat dari katun. Di musim dingin, bahan katun sama sekali tidak membuat hangat karena katun justru menarik panas tubuh dan menyerap keringat. Jadi bahan katun jangan dipake sebagai base layer maupun outer layer. Kalau terpaksa pake baju berbahan katun, pakailah hanya sebagai mid layer. Long john pun perhatikan labelnya karena (yang murah) seringnya terbuat dari katun alias sama aja bo’ong.

Bahan pakaian musim dingin yang terbaik adalah yang terbuat dari bahan alami, yaitu wol. Semakin banyak persentasi kandungan wol, maka akan semakin hangat. Sayangnya wol itu berat, jadi dicampur dengan wol lain, seperti cashmere. Tak heran baju thermal atau sweater yang terbuat dari wol tidak mungkin harganya murah. Pilihan yang lebih terjangkau adalah pakaian yang berbahan fleece. Bahan baju yang mirip rajutan wol, seringnya malah terbuat dari katun atau acrylic. Harap diingat, bahan sintetis di musim dingin itu kadang bikin nyetrum.

Untuk outer layer, saya pake down jacket, yaitu jaket yang berisi bulu angsa, bahan terbaik untuk menjaga tubuh tetap hangat. Bulu angsa di dalam jaket terbagi dua, yaitu feather dan duck/goose down. Semakin banyak kandungan duck/goose down dibandingkan feather, maka akan semakin hangat dan umumnya semakin tebal dan mahal. Jaket saya kandungannya 80% down dan 20% feather. Bahan luar jaket pastikan harus tahan air dan tahan angin. Pilih lah jaket yang ada hood/penutup kepala karena kalau turun hujan salju, orang nggak ada yang pake payung. Kadang penutup kepala ada bulu-bulu di pinggirannya. Maksudnya bukan untuk gaya, tapi untuk menahan serpihan salju masuk ke mata.

Kalau tidak suka pakai down jacket, bisa pakai jaket berbahan sintetis – tapi plis pakai lah merk yang memang khusus memproduksi pakaian aktivitas outdoor/gunung karena teknologi mereka sudah terbukti. Ini berlaku juga untuk baju dalam thermal.

Celana panjang jeans itu terbuat dari katun jadi sebenarnya sama sekali tidak membuat hangat, kecuali di dalamnya pake base layer. Lebih hangat pake celana berbahan corduroy. Untuk cewek, bisa pake legging berlapis. Saya sih lebih suka pake celana panjang hiking yang berbahan nylon karena meski ringan tapi hangat dan gampang kering. Kalau di salju, lupakan jeans. Bayangkan jeans basah.. males kan? Kalau mau main ski di salju, kostum beda lagi karen ada baju dan celana khusus yang tahan air.

Syal, topi, sarung tangan                  

Membuat tubuh hangat berarti sebisa mungkin menutup kulit, termasuk leher, kepala, dan tangan. Syal bukan hanya untuk menutupi leher, tapi juga menjaga agar panas tubuh tidak “bocor” dari jaket. Kepala, terutama kuping, sekali dingin langsung seluruh tubuh berasa dingin, makanya perlu pake topi ‘kupluk’ atau topi bundar yang menempel di kepala sampai menutup kuping. Ada juga yang pake earmuffs (bando kuping berbulu), cuman saya kok geuleuh liatnya. Kalau suhu minus puluhan, udah wajib pake balaclava.

Sarung tangan tidak terlalu perlu kalau masih kuat, karena toh kita akan jalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku. Lagipula pake sarung tangan bikin susah ngetik di hape. Tapi di suhu minus, sarung tangan sangat bermanfaat untuk menghangatkan. Kalau suhu di bawah -10°C, sarung tangan yang hanya berupa dua kantong jari (jempol dan keempat jari) paling efektif karena keempat jari yang dikantongi bersamaan sama-sama saling membantu menghangatkan daripada jari-jari yang terpisah satu sama lain.

Sekali lagi, untuk ketiga aksesoris ini paling baik yang terbuat dari wol dengan bahan dalamnya fleece supaya lembut. Sekali lagi perhatikan label, karena banyak syal yang mirip wol padahal terbuat dari acrylic. Lebih hangat syal berbahan sutra (silk) 100% yang tipis itu, daripada acrylic dan katun.

Sepatu dan kaos kaki

Sepatu di musim dingin idealnya adalah sepatu boot yang waterproof dan tapaknya terbuat dari karet “bergigi” supaya nggak kepleset. Jadi bukan boot gaya yang berhak ya? Udah sering saya lihat orang akhirnya nyeker karena pake boot yang nggak nyaman. Padahal udah tau mau traveling di negara dingin yang banyak jalan kaki, masih juga sok gaya ampe kaki sakit. :)

Saya sih pakenya sepatu trekking yang tahan air karena saya lebih sering berada di cuaca tropis jadi sepatu boot bakal nggak kepake. Untuk kaos kaki, di musim dingin saya pake yang khusus trekking atau yang berbahan wol. Intinya, usahakan kaki jangan sampe basah.

Kiat penting lainnya

  • Percayalah, salju itu hanya bagus dilihat. Kalau udah berada (lama) di sana, ng.. nggak deh!
  • Umumnya pakaian yang kelihatan “gaya” malah tidak hangat! Semakin kita tampak “tolol” karena kebanyakan baju dan aksesoris, malah semakin hangat. Jadi pilih: gaya tapi kedinginan, atau tolol tapi hangat? :)
  • Nggak ada gunanya bawa beberapa jaket, yang penting bawa banyak layer. Terima lah difoto pake baju itu-itu aja karena yang kelihatan ya cuma outer layer.
  • Mandi maksimal sehari sekali aja. Semakin sering mandi, kulit makin kering, apalagi kalau dihajar shower pake air sepanas-panasnya.
  • Setiap habis keramas, selalu keringkan rambut dengan hair dryer. Rambut di musim dingin nggak bisa kering gitu aja kayak di cuaca tropis. Malah kalau dinginnya parah, rambut basah bisa mengkristal jadi es!
  • Selalu pake body lotion dan body wash yang creamy. Kulit manusia tropis sering menjadi sangat kering, alergi, bahkan jadi borokan, karena udara dingin. Untuk muka, perlu juga pake sunblock, terutama bila beraktivitas outdoor di pegunungan.
  • Pake lipbalm. Percayalah, bibir akan cepat kering, bahkan terkelupas karena udara dingin. Lipbalm pake juga sampe lubang hidung karena di udara dingin, ingus otomatis keluar gitu aja, jadi kering.
  • Makan yang benar karena lapar bikin kedinginan.
  • Jangan lupa minum air putih yang banyak. Karena udara dingin seringkali kita tidak merasa haus, padahal tubuh juga perlu air putih supaya tidak dehidrasi.
  • Beli pakaian musim dingin di Indonesia paling terjangkau di FO (Factory Outlet), tapi selalu perhatikan label.


Model: @RiniRaharjanti wearing down jacket

Jadi delegasi Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015

$
0
0

Momen paling membanggakan sebagai penulis selama tahun 2015 adalah ketika saya diundang pemerintah Indonesia untuk hadir dalam Frankfurt Book Fair pada 13-18 Oktober. Acara tahunan tersebut adalah pameran trading buku terbesar di dunia dari jumlah penerbit dan pengunjung yang hadir, juga yang tertua di dunia karena tradisi itu sudah ada sejak 500 tahun yang lalu. Tahun 2015 ini Indonesia menjadi Guest of Honour. Artinya, tema pameran adalah tentang Indonesia, acara berfokus pada Indonesia, dan Indonesia mendapat jatah stand terbesar. Tema yang diusung Indonesia tahun ini adalah 17,000 Islands of Imagination.

Menjadi Guest of Honour adalah hal yang penting bagi suatu negara, namun seperti sudah diduga persiapannya serba mendadak padahal sudah tahu beberapa tahun sebelumnya. Pemilihan penulis yang dikirim konon berdasarkan rapat IKAPI yang mensyaratkan penulis yang sudah terkenal, menerbitkan banyak buku, diutamakan yang bukunya berciri Indonesia, dan sudah diterbitkan ke dalam bahasa Inggris. Denger info, saya sempat tidak jadi diberangkatkan karena ada catatan merah bahwa “Trinity suka menjelekkan orang dalam presentasi” – entah apa artinya dan dari siapa informasi ngaco itu berasal. Saya sih pasrah aja, tapi untunglah 2 bulan sebelum keberangkatan saya dikabari akhirnya ikut dikirim. Hore!

Soal penulis yang diberangkatkan dan tidak rupanya sempat memanas di social media, bahkan ada penulis yang sampai mengundurkan diri karena protes. Saya memilih untuk menyimpan rapat kabar tentang keikutsertaan saya karena malas terlibat drama berkepanjangan. Saya pun tidak membalas komen negatif di social media yang menyerang saya karena saya berangkat. Sebagai penulis ber-genre travel, udah untung banget dikirim. Apalagi disejajarkan dengan Taufik Ismail, Andrea Hirata, Leila S. Chudori dan Dee Lestari – yah, apalah saya ini bukan?

Ada kah penulis idolamu?

Yang mana penulis idolamu?

Meeting antar panitia dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun diadakan. Terjadilah kehebohan berikutnya karena ketidakjelasan informasi. Contohnya, informasi mengenai extend atas biaya sendiri yang tadinya boleh tiba-tiba jadi tidak boleh, yang tadinya boleh cari hotel sendiri eh tiba-tiba harus di hotel yang disediakan panita. Tentu saya melancarkan protes, yang didukung oleh sebagian penulis lain. Kami pun bersatu di grup Whatsapp agar saling berbagi informasi. Ada sekitar 75 orang penulis dan chef yang dikirim, namun total rombongan ada 400-an orang.

Visa Schengen saya urus sendiri karena saya sudah punya travel insurance setahun. Saya memesan penginapan di hostel dekat Hauptbahnhof, terpisah dari rombongan yang hotelnya jauh dari pusat kota. Beberapa hari sebelum berangkat tiket pesawat baru dikirim, asam lambung saya sampai naik karena stres serba nggak jelas gini. Saya naik pesawatnya pun terpisah dari rombongan utama. Lebih stres lagi soal duit. Sistemnya setiap penulis akan di-transfer uang per diem yang akan dipakai untuk biaya hidup kami sehari-hari di Frankfurt, termasuk akomodasi, transportasi, dan makan. Namun sampai beberapa hari kami tiba di Frankfurt, duit tersebut belum juga di-transfer!

Singkat cerita, tempat pameran bernama Messe Frankurt itu gede banget! Luasnya 578.000 m² terdiri dari 4 lantai dengan 10 exhibition hall. Antar hall aja disediakan travelator (semacam escalator datar kayak di bandara). Frankfurt Book Fair adalah pertemuan antar penerbit buku dunia untuk membeli dan menjual rights, jadi bukanlah literary festival yang mempertemukan penulis dan pembaca atau book fair yang sering diadakan di GBK Jakarta yang isinya jualan buku diskonan. Selama tiga hari pertama, pameran ini hanya dibuka untuk lebih dari 7.000 exhibitor dari 100 negara, sedangkan publik baru boleh masuk pada hari keempat. Itu pun jumlah pengunjungnya selama pameran mencapai lebih dari 275.000 orang. Suasana di Messe yang selalu rame dan berdesakan membuat saya semakin optimis bahwa industri buku masih terus berkembang dan saya sudah berada di jalur yang tepat jadi penulis.

Stand utama Indonesia ada di Pavilion yang terdapat juga teater untuk pertunjukkan budaya. Stand buku dan tempat bertransaksi ada di National Stand se-hall dengan negara-negara Asia lainnya. Stand Indonesia yang kecil-kecilnya ada di hall komik, buku anak, dan buku kuliner. Indonesia juga membuka restoran masakan Indonesia yang digawangi William Wongso. Untung lah interior stand Indonesia bagus dan nggak malu-maluin. Memang tidak terlihat grande, tapi itu karena konsepnya minimalis dengan banyak unsur kayu dan warna monokrom.

Selama seminggu acara, setiap hari kami wajib hadir ke Messe. Saya dan teman saya, penulis novel Ika Natassa, selalu jalan bareng keliling hall yang berkilo-kilo meter jauhnya untuk memberi support kepada sesama penulis dan pengisi acara. Setiap sore kami menanti-nantikan acara Happy Hour di mana disediakan makanan Indonesia gratis. Tak ketinggalan kami sibuk foto bareng para penulis Indonesia yang terkenal dan legendaris. Tapi saking capeknya, saya sama sekali nggak jalan-jalan keliling Frankfurt. Hanya saja dua hari terakhir saya diundang oleh Forum Masyarakat Indonesia untuk bedah buku di kota Dresden.

diskusi panel #FBF2015

Yang bikin bangga, delapan judul buku saya dipajang di rak National Stand, juga kutipan gambar komik Duo Hippo Dinamis oleh ilustrator Sheila Rooswitha di Pavilion. Saya pun jadi pembicara di diskusi panel tentang travel writing bersama Agustinus Wibowo dengan moderator Elizabeth Pisani di National Stand. Beberapa wartawan mewawancarai saya dan liputannya masuk media, termasuk di rubrik Nama & Peristiwa koran Kompas. Beberapa pembaca buku saya juga ada yang minta tanda tangan dan foto bareng, termasuk fans dari Malaysia. Yang membanggakan lagi, genre buku travel sudah bisa disejajarkan dengan buku sastra klasik, novel fiksi, dan genre lainnya. Bukan hanya di Indonesia, tapi di Frankfurt Book Fair pun hall khusus buku travel ada dan besar.

Pencapaian penulis Indonesia di Frankfurt Book Fair adalah ketika buku-bukunya dibeli rights-nya oleh penerbit luar negeri untuk diterjemahkan dan diterbitkan di negara lain. Sampai saat ini sih belum ada penerbit luar yang membeli rights buku saya, namun punya buku yang dipajang dan jadi pembicara di Jerman dalam acara berskala internasional cukup membuat saya senyum sumringah karena bangga – biar nggak kalah Agnes Monica yang go international gitu! :)

Sungguh nggak nyangka, bermula dari ngeblog 10 tahun yang lalu, hidup saya bisa jadi begini! Semoga membuat almarhumah ibu saya bangga.


Habiskan makananmu

$
0
0

Saya sangat menikmati sarapan di hotel, terutama di hotel-hotel di Indonesia – karena makananya makanan Indonesia yang tidak ada yang ngalahin enaknya! Tapi… saya selalu dibuat sebal dengan tingkah para tamu.

Pagi itu, saya memperhatikan seorang lelaki setengah baya yang duduk di meja sebelah. Ia datang dengan piring berisi nasi goreng menggunung dan lauk pauk yang menumpuk sampai menutupi nasinya. Belum juga disentuh makanan tersebut, dia sudah beranjak lagi ke egg corner untuk memesan omelette. Sambil menunggu telur matang, dia bergeser ke meja sebelahnya dan mengambil dua lapis roti yang diolesi selai stroberi. Saya yang doyan makan banyak pun salut dengan porsi makan si bapak. Rupanya dia duduk bersama keluarganya yang semuanya mengambil makanan berlimpah sampai mejanya penuh. Dalam lima menit mereka berhenti makan, lalu mengobrol. Saya pun terhenyak. Masih banyak sisa makanan di piring dan di meja mereka! Saya pikir makannya akan diteruskan, nggak tahunya nasi dan lauk pauk hanya diaduk-aduk dan roti lapis yang bekas dua gigitan ditumpuk di atas nasi.

Ah, pemandangan yang “jamak” di hotel di Indonesia saat sarapan ala prasmanan di restorannya. Entah ini budaya dari mana asalnya, tapi saya sering sekali melihat pemandangan seperti ini. Orang mengambil makanan berlimpah, tapi tidak dihabiskan. Hal yang sama terjadi juga pada saat pesta resepsi pernikahan. Masih mending kalau sisa makanannya hanya sedikit, ini seringnya lebih dari setengah. Apakah mereka tidak bisa mengukur kapasitas makan diri sendiri? Apakah ini terjadi karena sistemnya makan prasmanan saja?

Sebagaian yang makanannya tidak dihabiskan beralasan karena “tidak enak”. Duh, kalau begitu jangan diambil sekaligus banyak dong! Meskipun gratis dan prasmanan, bukankah sebaiknya makanan diambil sedikit-sedikit? Alasan lain, “Nanti takut keburu habis diambil orang lain”! Loh, emangnya kalian segitu kekurangan makanan? Yang lebih aneh lagi alasan, “Daripada diambil sama catering-nya”. Loh?

Anyway, ada tiga pengalaman pribadi yang membuat saya sangat sebal dengan orang yang mengambil banyak makanan tapi tidak dimakan. Pertama, saya selalu ingat almarhum ayah saya yang selalu mengingatkan bahwa makanan itu harus dihabiskan. Alasannya, “Kamu sudah diberi makan aja tidak dihabiskan. Bayangkan orang-orang di Ethiopia yang kelaparan tidak bisa makan!” Sahih.

Kedua, saya pernah kerja di dua restoran siap saji selama lima tahun. Saya tahu banget bagaimana susahnya mengelola restoran, terutama mempersiapkan makanan. Semua staf harus menjalani pelatihan berbulan-bulan untuk membuat makanan dengan rasa dan tampilan yang konsisten. Staf bagian dapur berpeluh seharian untuk memasak, bahkan tak jarang tangan mereka terluka kena letupan minyak panas. Bayangkan bila perjuangan mereka jadi sia-sia kalau makanan dibuang begitu saja!

Ketiga, saya juga pernah bekerja di perkebunan sayur-mayur. Saya baru sadar betapa sulitnya menumbuhkan sayuran! Mulai dari membeli bibit, menanam, mengairi, memberi pupuk, sampai beberapa bulan kemudian dipetik. Saya ingat klien saya, salah satu jaringan restoran terbesar di Indonesia, setiap hari memesan sayur caysim sebanyak 1,5 ton. Terbayang seberapa besar lahan yang diperlukan untuk menanam caysim, berapa banyak sumber daya dikerahkan. Sedihnya, caysim adalah sayuran yang paling sering tidak dimakan, padahal telah susah payah ditumbuhkan.

Kembali ke pemandangan awal, saya memperhatikan lagi meja di depan saya. Sepasang orang asing yang diam-diam memasukkan roti yang dibungkus tissue ke dalam tasnya. Yah, paling tidak makanan di restoran ini dibutuhkan dan akan dihabiskan – daripada diambil, diaduk-aduk dan tidak dimakan.

Saya rasa, hidup tumbuhan dan hewan akan lebih berarti di dunia ini jika mereka “mati” tidak sia-sia, namun bermanfaat untuk kebaikan manusia. Jadi, tolong habiskan makananmu, minimal di piringmu sendiri ya?

Liburan Nebeng di Maluku Utara

$
0
0

Bermula dari undangan Bank Indonesia Ternate untuk menjadi pembicara North Maluku Tourism Summit 2015, saya langsung setuju. Alasannya karena saya belum pernah menjelajah propinsi Maluku Utara yang termasuk baru ini. Apalagi salah satu penawarannya adalah “akan diajak jalan-jalan keliling Ternate yang ditemani guide berstandar internasional”.

Salah satu fasilitas yang diberikan adalah hotel 2 malam 2 kamar untuk saya dan manager. Rupanya saya ini disamain sama artis. Maklum saya bakal sepanggung dengan artis pembicara lain dari Jakarta yaitu Putri Indonesia Zivanna Letisha, Miss Scuba Yovita Liwanuru, dan MC-nya Farhan. Jadilah saya minta izin untuk mengganti menjadi 1 kamar 4 malam sehingga bisa extend 2 malam gratis. Yah, daripada nyape-nyapein bodi cuma sebentar, mending sekalian explore Ternate lebih banyak. Dari rencana awal 1-2 Desember, saya pun extend sampai 4 Desember. Mau ngapain nantinya, liat aja nanti.

Ternate City

Ternate City

Setelah semalaman di pesawat, kami mendarat di Ternate pagi hari dan langsung diajak jalan-jalan keliling Ternate pake mobil berplat merah. Guide kami @ilhamarch tahu banget spot yang oke. Mulai dari bukit di atas Danau Ngade yang menghadap Pulau Tidore dan Maitara, Pantai Fitu yang merupakan lokasi pada gambar uang kertas Rp 1.000, Benteng Kastela yang pada reliefnya ada pasukan Portugis ber-“anu” bowling, Batu Angus yang berisi bebatuan aneh berasal dari muntahan lahar Gunung Gamalama, Danau Tolire yang spektakuler bagusnya, sampai diakhiri dengan snorkeling di Pantai Sulamadaha. Meski kulit gosong, hati dan mata senang!

Keesokan harinya seharian kami mengisi acara seminar. Saat sesi pertama saya sepanggung dengan Kang Idris, pemilik dive operator Nasijaha. Sekilas kami pun berkenalan, eh dia mengundang saya diving keesokan paginya. Pucuk dicinta ulam tiba! Keberuntungan lain datang saat seminar itu juga, saya berkenalan dengan seorang peserta yang pembaca buku-buku The Naked Traveler garis keras bernama Itje. Ia seorang karyawati sebuah bank di Ternate yang menawarkan diri untuk mengajak jalan-jalan pake mobilnya.

Pagi-pagi kami naik kapal ke Pulau Hiri untuk diving dua kali. Meski tidak ada pelagic (ikan besar), namun terumbu karangnya cantik, visibility oke, arus pun nyaris tidak ada. Terakhir kami makan siang di Pantai Jikomalamo yang kece banget sampai semua orang sibuk selfie. Lalu Kang Idris melontarkan ide untuk ikut dia trip diving ke Jailolo pada 4 Desember bersama Pak Bupati. Waah, racun abis! Tanpa ba-bi-bu, saya pun langsung ke kantor penerbangan untuk ganti tanggal pulang ke 6 Desember.

Jikomalamo Beach

Hari ketiga, naik mobik Itje kami mengunjungi Istana Kesultanan Ternate yang berkesan mistis itu, ke Benteng Tolukko, dan Benteng Kalamata. Lalu dengan naik speed boat reguler, kami menyebrang ke Pulau Tidore. Di sana kami dijemput mobil SUV mewah milik pejabat setempat kliennya Itje. Kami pun ke “negeri di atas awan” yaitu desa Gura Bunga yang terletak di atas gunung untuk menemui Sohi atau pemimpin adat yang ditahbiskan secara gaib. Tak lupa kami ke Istana Kesultanan Tidore yang dulu kekuasaannya sampai ke Papua, serta naik ratusan tangga ke Benteng Tahula.

Hari keempat jam 7 pagi saya sudah sampai di pelabuhan. Sungguh saya nggak tau akan naik apa, sama siapa, gimana alat diving-nya, dan di mana menginapnya. Rupanya trip ke Jailolo ini bersama KPL (Komunitas Pecinta Laut) Sulawesi Utara dan Maluku Utara yang isinya belasan orang… om-om semua! Peralatan sudah disiapkan, saya bahkan dikasih dive guide eksklusif bernama Reza yang niat bawa tongsis 3 meter. Kami pun diving di Pulau Pastufiri, lalu di Pulau Babua bersama Bupati Jailolo, Pak Namto. Alam bawah lautnya juga cantik!

Babua Island

Babua Island

Sore hari sampai di Jailolo, Kang Idris dan kru balik ke Ternate karena ada kerjaan. Lha, saya ditinggal sendiri sama om-om yang baru modal kenal senyam-senyum doang! Tahu-tahu, saya ditawarkan menginap di Villa Gaba oleh Ketua KPL Malut, Pak Syahril. Sore hari mobilnya siap sedia mengantar jalan-jalan di Jailolo, saya pun menikmati sunset Jailolo yang indah banget. Malamnya ada acara sarasehan KPL dengan para pemuda Karan Taruna (iya, emang begitu tulisannya) – saya “terjebak” untuk ikut jadi pembicara. Ya nggak apa-apa lah, that’s the only thing I can contribute karena saya dilarang bayar.

Hari kelima, kami semua naik kapal ke Desa Guaeria di Pulau Halmahera untuk memberikan penghargaan kepada pemuda desa atas prestasi mereka menjaga kebersihan dan memberdayakan pariwisata. Desa di pantai ini memang bersih, tidak ada sampah, dan hebatnya, tanpa asap rokok. Lagi-lagi saya didaulat untuk jadi pembicara. Kembali ke Ternate, baru mau booking hotel eh malah diajak menginap di rumah Itje. Malam itu kami nongkrong di pinggir pantai dan farewel party makan martabak di rumahnya. Besoknya pun pake diantar ke bandara gratis!

Wah, kebangetan beruntungnya saya! Judulnya ini liburan nggak sengaja di Maluku Utara, atau lebih tepatnya liburan nebeng sana-sini. Dari seharusnya pulang tanggal 2 Desember, pindah ke 4 Desember, dan akhirnya jadi 6 Desember 2015. Modal liburan saya kali ini hanya sekian ratus ribu, itu pun sebagian besar karena bayar penalti tiket pesawat. Meski tidak ada rencana dan tidak ada ekspektasi, tapi saya dapat pengalaman yang luar biasa dan dipertemukan dengan orang-orang yang sangat baik hati. Terima kasih!

ASEAN Tourism Forum 2016

$
0
0

Sebuah e-mail mengundang saya untuk hadir dalam acara ASEAN Tourism Forum (ATF) di Manila, Filipina, yang akan diadakan pada 18-25 Januari 2016. Saya langsung berbunga-bunga membacanya, karena; Pertama, saya akan “pulang kampung” ke Filipina. Kalau belum tahu, Filipina adalah negara favorit saya setelah Indonesia. Berkali-kali saya traveling ke sana, bahkan pernah tinggal di Manila untuk sekolah S2. Kedua, sebagai travel writer, saya sangat tertarik dengan industri pariwisata dunia. Dengan hadir di acara ini, saya akan tahu peta kekuatan pariwisata di ASEAN, apalagi kita sudah memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Semoga saya bisa menyumbang sesuatu bagi dunia pariwisata Indonesia dari hasil liputan saya. Ketiga, dengan undangan ini, saya bangga saya diakui secara regional meski pemerintah Indonesia aja nggak pernah ngundang saya di ATF :)

logo atfATF adalah upaya regional untuk mempromosikan wilayah ASEAN sebagai tujuan wisata. Acara tahunan ini melibatkan semua sektor industri pariwisata dari 10 negara anggota ASEAN, yaitu: Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Setiap tahun, setiap negara anggota bergantian menjadi tuan rumah. ATF 2016 menandai ulang tahunnya yang ke-35 sejak pertama kali diadakan di Malaysia pada 1981.

ATF bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai tujuan wisata tunggal yang menarik, meningkatkan kesadaran ASEAN sebagai tujuan wisata yang sangat kompetitif di Asia Pasifik, menarik lebih banyak wisatawan ke negara anggota ASEAN, mempromosikan wisata ASEAN, dan memperkuat kerjasama antarsektor industri pariwisata ASEAN. Sebagai konvensi tahunan industri pariwisata ASEAN, ATF mempromosikan pertukaran ide, mengulas perkembangan industri, merumuskan rekomendasi bersama untuk lebih mempercepat pertumbuhan pariwisata ASEAN.

Selain itu, ATF juga menyediakan tempat untuk menjual dan membeli produk pariwisata regional dan individu negara anggota ASEAN melalui TRAVEX (Travel Exhibition) selama 3 hari. Para penyedia produk pariwisata ASEAN dan para pembeli internasional dapat langsung melakukan bisnis pada acara tersebut. Setiap tahun ATF TRAVEX dihadiri oleh 1.600 delegasi yang terdiri lebih dari 450 international buyers and 150 media internasional.

ATF kali ini bertema One Community for Sustainability. Keindahan Asia Tenggara terletak pada orangnya yang hangat dan ramah, budaya, bahasa, agama, arsitektur, kuliner, dan geografi. ASEAN adalah destinasi bagi para pencari petualangan, backpackers, pengusaha, keluarga, penggemar fotografi, pecinta laut dan gunung, dan masih banyak lagi. Asia Tenggara akan meningkatkan kepuasan wisata, memastikan pengalaman yang baik bagi para wisatawan, meningkatkan kesadaran dan mempromosikan praktik pariwisata berkelanjutan.

Wah, penting banget kan acara ini? Nah, bagi Anda pelaku bisnis atau pemerhati pariwisata dan ingin menjadi bagian dari ATF 2016, silakan ke http://www.atfphilippines.com

Liputannya menyusul ya? *siap-siap packing*

Mengintip program pariwisata negara tetangga

$
0
0

Baru pertama kali saya ikut ASEAN Tourism Forum (ATF) yang pada tahun 2016 ini diadakan di SMX Conference Center di Manila. Acara ini utamanya adalah trading B2B (business to business) antar buyers dan sellers pelaku industri pariwisata internasional, jadi bukan ajang promo tour dan tiket murah yang diantre orang. Karena saya diundang sebagai media, maka setiap hari saya dan sekitar 100an jurnalis dunia berkumpul di sebuah ruangan untuk mendengarkan konferensi pers dari 10 anggota ASEAN yang mempresentasikan update pariwisata negara masing-masing. Herannya, hanya saya satu-satunya media dari Indonesia.

Berikut laporannya yang saya urutkan berdasarkan jumlah turis asing yang masuk ke negara yang bersangkutan;

Thailand

Jumlah turis asing yang masuk ke Thailand adalah yang terbanyak dibandingkan seluruh negara ASEAN, yaitu sebanyak 29,8 juta orang selama tahun 2015. Pariwisata menyumbang pemasukan negara terbesar dengan USD 42 milyar pada 2015 dan mentargetkan USD 66 milyar pada 2016. Amazing Thailand juga meluncurkan logo pariwisata dan TVC terbaru dengan tagline “Where life rules everything”.

Fokus pariwisata Thailand 2016 adalah luxury tourist, antara lain dengan cara meningkatkan pariwisata di bidang cruise ship (mencapai 10.000 orang turis asing/tahun), golf, medical tourism, health & wellness. Juga mengembangkan community based tourism di daerah terpencil dan female travelers. Selain itu, Thailand ingin meningkatkan turis domestik dengan memberikan insentif khusus.

Malaysia

Mereka bikin Malaysia Tourism Transformation Plan di mana tahun 2020 ditargetkan 36 juta turis asing masuk dengan pemasukan negara sebesar 168 milyar Ringgit. Malaysia menawarkan pariwisata yang value-for-money dan well-developed infrastructure. Salah satu presentasinya adalah tentang pembangunan high-speed railway antara Kuala Lumpur dan Singapura. Fokus promosinya menggunakan media digital, maka tak heran situs pariwisatanya memenangkan Best Tourism Website di ajang penghargaan dunia.

Program pariwisatanya antara lain adalah mengadakan festival seni dan kuliner, mulai dari mask art, street food, halal food, sampai durian festival. Meningkatkan sport tourism seperti F1, Ironman, Malaysia Open. Yang lebih hebatnya lagi, Malaysia sudah mempunyai 17 theme park termasuk yang akan segera buka, yaitu Dreamworks, Nickelodeon, dan 20th Century Fox! Progam lain yang menarik adalah “Malaysia My Second Home” di mana para pensiunan dari negara asing manapun dapat tinggal di Malaysia dengan syarat memiliki aset minimal 350.000 Ringgit.

Singapura

Jumlah turis asing ke Singapura sebanyak 15 juta dengan pemasukan SGD 24 milyar. Turis asing terbanyak yang masuk terbanyak berasal dari Indonesia dengan 2,4 juta orang/tahun (sementara turis Singapura yang masuk ke Indonesia 1,5 juta orang/tahun). Hanya Singapura yang diwakili oleh satu orang saja (negara lain serombongan), namun program pariwisatanya menurut saya paling hebat.

Program promosi pariwisata mereka dibuat segmented berdasarkan target market negaranya, misalnya untuk market Filipina mereka menampilkan video musik band terkenal Filipina yang syuting di Singapura, dan untuk market Tiongkok mereka membuat apps digital dalam bahasa lokal. Mereka juga bikin pameran contemporary art di Beijing, London, New York untuk memperkenalkan negaranya. Tourism board Singapura menjalankan kerja sama promosi dengan bandara Changi sebesar SGD 35 milyar dan maskapai penerbangannya sebesar SGD 20 milyar. Mereka berkerja sama dengan TripAdvisor dengan membuat microsite khusus “Live like a local”. Hebatnya lagi, mereka memperbaiki museum-museum dan memamerkan koleksi baru, juga membuat event kuliner/musik/olah raga yang berskala internasional seperti MasterChef Asia dan Asia’s Got Talent.

Indonesia

Dari 10 negara, cuma Indonesia yang diwakili oleh Menteri Pariwisatanya langsung. Baru kali ini juga saya lihat press release yang ada foto muka, yaitu mukanya Pak Menteri! Tapi Pak Menteri tidak mempresentasikan slide-nya namun langsung ke tanya-jawab yang diserbu oleh para jurnalis. Pertanyaannya tentang perkembangan bom Sarinah dan kabut asap.

Pada slide tertulis jumlah turis asing pada 2015 adalah 10 juta, dan target 2019 adalah 20 juta orang, dengan top 3 market dari Singapura, Malaysia dan Australia. Program pariwisata Indonesia adalah pembebasan visa bagi 90 negara di dunia, meningkatkan budget promosi sebesar 300% dan mengembangkan 10 destinasi prioritas. Hmm, “ngambang” banget ya?

Vietnam

Jumlah turis asing yang masuk ke Vietnam sebanyak 7,9 juta/tahun dengan top market-nya berasal dari Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang. Vietnam mencanangkan Visit Vietnam 2016 dengan fokus destinasinya di Phu Quoc Island – Mekong Delta. Lalu presentasi diganti dengan iklan maskapai penerbangannya yang baru saja privatisasi pada 2015, iklan tentang kota Danang, dan iklan tentang travel mart yang akan diadakan di Ho Chi Minh City.

Filipina

Filipina kedatangan turis asing sebanyak 5 juta/tahun yang kebanyakan berasal dari Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang. Rupanya orang Korea banyak yang datang karena ingin belajar bahasa Inggris lebih murah.

Program mereka lebih banyak berbenah diri, antara lain membuat sistem akreditasi baru untuk akomodasi, meningkatkan accessibility melalui jalur udara dan laut, pelatihan pariwisata, serta mengembangkan niche market yaitu scuba diving dan medical tourism.

Kamboja, Myanmar, Laos

Saya jadikan satu karena ketiga negara ini presentasinya sama-sama membosankan dengan bahasa Inggris yang sulit dimengerti. Rata-rata turis asing yang masuk ke masing-masing negara sebanyak 3 – 4 jutaan orang/tahun. Isi presentasi malah foto-foto destinasi yang generik. Fakta menarik, jumlah turis Korea Selatan meningkat 91% ke Laos karena ada artis Korea yang syuting di sana.

Brunei

Sebagai negara terkecil di ASEAN, Brunei tak banyak memberikan update tentang pariwisatanya. Setengah dari jurnalis pun keluar dari ruangan karena menganggap tidak penting, bahkan ada yang karena sentimen terhadap hukum syariah Brunei. Yang bawain presentasi juga songong sih, bisa-bisanya dia bilang bahwa dia nggak suka Filipina. Anyway, isi presentasinya tentang pembangunan jembatan dengan menayangkan berita TV tentang anak Sultan meletakkan batu pertama. Salah satu program yang diajukan adalah Ramadhan Festive di mana semua orang dapat ke istana untuk berjabat tangan dengan Sultan!

ASEAN for ASEAN

Pada ATF 2016 ini 10 negara anggota ASEAN sepakat untuk saling mempromosikan kunjungan pariwisata di dalam ASEAN dan meningkatkan awareness terhadap brand pariwisata ASEAN. Masing-masing negara diberi tema promosi, seperti Indonesia untuk ASEAN spa and wellness, Singapura untuk cruise tourism, dan Malaysia untuk adventure travel.

Anehnya, dari perwakilan negara ASEAN di panggung hanya Thailand, Malaysia, dan Singapura yang ngomong. Yang lain meneng bae, termasuk Indonesia. Inisiatif promosi ASEAN pun kebanyakan datang dari Malaysia dengan program GoASEAN dan Singapura dengan program trade show khusus cruise tourism.

Nah, menurut Anda, program pariwisata negara mana yang keren?

Catatan: Menurut saya sih hitungan jumlah turis asing yang masuk itu masih diragukan. Ada yang menghitung jumlah penumpang pesawat dari luar negeri, ada yang menghitung dari jumlah cap masuk WNA di imigrasi, ada yang berdasarkan jumlah WNA yang menginap di hotel minimal semalam, ada yang membedakan antara WNA yang datang sebagai turis atau bisnis.

El Nido dulu dan sekarang

$
0
0

Sebagai delegasi ASEAN Tourism Forum 2016, kami diberi kesempatan untuk ikut post-tour ke salah satu dari 10 destinasi wisata di Filipina dengan hanya membayar USD 150 all in untuk paket 4 hari 3 malam. Lucunya, saya sudah pernah ke 10 destinasi tersebut saking doyannya traveling di Filipina. Maka saya pun memilih untuk ke El Nido karena grupnya kecil, hanya 15 orang khusus media – di destinasi lain grupnya 40-60 orang dan bercampur dengan para buyers dan sellers. Selain itu, itinerary-nya “gue banget”, hanya island hopping dan berenang. Yang jelas kalau paketnya dihitung, value El Nido paling mahal dibanding ke-9 destinasi lainnya.

Pertama kali saya ke El Nido pada 2004 bekpekingan bareng si Nina dan Jade. Kami menginap di losmen busuk di El Nido Town dan patungan nyewa kapal untuk island hopping bareng Christian asal Australia. Nggak nyangka 12 tahun kemudian saya kembali dengan gaya luxury bersama para jurnalis internasional!

Saya baru tahu bahwa sekarang sudah ada direct flight langsung dari Manila yang hanya sejam, jadi nggak usah terbang ke Puerto Princesa dan naik jeepney 6 jam lagi. Mendarat di El Nido Airport pun sudah tidak ada becak (tricycle) lagi yang berbagi runway dengan pesawat, sekarang berganti dengan jeepney. Bangunan bandara sekarang sudah bukan garasi lagi, tapi 2 rumah besar meski tetap terbuat dari kayu dan non-AC, sayangnya hammock sudah tidak ada karena berganti dengan bangku permanen.

Kami menginap di Lagen Island Resort yang terletak di ujung Pulau Lagen yang dipenuhi hutan lebat dan diapit tebing limestone, sekitar 45 menit naik kapal dari El Nido yang terletak di mainland Pulau Palawan bagian utara. Hotel ini sangat eco friendly. Begitu nyampe kami langsung di-briefing tentang pelestarian alam. Kami diberi brosur berisi aneka satwa yang dapat ditemui di sekitar El Nido. Setiap tamu wajib mengisi dan memberi tanda satwa apa yang ditemui, tanggal dan lokasinya, agar satwa tersebut tetap terpantau. Kami juga diberi kantong khusus untuk tempat sampah, baik sampah sendiri maupun sampah orang lain. Di kamar dikasih minum air putih cuman sebotol, sisanya harus refill sendiri untuk meminimalisasi sampah plastik. Karena letaknya yang nyempil, saya bertanya apakah ada sumur air tawar. Ternyata mereka menyuling air dari laut. Pembuangannya pun telah melalui proses waste management yang baik.

Almost sunset in Lagen Island

Almost sunset in Lagen Island

Setiap hari kalo nggak leyeh-leyeh di resort, kami island hopping ke sebagian pulau dari 45 pulau yang ada di Bacuit Bay dipandu oleh guide bernama Marlon. Kami kayaking di Small Lagoon dan Big Lagoon di labyrinth tebing-tebing limestone, snorkeling di Bayog Beach dan Miniloc Island bersama schooling ikan giant trevally, caving di Codognon Cave, hiking di Snake Island, serta makan siang dan berenang di Entalula Island dan Dibuluan Island. Kepulauan El Nido memang mirip dengan Raja Ampat dengan skala yang lebih kecil, maka tak heran ia disebut sebagai “the best beach and island destination in the Philippines”.

Entalula Island

Entalula Island

Apa perbedaannya kawasan itu sekarang dan 12 tahun yang lalu? Bisa dikatakan tidak ada. Semuanya tetap tampak sama. Pemandangannya tetap spektakuler, terumbu karangnya tetap sehat, ikannya tetap banyak, pantai-pantainya tetap bersih tanpa sampah. Yang berbeda adalah pantai favorit saya di Entalula Island. Dulu hanyalah pulau tak berpenghuni, sekarang sudah ada satu restoran – itu pun dibuat eco friendly jadi tidak mengganggu pemandangan dan kebersihan. Peraturan keselamatan transportasi laut Filipina pun tetap ditegakkan – setiap penumpang kapal, sebusuk apapun kapalnya, tetap wajib mengenakan life jacket. Ah, sangat salut!

Yang paling berbeda hanyalah El Nido Town. Meski pemandangan ke arah laut tetap kece, namun sekarang jauh lebih rame, sudah banyak mobil, toko, hotel , restoran, bar. Saya masih ingat dulu di sana hanyalah desa nelayan kecil, penginapan kebanyakan model losmen atau homestay yang menyatu dengan rumah pemilik, restoran cuman ada beberapa – itupun kami sering dipelototin pemuda desa karena kami disangka cewek Pinay asal Manila yang sombong karena hanya ngomong bahasa Inggris. Saking kecilnya, semua kenal semua orang, terutama sesama turis. Tiap malam karena tidak ada hiburan dan sinyal telepon, sesama turis saling jemput dan nongkrong di suatu tempat untuk berpesta.

Dari trip ini, ada cerita menarik. Rombongan jurnalis terdiri dari 3 orang Rusia, 3 orang Turki, 2 orang Polandia, 1 orang Portugal, 1 Belgia, 1 Tiongkok, saya sendirian orang Indonesia, dan 2 orang panitia Filipina dari travel agent Intas dan Tourism Promotions Board. Saking parnonya pemerintah Filipina, rombongan kami dikawal oleh 2 orang polisi! Terus terang rombongan ini adalah rombongan media yang paling aneh. Semuanya takut matahari, termasuk bule-bule. Parahnya, semua saling ngegeng sehingga jarang terjadi percakapan di antara kami kecuali basa-basi, mungkin karena bahasa Inggris mereka yang kacau. Padahal kami makan selalu semeja, tapi mereka memisahkan diri aja gitu.

Jadilah saya ngegeng dengan kakek-kakek Portugal berusia 70 tahun bernama Salvador. Di antara rombongan, dia jurnalis paling profesional – selalu merekam dengan camcorder, memotret, dan mencatat. Meski paling tua, si kakek sangat asik diajak ngobrol, pintar, berbahasa Inggris dan Spanyol lancar, doyan berjemur dan berenang kayak saya. Badannya masih sangat fit, ingatannya masih tajam. Keren aja gitu saat dia bercerita, “50 tahun yang lalu saya ikut perang di Angola”, atau “40 tahun yang lalu saya ke Beijing, orang masih naik sepeda”. Lucunya, memori jangka pendek malah terganggu. Bisa-bisanya lagi posting foto di Facebook, dia bertanya, “Sekarang ini kita lagi di negara apa?” Hehehe!

Malam terakhir saya dan kakek menonton video hasil buatannya di camcorder-nya yang juga berfungsi sebagai projector. Angle-nya menarik, kualitas bagus, bak film dokumenter perjalanan di TV. Saya pun bertanya, “Elo setua gini emang nggak capek ya traveling mulu, apalagi terbang jauh di economy class?” Si kakek menjawab, “If I don’t travel, I’d die.”

Viewing all 170 articles
Browse latest View live